Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sagu, Bahan Pangan yang Mulai Hilang

10 Februari 2021   10:37 Diperbarui: 10 Februari 2021   14:22 2174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tepung sagu basah(Shutterstock/Riana Ambarsari via kompas.com)

"Di Timur, sagu adalah makanan pokok. Selain diolah menjadi papeda,juga diolah menjadi berbagai jenis makanan. Walaupun sumber  pangan lokal penting, tetapi kondisi saat ini menunjukan bahwa sagu sebentar lagi tinggal cerita

Suatu pagi, sekira pukul sepuluh, sebuah sampan bermesin 25 PK terlihat mendekat ketibir karang. Sesosok pria berdiri memperhatikan celah masuk di kampung yang disebut moli atau hol.

Setelah beberapa menit berputar-putar, ia langsung menyusuri jalan masuk yang lebarnya tak kurang dari dua meter tersebut. Melaju dengan kecepatan rendah, sembari memperhitungkan ombak dan bodi sampan. 

Ia sudah cukup lihai, terlihat dari caranya memasuki hol. Berberda ceritanya bagi mereka yang belum terbiasa. 

Setelah mendekat ke bibir pantai, warga termaksud saya yang kebetulan sedang beraktivitas di pantai mendekat dan melihat siapa yang datang. Sebab di kampung kami, orang-orang yang datang dengan sampan mayoritas adalah keluarga dari pulau lain.

Selain keluarga, juga nelayan dan penjual ikan garam, ikan julung, hingga berbagai bahan pertanian dan perikanan lokal lainnya.

Sampan dengan panjang sekira tiga meter ini ternyata membawa tepung sagu basah atau tumang. Setelah ia membuka terpal yang membungkus tumang, warga kemudian berebut mengambil dagangannya sebelum mereka lari ke rumah mengambil duit.

Lima belas bakul tepung sagu basah ludes dalam sekejap. Bahkan saya hanya melongo karena tak kebagian. Kalau sudah soal sagu papeda, maka siapa cepat dia dapat. 

Apalagi sudah beberapa bulan terakhir tak ada pedagang dari luar pulau yang datang membawa tepung sagu papeda. Harga perbakul dibandrol dengan harga Rp. 200 ribu. Harga ini bervariatif setiap daerah di Maluku Utara, bisa lebih tinggi dan lebih rendah.

Para pedagang tepung sagu papeda adalah petani yang mengolah batang pohon sagu yang tumbuh di kebun atau lahan mereka. Mayoritas berdomisili di pulau-pulau seperti Bacan, Muari, Gunange, Kasiruta, hingga pulau besar yakni dataran Halmahera; Halmahera Timur, Selatan, Utara, hingga Barat.

Pedagang yang datang kali ini dari Pulau Kasiruta masih satu kabupaten dengan desa saya. Mereka baru seminggu lalu melakukan produksi. Dan dalan setahun katanya, hanya tiga kali melakukan produksi karena pohon sagu yang mulai langkah. 

Hal unik dari percakapan singkat dengan penjual sagu lintas pulau ini ialah dalam memproduksi batang sagu menjadi tepung sagu, mereka masih menggunakan cara tradisional, Bahalo.

Saya sedikit terkejut lantaran sudah lama praktik pembuatan tepung sagu papeda dengan cara ini tak terdengar dan jarang ditemukan. Bahkan dalam beberapa kesempatan melakukan survei ekonomi desa, praktik mengolah tepung sagu sudah menggunakan mesin.

Lantas Apasih Bahalo Sagu itu?

Bahalo sagu merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat dalam mengelola pohon sagu menjadi tepung sagu. Praktik ini dilakukan turun temurun walau belakangan hanya ada beberapa desa yang masih setia menerapkan praktik ini.

Bahkan untuk mengingatkan kembali bagaimana kearifan lokal masyarakat mengolah pangan lokal; pohon sagu sebagai sumber makanan, pemerintah daerah harus melakukan festival agar menarik minat masyarakat dan pemerhati. (1)

Sebelum itu, perlu diketahui bahwa terdapat dua jenis bahan tepung sagu sebagai bahan dasar papeda, sagu lempeng, kue lamet; sagu dikukus daun pisang dengan sedikit campuran gula merah, hingga sinyole atau sagu sanggrai hingga boko-boko;sagu dimasak menggunakan bambu, yaitu dari batang pohon sagu yang disebut tumang. 

Dan, sagu papeda putih yang terbuat dari singkong yang diparut, kemudian diperas menggunakan air lalu didiamkan semalaman atau lebih.

Ampas sisa dari parutan singkong ini juga tidak dibuang. Melanikan diolah menjadi berbagai jajajan seperti kue onde-onde; kue bulat berisi gula merah, lamet hingga sagu lempeng putih.

Kegiatan bahalo sagu dilaksanakan secara kekeluargaan; gotong royong. Tidak bisa dilakukan sendiri karena tahapannya yang kompleks dan membutuhkan banyak tenaga.

Pohon yang dipanen berusia sekira 10-15 tahun terlebih dulu akan ditebang dan dibiarkan sehari. Setelah itu, batang tersebut dibelah menjadi dua bagian lalu diserut menggunakan cangkul yang terbuat dari kayu atau bambu;  ngogalo (2).

Setelah diurai kemudian dipindahkan ke penyaringan untuk diperas agar menghasilkan sari tepung sagu dengan alat yang terbuat dari papan kemudian ditampung di daun rumbia atau daun sagu membentuk lingkaran (bakul). 

Sari sagu ini kemudian didiamkan selama seminggu atau lebih hingga tercipta tepung sagu basah.

Selain batang, daun sagu atau rumbia juga dimanfaatkan warga sebagai atap rumah. Orang Maluku Utara menyebutnya katu serta dibuat sapi lidih, dinding rumah kebun hingga tikar.

Baik sagu tumang maupun sagu putih, keduanya dapat bertahan hingga sebulan lebih. Ketahanan tepung sagu ini hanya perlu dijaga sirkulasi air dalam wadah. Kita harus rutin mengganti air seminggu sekali agar tidak rusak dan menimbulkan bau.

Tradisi mengolah sagu merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat. Praktik bahalo juga merupakan cerminan dari wujud masyarakat mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam sebagai bahan pangan. 

Walaupun sebagai pangan lokal yang lekat dengan tradisi dan menjadi makanan ciri khas orang timur akan tetapi praktik bahalo sagu sudah mulai ditinggalkan. 

Kondisi ini menurut hemat saya, adalah konklusi dari gelombang perubahan yang pada akhirnya menyebabkan kearifan lokal menjadi terkikis. 

Praktik bahalo sagu yang mulai ditinggalkan disebabkan karena beberapa faktor, selain pergeseran konsumsi juga diakibatkan oleh hilangnya lahan tempat tumbuh pohon sagu. 

Apalagi, pohon sagu di Maluku Utara tidak dibudidayakan sehingga tumbuh kembangnya bergantung pada alam.

Menurut Srikandi (2018) revolusi hijau yang digalakan pemerintah menjadi tonggak pergeseran konsumsi dari sagu ke beras. Bahkan di tahun 2013 saja, menurut data Kementan RI presentase konsumsi beras lebih tinggi (68 persen) dibanding konsumsi sagu (6.8 persen) di Maluku Utara. Sementara di secara nasional pada tahun 2019, konsumsi beras mencapai 95 kg/perkapita/pertahun dan sagu hanya 0.4-0.5 kg/perkapita/pertahun.

Pergeseran konsumsi ini terlihat nyata di mana saat ini, makanan pokok masyarakat di timur ialah beras sementara sagu mulai ditinggalkan apalagi bagi generasi muda. Berdasarkan data Dinas Tanaman Pangan yang dihimpun dari Mongabay.com, pada tahun 2017 kebutuhan konsumsi perorang dalam setahun bisa mencapai 131.400 ton. 

Tentu pergeseran ini juga memberikan andil yang memengaruhi bisnis petani sagu di Maluku Utara

Selanjutnya ialah konversi lahan untuk pembangunan masif terjadi terutama di daerah-daerah rawa yang ditimbun; reklamasi, pendirian rumah oleh warga, penebangan hutan, pembukaan lahan perkebunan sawit, dan ekpansi pertambangan khususnya di Maluku Utara. Pada akhirnya, pohon-pohon sagu harus rata dengan tanah dan tak tersisa.

Pohon sagu sendiri hidup di sekitar rawa yang berair tawar, rawa bergambut san daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber mata air dan hutan-hutan rawa yang kadar air garamnya tidak terlalu tinggi, Suripatty et,al. (2016). 

Dalam sebuah kesempatan saat melakukan survei di kabupaten Halmahera Selatan, saya melihat banyak pohon sagu ditebang karena pembangunan jalan dan pembangunan kawasan ekonomi terpadu. Jalan yang meliputi tiga kecamatan, Bacan Timur, Labuha, dan Bacan Tengah.

Selain masifnya reklamasi, ekpansi pertambangan di Maluku Utara juga turut memberikan andil hilangnya lahan-lahan tumbuhnya sagu. Apalagi belakangan, izin-izin pertambangan juga masif dikeluarkan bahkan sebelum konsep perizinan ditarik ke pusat.

Beroperasinya tambang telah mengancam dengan nyata pada lahan maupun pada aliran-aliran air sungai. Material yang mengotori sungai atau mempengaruhi kualitas air hingga sifat fisik tanah yang berdampak pada pertumbuhan sagu di sepanjang aliran sungai seperti yang terjadi di Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Timur (3).

Tentu permasalahan ini jika terus dibiarkan maka tiba saatnya pangan lokal ini tinggal cerita. Dalam data produksi Kementrian Pertanian, prosuksi sagu secara nasional mengalami peningkatan dari tahun 2016 -2020. Sumbangsih terbesar ialah Provinsi Riau.

Sementara, khususnya di Maluku Utara menunjukan bahwa terjadi penurunan signifikan produksi sagu dari tahun 2016 dengan tingkat pertumbuhan minus 49.87 persen. Sebuah fakta dari dampak yang mengiringi pangan lokal satu ini.

Sumber : Kementrian Pertanian.go.id
Sumber : Kementrian Pertanian.go.id
Tentu ini menjadi perhatian serius karena selain pangan lokal, sagu tak ubahnya identitas yang turut mengikuti berbagai tradisi orang timur. Suatu saat saya khawatir tak adalagi sajian papeda saat acara-acara adat, nikahan, atau acara makanan kobong; kebun dengan menu utama papeda.

Sagu adalah identitas. Selain identitas juga bahan pangan yang dikelola secara turun temurun. Bahan pangan satu ini adalah identitas Indonesia dan menjadi keunggulan komparatif yang tak dimiliki negara lain. 

Indonesia adalah produsen sagu terbesar layaknya kelapa yang sekarang mengalami nasib tak berunjung. Atau menurut Kementan, Indonesia punya lahan seluas 5.4 juta Ha dari total lahan sagu diseluruh dunia sebesar 6.5. 

Tentu jika dikelola dengan baik dan mengedepankan lingkungan seimbang maka akan menjadi sumber pangan penting terutama di masa pandemi saat ini. (sukur dofu-dofu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun