Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Gendang Sahur yang Dirindukan

1 Mei 2021   17:47 Diperbarui: 1 Mei 2021   21:52 1779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gubrak

Kawan saya tiba-tiba jatuh setelah berusaha memasang colokan untuk keybord yang akan kami gunakan. Letak bola lampu yang tinggi mengharuskan ia dan seseorang lagi yang bertugas memasang colokan kena imbas. 

Mereka berdua dalam istilah lokal baku sompong, saling dukung. Satu di bawah dan satu naik ke bahu. Orang yang berada di bawah penting memiliki fisik yang kuat untuk menahan beban orang yang naik kebahunya untuk memasang colokan.

Jatuhnya teman saya, membuat kami sontak tertawa terbahak-bahak lalu lari meninggalkan rumah yang hendak kami bangunkan sahur. Takut kena omel. Bayangkan saja niat membangunkan sahur malah kena marah. Kami lantas memilih rumah lain dengan berjalan kaki.

Di lain kesempatan, jika jatuh hal biasa, maka hal biasa lainnya ialah membuat listrik pemilik rumah konslet. Bayangkan aja, kalau sudah begini auto tancap gas lari terbirit-birit. Untung saja tidak parah hingga terjadi kebakaran karena sistem yang sudah canggih.

Konsletnya listrik ini terjadi karena ketidaktahuan tentang media listrik, sehingga terjadi banyak kesalahan. 

Selain itu, banyak kenangan yang juga tak bisa dilupakan di antaranya ketika salah membangunkan sahur. Apalagi setelah lagu sudah dimainkan lalu keluar tuan rumah dan berujar "mohon maaf kami nasrani". Seketika permainan berhenti, lalu kami meminta maaf. Walau begitu, ada sebuah nilai yang diambil, yakni nilai dari toleransi. Banyak pula yang menyuruh melanjutkan permainan. Di akhir lagu disetel, tidak sedikit pula yang memberikan uang.

Selain itu, masih banyak cerita menarik yang saya lalui sebagai penabuh gendang selama kurang lebih 7 tahun membangunkan sahur.

Dari mulai jalan kaki, kemudian naik tingkat memakai sound system dan mobil pick up hingga ikut serta dalam ragam event yang diselenggarakan pemerintah daerah yakni, Festival Gendang Sahur. Ya walaupun belum menyabet juara, akan tetapi ada banyak hal yang menjadi cerita serta kenangan.

Ada kelucuan, kehebohan, percintaan, kekompakan, keluguan, kekacauan, manajemen waktu, disiplin, motivasi hingga yang paling membuat saya sukai adalah beramal. Yap, 50 persen hasil gendang sahur disumbangkan ke masjid. 

Rata-rata pemain gendang sahur membuka pendapatannya untuk disumbangkan ke masjid atau ke panti asuhan. Sebuah nilai dari bersedekah yang luar biasa. Dan, lima puluh persen lainnya dibagi-bagi ke setiap personil yang terlibat dalam proses membangunkan warga gendang dahur.

Di Maluku Utara, gendang sahur adalah pelengkap di bulan Ramadan, selain berburu takzil, tadarusan hingga ngabuburit. Gendang sahur memiliki tempat tersendiri dan sudah sejak lama menghiasi Ramadhan di Maluku Utara.

Di Indonesia, membangunkan sahur memiliki keunikan tersendiri. Setiap daerah memiliki keunikan dan warna yang berbeda. Ada yang membangunkan sahur lewat toa masjid, ada pula yang membangunkan sahur berkeliling kampung dan juga yang memutar lagu sembari membawa sound system.

Pun dengan di Maluku Utara, gendang sahur adalah bagian dari kultur kebudayaan, gengsi, skill hingga sampai ke komersil.

Dalam ranah kebudayaan ditampilkan berbagai unsur, walau banyak menggunakan alat musik modern tetapi lagu-lagu yang dimainkan ialah lagu qasidah tradisional. 

Lagu-lagu qasidah yang berbahasa lokal utamanya suku-suku besar seperti Ternate, Tidore, Makian, Tobelo dan Galela. Lagu-lagu ini mengandung banyak makna, yakni tentang kehidupan dan agama.

Di ranah gengsi pun juga terjadi. Banyak pemain-pemain band bersaing dengan pemain amatiran. Kualitas sound system hingga skill para pemain yang "dipertaruhkan". Sebab ada penilaian yang kadang mengikuti seperti "ah permainan mereka kurang greget. Ah sound mereka kurang bagus dan lain-lain". 

Pun dengan gengsi yang kadang tercipta. Banyak pemain gendang sahur berasal dari berbagai kelurahan sehingga nama yang terbawa ialah nama kelurahan. Jadi, setiap kali keluar untuk melakukan gendang sahur ada puluhan masyarakat yang ikut serta.

Maka dari semua ini lahir kata kesempurnaan yang sangat dibutuhkan. Kesalahan sekecil apapun diminimalisir agar yang mendegarkan ikut bahagia.

