Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kebijakan "Papan Tulis"

25 Februari 2021   16:29 Diperbarui: 28 Februari 2021   04:46 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu pagi, di sebuah ruang kelas sedang berlangsung mata pelajaran kebijakan. Seorang dosen kharismatik hadir memenuhi tugasnya mengisi materi tiga SKS. 

Dosen ini sudah ditunggu-tunggu oleh tigapuluh lima mahasiswa yang berasal dari Aceh sampai Papua. Setelah presentasi selama tiga puluh menit, mahasiswa kemudian di izinkan bertanya. Dan, riuhlah kelas karena antusias.

Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan dengan dalil dan data-data pendukung. Sang dosen menjawab dengan segala pengetahuan dan pengalamanya. 

Tibalah beberapa pertanyaan yang kurang lebih memiliki konklusi sama yakni " kenapa kebijakan ini atau itu tidak diambil, dan bagaimana proses merumuskan kebijakan" . Maka sang dosen yang juga mantan menteri di era SBY ini kemudian membawa kami memainkan sebuah game tentang kebijakan.

"Oke, untuk memberikan gambaran bagaimana proses merumuskan kebijakan, saya akan mengimplementasikannya dalam sebuah game sederhana. Game ini tentang gerakan menanam dipekarangan sebagai solusi ketahanan pangan. Jadi, menurut anda apa yang anda akan tanam?" Ujar dosen yang juga mantan wakil mentri ini.

Jadilah tigapuluh lima mahasiswa mengajukan usulan satu persatu. Jawaban yang dianggap paling terbaik. Bahkan berapa dari mahasiswa yakin usulannya dapat diterima dan menjadi kebijakan yang bisa dimplementasikan ke seluruh rakyat. 

" Cabai, tomat, bawang, seledri, bayam, kangkung; dll" jawab mahasiswa.

Setiap usulan di tulis di papan. Usulan yang sama akan beliau tambahkan angka 1, 2 dan seterusnya. Sekira 15 menit seingat saya, semua usulan mahasiswa sudah terkumpul, lalu beliau berujar.

"Sekarang sudah ada beberapa usulan. Akan tetapi tidak semua usulan bisa diambil atau dirumuskan menjadi kebijakan. Kita harus menentukan 1 atau dua yang menjadi prioritas. Tentu unsur relevan dan urgens serta komoditi penting yang harus diambil," Jelasnya lagi

Maka usulan tadi kemudian dipersempit menjadi sepuluh. Menariknya, usulan yang kebanyakan sama justru tidak menjadi prioritas terpilih masuk ke sepuluh besar. 

Artinya suara terbanyak tidak menjadi jaminan usulan tersebut terpilih. Berbeda halnya dengan pemilihan, suara terbanyak pemenangnya.

Dari 10 usulan yang sudah dipersempit tadi kemudian dipersempit lagi menjadi tiga usulan. Sampai di sini, proses penentuan sudah mulai lebih menarik. Sebab, setiap pilihan didasari oleh argumentasi dan bangunan pikir yang konferensif akan kebutuhan dengan tingkat urgennya.

Selain itu, sejak sampai sepuluh usulan, mahasiswa yang awalnya berposisi sebagai pemberi usulan ; suara rakyat, tanpa sadar sudah bertukar posisi di level pengambil keputusan, bukan lagi berada di luar garis kekuasaan.

Perdebatan kritis memakai berbagai metode terjadi antara mahasiswa satu dengan yang mahasiswa lain. Sudah mirip sidang paripurna.

Setelah proses yang cukup memakan waktu karena berbagai argumen yang kuat dan saling serang, terpilihlah tiga usulan. Seingat saya, cabai, tomat dan bawang (Barito). Tiga komoditas dari beberapa komoditas pangan yang tidak pernah absen sebagai penyumbang inflasi selain beras setiap bulannya.

Komoditi pangan ini selalu menjadi masalah yang mendasari setiap kebijakan diterapkan. Sedikit saja panen berjalan tidak maksimal maka dipastikan terjadi kenaikan harga karena kelangkaan di pasar. Bahkan kebijakan seperti impor turut hadir menjawab persoalan ini.

Votalitas harga yang tercipta disebabkan oleh berbagai faktor baik hulu, hilir hinga komponen penunjang seperti kebijakan serta masalah kompleks lainnya. 

Setelah berhasil mendapatkan tiga usulan ini, maka penentuan selanjutnya ialah Cabai, tomat dan bawang apa yang menjadi prioritas dalam jangka pendek, menengah hingga jangka panjang. 

Lagi-lagi semua argumentasi ini harus memiliki dasar yang kuat sehingga mampu mendukung gerakan menanam dari pekarangan. Maka disepakatilah cabai sebagai komoditi utama ditanam dipekarangan dalam jangka pendek. 

Sementara dalam jangka menengah, diperoleh turunan hasil dengan mengolah cabai ke cabai kering. Walau, perilaku orang Indonesia yang tidak terlalu menyukai cabai olahan kering.

Kenapa cabai? waktu itu sedang hangat-hangatnya kelangkaan cabai di pasar. Harga sedang meroket, kondis permintaan tidak seimbang dengan penawaran. Tidak ada titik equalibrium disana. 

Berbagai kondisi, realita dan data yang dihadirkan dalam game sederhana ini. Seperti permasalahan hulu, permintaan konsumen baik rumah tangga dan permintaan industri yang menciptakan kelangkaan, ekspektasi, perilaku konsumsi dll.

