"Di kota, kebudayaan hanyalah fakta di pojok cafe. Di Desa, tidak demikian. Budaya dirawat dengan kuat."
Buah kelapa itu tergelatak begitu saja. Kelapa yang di kirim dari kampung ini sudah dibiarkan beberapa hari dan tidak di kupas.Â
Buah kelapa ini rencananya akan menjadi bahan pembuatan nasi kuning saat acara tahlilan hari ke tujuh. Santannya menjadi campuran utama pembuatan nasi kuning.
Menjelang hari H, tak jua dilakukan pengupasan. Kondisi ini mendorong beberapa pemuda dari desa mengambil bagian. Kelapa tersebut di kupas dari kulit hingga cangkang dan menyisakan daging buah kelapa.
Setelah selesai kemudian diangkut ke pedagang yang memiliki mesin parut untuk dihaluskan. Hasil dari parutan itu kemudian di peras lalu diambil santannya.
Melihat proses penyaringan tersebut, remaja dari kota termakan penasaran dan langsung ambil bagian. Beberapa pemuda dari desa yang awalnya melakukan proses ini hanya cekikan karena mereka terpaksa meninggalkan tempat duduk mereka.
![dokpri. proses pembuatan santan kelapa](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/04/04/screenshot-20210404-155222-gallery-6069635d8ede480e762e4222.jpg?t=o&v=770)
Terutama soal menekan jemari hingga santannyang dihasilkan bisa kental dan tidak encer. Proses ini mengundang banyak tawa dari warga yang datang ke lokasi acara. Kedatangan mereka merupakan bagian dari budaya feliayani atau babari ; gotong royong.
Saya menyaksikan keseruan itu. Tak jarang saya melihat diantara mereka saling ejek karena hasil meramas kadang tak mengeluarkan santan sama sekali. Ada semacam perlombaan yang tercipta.
Kekuatan tangan yang mereka miliki memang tidak sekuat warga desa yang sudah terbiasa melakukan proses ini. Maklum ini pertama kali mereka terlibat langsung.
Sekira sejam mereka berkutat dengan proses menghasilkan santan kelapa. Para ibu-ibu yang menunggu juga tak mau buru-buru dan setia menunggu.
Di sisi lain, setelah nasi menjadi setengah matang, warga yang mayoritas dari desa kemudian mengangkat lalu mengaduk dalam baskom. Nasi itu kemudian dicampur dengan sedikit kuning.Â
![Proses pengadukan nasi kuning setengah matang / dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/04/04/screenshot-20210404-155308-gallery-60698c0c8ede48617f473e65.jpg?t=o&v=770)
Memang di Ternate banyak tersedia rumah makan dengan menu nasi kuning. Tetapi ada perbedaan. Nasi kuning yang di buat khusus untuk dijual tidak terlalu mengandung rempah sementara nasi kuning untuk hajatan rasanya lebih tajam dan banyak rempah. Ada semacam ciri khas yang tidak bisa saya jelaskan.
Proses pembuatan nasi kuning ini sendiri ditangani langsung oleh warga yang datang dari desa. Hal ini dilakukan karena pengalaman yang mereka miliki.
Selain rangkaian proses ini, beberapa rangkaian yang berbalut budaya turut terlaksana. Saya memperhatikan dengan seksama bagaimana kondisi ini berjalan. Masyarakat yang berdomisili di kota kebanyakan belajar langsung pada setiap tahapan yang terlaksana.
Sementara warga desa yang datang dengan legowo menunjukan perlahan-lahan setiap proses kebudayaan yang dilaksanakan.
![Para ibu-ibu sedang menanak nasi kuning / dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/04/04/screenshot-20210404-155253-gallery-60698bddd541df021d213734.jpg?t=o&v=770)
Perkembangan zaman dalam balutan arus globalisasi telah mendorong pakem kebudayaan yang notabenenye tradisional telah banyak ditinggalkan.Â
Budaya-budaya luar telah merengsek masuk dengan begitu kencang sementara budaya lokal atau tradisional tidak mampu bertransformasi. Kondisi ini juga didukung lewat cara pandang dan penerimaan yang terbuka oleh masyarakat maupun negara.
Memang tidak bisa dipungkiri, pertukaran budaya sangat masif terjadi namun dominasi dari pertukaran tersebut sangat nampak. Sehingga sangat aneh jika pakem kebudayaan nusantara yang menjadi ciri khas bagi bangsa-bangsa luar tak mampu dipertahankan.
Kondisi yang kemudian menyeret masuk pada konteks "krisis" sebuah kebudayaan. Konteks krisis ini bermuara pada keprihatinan. Semua orang menjadi sadar bahwa banyak hal yang telah hilang tanpa sadar.Â
Alhasil, berbagai upaya dilakukan. Baik melalui intervensi kebijakan hingga intervensi langsung. Banyak pihak mengambil bagian lewat kritik-kritik pada pemerintah namun tanpa sadar jawaban sesungguhnya tidak hanya terletak pada pemerintah melainkan pada diri sendiri dan komunitasnya.
