"Di kota, kebudayaan hanyalah fakta di pojok cafe. Di Desa, tidak demikian. Budaya dirawat dengan kuat."
Buah kelapa itu tergelatak begitu saja. Kelapa yang di kirim dari kampung ini sudah dibiarkan beberapa hari dan tidak di kupas.Â
Buah kelapa ini rencananya akan menjadi bahan pembuatan nasi kuning saat acara tahlilan hari ke tujuh. Santannya menjadi campuran utama pembuatan nasi kuning.
Menjelang hari H, tak jua dilakukan pengupasan. Kondisi ini mendorong beberapa pemuda dari desa mengambil bagian. Kelapa tersebut di kupas dari kulit hingga cangkang dan menyisakan daging buah kelapa.
Setelah selesai kemudian diangkut ke pedagang yang memiliki mesin parut untuk dihaluskan. Hasil dari parutan itu kemudian di peras lalu diambil santannya.
Melihat proses penyaringan tersebut, remaja dari kota termakan penasaran dan langsung ambil bagian. Beberapa pemuda dari desa yang awalnya melakukan proses ini hanya cekikan karena mereka terpaksa meninggalkan tempat duduk mereka.
Terutama soal menekan jemari hingga santannyang dihasilkan bisa kental dan tidak encer. Proses ini mengundang banyak tawa dari warga yang datang ke lokasi acara. Kedatangan mereka merupakan bagian dari budaya feliayani atau babari ; gotong royong.
Saya menyaksikan keseruan itu. Tak jarang saya melihat diantara mereka saling ejek karena hasil meramas kadang tak mengeluarkan santan sama sekali. Ada semacam perlombaan yang tercipta.
Kekuatan tangan yang mereka miliki memang tidak sekuat warga desa yang sudah terbiasa melakukan proses ini. Maklum ini pertama kali mereka terlibat langsung.