Di ranah materi, gendang sahur adalah bagian dari mencari pundi rupiah, namun tidak pernah dipatok besarannya  Tergantung pemberian tuan rumah, dari puluhan ribu hingga ratusan ribu. Besaran ini juga kadang tergantung pada siapa dan rumah siapa yang dituju. Biasanya para pejabat dan tokoh publik.

Gendang Sahur yang dirindukan/Jalahanuse.com
Gendang Sahur yang dirindukan/Jalahanuse.com
Seperti yang disinggung di atas, pengahasilan ini kemudian dibuka untuk amal dan dibagi ke pemain. Ada berbagai alasan juga, lewat gendang sahur ada pula yang murni melakukan penggalanggan dana khususnya pembangunan masjid. Artinya hasil dari kegiatan membangunkan sahur murni diserahkan ke panitia pembangunan masjid.

Berbeda dengan itu, ada ranah lain yakni ranah tanpa kelas jalan kaki. Mereka tampil apa adanya dan rumah yang dituju biasanya di sekitaran kompleks. Ada yang bermain tanpa sound system, ada pula yang hanya memutar musik lewat sound system yang didorong memakai gerobak.

***

Pukul sebelas malam, selepas tadarusan, kami langsung melakukan briefing. Breafing ini dilakukan untuk menentukan rute. Ada dua metode, melalui undangan dan tidak. 

Metode memakai undangan sangat enak karena sudah terencana. Artinya kami sudah mengetahui ke mana harus pergi. Sementara jika tak menyebarkan lewat undangan, maka rute yang dipilih berdasarkan informasi dari kenalan. Kondisi ini tidak berlaku bagi pasukan gendang sahur jalan kaki, jadi hanya berlaku bagi pemakai pick up dan sound system.

Setelah selesai, kemudian masing-masing dari kami bergegas menyiapkan perlengkapan. Mulai dari alat musik, kendaraan, membangunkan para pemain hingga mengambil mobil dan mengisi minyak.

Persiapan ini tak sampai tiga puluh menit. Sebab, semua orang sudah tau apa yang harus dilakukan. Alat-alat yang sudah terkumpul kemudian di pasang. Sound dipasang ke truk lalu kabel dan lain sebagainya mengikuti.

Persiapan akan selesai jika sudah dimulai cek sound. Tahap ini guna mencari kesempurnaan dari suara yang dihasilkan.

Segala persiapan memakan waktu sejam lebih. Kami akan bergerak jika semua sudah sesuai. Dalam menentukan arah perjalanan, kami biasanya mengambil rute di mana lokasi yang dituju berada paling jauh dari kelurahan. Hal ini karena efisiensi waktu, sebab kami harus kembali sebelum imsak atau kembali lalu sahur.

Setiap rumah kami mainkan dua sampai tiga lagu, tergantung request dari pemilik rumah. Jika suka, maka biasanya mereka me-request hingga lima lagu. Setiap lagu memakan waktu lima sampai tujuh menit. 

Tentu jika sudah di-request, maka pendapatan yang diraup akan lebih tinggi bahkan bisa hingga ratusan ribu rupiah walau sekali lagi tak ada patokan dan murni membangunkan sahur.

Kami akan pulang ketika semua rumah hasil briefing sudah selesai. Setelah pulang, semua alat dikembalikan lalu kami pulang ke rumah masing-masing.

Permainan dari rumah ke rumah tentu sangat melelahkan. Tetapi euforia dari pemain dan pengikut membuat kami tidak lelah. Setiap malam kami bersemangat membangunkan sahur.

Gendang sahur sendiri biasa kami lakukan jelang Ramadhan ke 10 hingga ke 26. Dalam tempo itu kami bisa meraup penghasilan hingga lima sampai tujuh juta. 

Di akhir kegiatan, hasil keuntungan tersebut kemudian dibuka ke mesjid dan ke anggota. Bagi anggota sendiri walau hasilnya kecil untuk per orang akan tetapi sudah cukup menggembirakan minimal dapat satu kaos buat lebaran. Toh hasil pembagian hanya berkisar lima ratus ribu perorang.

Gendang Sahur yang Dirindukan

Memasuki Ramadhan ke-19 ini, hanya dua kali saya mendengarkan ada yang melakukan gendang sahur. Sedangkan malam-malam lainnya tidak demikian.

Suasana gendang sahur nampak tidak terasa. Tak ada sahut-sahutan atau bunyi penyanyi melantunkan qasidah dari rumah. Suasana malam berjalan nampak biasa, sunyi.

Kondisi ini karena adanya kondisi Covid-19. Di mana pemerintah daerah melarang kegiatan gendang sahur. Walau bagi anak-anak kecil adapula yang membangunkan sahur.

Padahal, merupakan sesuatu yang banyak di tunggu masyarakat. Lagu-lagu qasidah yang dimainkan secara penuh hikmat. Tak jarang banyak yang meresapi dalam-dalam arti dari setiap syair yang dinyanyikan.

Namun apapun itu, harus dimaklumi bahwa dalam kondisi seperti ini banyak hal dari kebudayaan yang tidak tersaji kala Ramadhan. Kebudayaan yang menjadi keunikan di bulan Ramadhan. Semoga pandemi ini cepat berlalu. (Sukur dofu-dofu)


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun