Kondisi yang kemudian menyeret masuk pada konteks "krisis" sebuah kebudayaan. Konteks krisis ini bermuara pada keprihatinan. Semua orang menjadi sadar bahwa banyak hal yang telah hilang tanpa sadar.Â
Alhasil, berbagai upaya dilakukan. Baik melalui intervensi kebijakan hingga intervensi langsung. Banyak pihak mengambil bagian lewat kritik-kritik pada pemerintah namun tanpa sadar jawaban sesungguhnya tidak hanya terletak pada pemerintah melainkan pada diri sendiri dan komunitasnya.
Sehingga; pada perjalanannya, krisis ini menjadi konteks yang tak terelakan dalam setiap pembahasan namun sangat disayangkan konteks kebudayaan lebih banyak bermuara di forum-forum diskusi atau dipojok-pojok cafe.Â
Artinya ada kehwatiran tentang krisis kebudayaan yang mulai hilang namun itu hanya berlaku saat itu dan tidak ada tindakan langsung untuk meminimalisir kondisi ini.
Habis dibahas selesai sudah seiring habisnya kopi dan ide-ide di kepala. Hanya menjadi remah-remah dalam pembahasan para aktivis, akademisi bahkan hingga pembuat keputusan.
Di Indonesia, hemat saya, kita patut berterima kasih pada institusi bernama kerajaan. Penjaga terakhir nilai-nilai dan dalam budaya dan adat istiadat.
Mereka masih getol menjaga dan melestarikan sebuah kebudayaan. Setiap tahun atau bahkan dalam momentum tertentu, mereka hadir sebagai refleksi dan pengingat bahwa ada budaya-budaya milik nusantara yang begitu hebat.
Kehadiran mereka dalam mempraktekan dan mempertahankan suatu kebudayaan juga bagian dari kritik kepada semua pihak agar tidak abai pada kondisi krusial ini. Sementara dalam lingkungan yang komunal, hampir dipastikan hilang.Â
Lantas kenapa demikian? kenapa di kota budaya sebuah daerah, adat istiadat hilang dengan cepat?
Jawabannya sangat banyak selain dari benturan peradaban pada suatu komunitas karena masuknya aliran kebudayaan dari luar.
Kota sebagai tujuan utama masyarakat dalam merupakan tempat persinggahan, dan harapan masyarakat dalam memperbaiki kehidupan.Â