Sang dosen dengan jam terbang tinggi ini lantas berujar, ini hanyalah skema terkecil dan tidak kompleks dari bagimana proses dan alur membuat kebijakan. Pada realitanya terdapat berbagai tantangan hingga kepentingan. 

Tantangan paling umum ialah sejauh mana kebijakan tersebut dapat diterima semha orang dengan kultur dan budaya berbeda-beda. Dengan kondisi geografis dan pola perilaki manusia disuatu daerah dengan berbagai kepentingan.

Tantangan berikutnya ialah bagaimana kondisi internal sebuah lembaga menyusun dan mengimplementasikan sesuatu menjadi kebijakan. Di mana pada prosesnya banyak tangangan bahkan hingga kepentingan.

Selain itu, pada ranah pemerintahan yang berbasis politik, setiap kebijakan akan selalu tertutupi oleh kebijakan baru dengan orang baru. Yang pada konklusinya melahirkan tumpang tindih kebijakan. 

Sebab, setiap proses demokarasi akan melahirkan pemimpin baru, dan tentunya akan melahirkan kabinet baru yang kemudian diisi oleh orang-orang baru.

Tentu ini terjadi di Indonesia, banyak sekali kebijakan tumpang tindih antara satu dengan yang lain dan tidak didukung oleh sinergitas yang tidak seimbang.

Kelaspun di akhiri dengan sebuah pengetahuan tentang gambaran dari proses menentukan dan merumuskan sebuah kebijakan yang simpel. Walaupun ini hanyalah game, tetapi selama dua jam tigapuluh menit, hadir pengetahuan yang luar biasa.

Lantas apa yang dipetik dari game sederhana ini?

Pertama, tidak semua keinginan dapat diakomodir. Diawal kelas, semua mahasiswa mengajukan usulan namun tidak sedikit usulan menjadi bahan rekomendasi bagi pemangku kepentingan. Bahkan beberapa usulan tidak masuk sama sekali dalam prioritas.

Yap, setiap orang yang hidup dalam sebuah negara berharap atau menginginkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dapat menyentuh akar permasalahan dan memiliki efek positif.

Namun tak jarang, kebijakan yang dikeluarkan berada pada kondisi pro dan kontra. Argumentasi akan selalu hadir memenuhi ruang ini. Dari sinipula lahir banyak usulan hasil dari diskusi, penelaan, hingga kajian ilmiah yang semuanya bermuara kepada "perbaikan dan kebaikan". 

Akan tetapi, tidak segampang yang dibayangkan. Sebab, usulan tersebut kadang relevan kadang tidak relevan. Sehingga dalam proses penentuan masih harus dilakukan study hingga penelaah lebih mendalam. 

Proses penyaringan disandarkan pada kondisi yang mengikat dan cenderung urgen. Ada metode yang menjadi sandaran tiap-tiap lembaga. Tentu baik usulan atau keinginan masyarakat hingga sampai ke pemangku kepentingan, sama-sama berharap kebijakan yang dikeluarkan bida bermanfaat alias tidak bikin ribet.

Kedua, menyatukan berbagai gagasan tidaklah muda

Menyatukan gagasan dan usulan dari berbagai daerah di Indonesia tidaklah muda. Sebab, dari ribuan keperluan ini harus diturunkan menjadi satu gagasan umum yang diterima semua orang.

Ada ratusan lembaga dalam satu struktur dengan ratusan kepala yang terlibat. Maka bayangkan saja bagaimana ini di modelkan menjadi seimbang. 

Di dalam game di atas tergambar jelas. Mahasiswa dari berbagai daerah membawa kepentinganya masing-masing yang disandarkan pada kondisi geografis, ekonomi,sosial dan budaya daerah.

Pada perjalannya,terdapat berbagai perdebatan yang klimaks. Walau pada akhirnya lahir sebuah kesimpulan dengan diterima atau tidak diterima tetap harus dijalankan. Yang pada kondisi nasional kadang disebut kebijakan nasional, kementrian dll. Daerah hanya siap mengimplementasikan.

Tiga, tantangan intetnal dan external

Tantangan internal dan eksternal selalu menghantui setiap proses pembuatan kebijakan. Dalam kondisi internal, ada berbagai tantangan yang diperoleh. Utamanya, intervensi pihak luar ke pihak dalam untuk merancang atau menghapus sebuah kebijakan. 

Di akhir game kebijakan, sang dosen dengan blak-blakan mengungkapkan bahwa hal yang paling menganggu jalannya rancangan sebuah kebijakan adalah intervensi luar; olirgarki, terdahap internal sebuah lembaga.

Banyak kepentingam yang masuk menghantui dengan tujuan melegalkan dan memuluskan kepentingan beberapa pihak. Apalagi jalan mulus ke internal ini memakai perahu politik yang sangat kuat.

Kondisi yang sudah tersusupi kepentingan oligarki menjadi dasar banyak kebijakan tidak tepat alias tidak sesuai sasaran dan menimbulkan banyak kritik.

Sehingga pada proses pembuatan kebijakan, banyak unsur terabaikan dan cenderung keluar dari garis dan pedoman yang ditetapkan. Satu hal yang saya petik ialah, kepentingan oligarki masih terlalu kuat dan mendominasi sistem kenegaraan sebuah negara. Sehingga ranah kebijakan kadangkala hanya untuk sekelompok orang.

Pada intinya, artikel ini adalah bagian dari proses pikir dari sebuah game sederhana. tentang bagaimana proses merumuskan kebijakan dan berbagai tantangannya. (sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun