Permainan dari rumah ke rumah tentu sangat melelahkan. Tetapi euforia dari pemain dan pengikut membuat kami tidak lelah. Setiap malam kami bersemangat membangunkan sahur.
Gendang sahur sendiri biasa kami lakukan jelang Ramadhan ke 10 hingga ke 26. Dalam tempo itu kami bisa meraup penghasilan hingga lima sampai tujuh juta.Â
Di akhir kegiatan, hasil keuntungan tersebut kemudian dibuka ke mesjid dan ke anggota. Bagi anggota sendiri walau hasilnya kecil untuk per orang akan tetapi sudah cukup menggembirakan minimal dapat satu kaos buat lebaran. Toh hasil pembagian hanya berkisar lima ratus ribu perorang.
Gendang Sahur yang Dirindukan
Memasuki Ramadhan ke-19 ini, hanya dua kali saya mendengarkan ada yang melakukan gendang sahur. Sedangkan malam-malam lainnya tidak demikian.
Suasana gendang sahur nampak tidak terasa. Tak ada sahut-sahutan atau bunyi penyanyi melantunkan qasidah dari rumah. Suasana malam berjalan nampak biasa, sunyi.
Kondisi ini karena adanya kondisi Covid-19. Di mana pemerintah daerah melarang kegiatan gendang sahur. Walau bagi anak-anak kecil adapula yang membangunkan sahur.
Padahal, merupakan sesuatu yang banyak di tunggu masyarakat. Lagu-lagu qasidah yang dimainkan secara penuh hikmat. Tak jarang banyak yang meresapi dalam-dalam arti dari setiap syair yang dinyanyikan.
Namun apapun itu, harus dimaklumi bahwa dalam kondisi seperti ini banyak hal dari kebudayaan yang tidak tersaji kala Ramadhan. Kebudayaan yang menjadi keunikan di bulan Ramadhan. Semoga pandemi ini cepat berlalu. (Sukur dofu-dofu)