Sehingga; pada perjalanannya, krisis ini menjadi konteks yang tak terelakan dalam setiap pembahasan namun sangat disayangkan konteks kebudayaan lebih banyak bermuara di forum-forum diskusi atau dipojok-pojok cafe.Â
Artinya ada kehwatiran tentang krisis kebudayaan yang mulai hilang namun itu hanya berlaku saat itu dan tidak ada tindakan langsung untuk meminimalisir kondisi ini.
Habis dibahas selesai sudah seiring habisnya kopi dan ide-ide di kepala. Hanya menjadi remah-remah dalam pembahasan para aktivis, akademisi bahkan hingga pembuat keputusan.
Di Indonesia, hemat saya, kita patut berterima kasih pada institusi bernama kerajaan. Penjaga terakhir nilai-nilai dan dalam budaya dan adat istiadat.
Mereka masih getol menjaga dan melestarikan sebuah kebudayaan. Setiap tahun atau bahkan dalam momentum tertentu, mereka hadir sebagai refleksi dan pengingat bahwa ada budaya-budaya milik nusantara yang begitu hebat.
Kehadiran mereka dalam mempraktekan dan mempertahankan suatu kebudayaan juga bagian dari kritik kepada semua pihak agar tidak abai pada kondisi krusial ini. Sementara dalam lingkungan yang komunal, hampir dipastikan hilang.Â
Lantas kenapa demikian? kenapa di kota budaya sebuah daerah, adat istiadat hilang dengan cepat?
Jawabannya sangat banyak selain dari benturan peradaban pada suatu komunitas karena masuknya aliran kebudayaan dari luar.
Kota sebagai tujuan utama masyarakat dalam merupakan tempat persinggahan, dan harapan masyarakat dalam memperbaiki kehidupan.Â
Di Kota, masyarakat membangun mimpi terutama perihal ekonomi dan membawa berbagai kepentingan lainnya. Â Sehingga tercipta sebuah lingkungan besar dan menjadi peradaban baru hasil dari kolaborasi berbagai unsur kebudayaan.Â
Kondisi ini kemudian menanggalkan karakter kuat sebuah kebudayaan atau nilai-nilai kebudayaan dalam komunitas besar tersebut. Sehingga tidak ada celah tumbuh dan menjadi mandekÂ
Walau saya melihat, secara komunitas utamanya kesukuan, hal-hal kebudayaan masih dipertahankan. Namun skalanya menjadi sangat kecil dan hanya berlaku pada lingkungan tersebut dan tidak berlaku pada konteks yang homogen.
Bahkan, dalam komunitas sendiri banyak pula yang menanggalkan unsur tersebut karena berbagai faktor utamanya bauran kebudayaan dan informasi yang tidak diturunkan ke generasi berikut.
Informasi yang timpang ini kemudian tidak terekam dalam memori sosial suatu lingkungan sehingga generasi berikutnya melupakan dengan total bagaimana mereka bersosial. Alhasil, penerimaan kebudayaan baru terutama dari luar menjadi yang utama.
Menurut  Rohima et., Al (2019) ada beberapa faktor, selain faktor perkembangan jaman yang menilai suatu kebudayaan tak lagi relevan dengan perkembangan jaman juga karena faktor internal meliputi hadirnya budaya dan nilai baru dalam masyarakat, dan perubahan abadi.
Di kota pulah, kehidupan masyarakat tak lagi melulu soal kebudayaan. Perihal ekonomi telah merubah sosial kemasyarakatan menjadi sempit. Sehingga praktek-praktek kebudayaan tak lagi menjadi pusat perhatian.
Artinya dalam sosial kemasyarakatan di kota, ada pola dari ruang gerak yang mulai sempit. Masyarakat harus bekerja beberapa jam dalam sehari kemudian pulang dan rehat.
Selain itu, komunitas mereka berada juga menghilangkan sekat-sekat kebudayaan. Tak ada suatu nilai dari budaya yang mendominasi sebuah perkumpulan sosial.
Begitupun dengan interaksi sosial yang menjadi sempit. Walaupun ada unsur kebudayaan yang dipraktekan dalam sebuah lingkungan, tetapi tidak semerta-merta masyarakat mengambil bagian. Kondisi ini terjadi terus menerus sehingga ada istilah ditengah keramaian justru hadir ketidakpedulian.Â
Berbeda dengan di desa yang berisi komunitas yang sama. Interkasi sosial dan nilai-nilai kebudayaan menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat.Â
Kepercayaan sebagai pilar penting turut menjaga dan merawat itu semua. Walaupun belakangan, kondisi pergerseran juga mulai nampak akibat dari perkembangan teknologi.
Kedepan, jika "krisis" ini terus dibiarkan maka cerita tentang budaya suatu daerah atau suatu kebudayaan akan punah. Apapun itu, baik adat istiadat, norma dan tata cara, kesenian, dan lain-lain. (sukur dofu-dofu)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI