Sebagai catatan, untuk mendaki gunung perlu ada izin para tetua serta beberapa aturan yang tidak bisa dilanggar seperti tidak membuang sampah sembarangan dan buang hajat sembarangan.
Sementara bagi yang ingin menginap terdapat dua alternatif. Pertama, camping dan yang kedua menyewa rumah atau cottage. Bagi yang keping, sebelum mendirikan tenda, izin harus didapatkan dari ketua RT atau yang bertanggung jawab di wilayahnya. Setelah mendapatkan izin, barulah tenda-tenda didirikan.
Kendala utama di pulau ini ialah krisis air bersih dan belum maksimalnya konsep parawista. Sebagai wisatawan kita harus berjaga-jaga dengan membawa perbekalan sendiri lantaran tak ada yang menjual aneka jajanan atau gorengan.Â
Kondisi pulau yang ditumbuhi banyak pohon sukun seharusnya dapat dimanfaatkan dan didorong oleh pemerintah desa dan kabupaten dengan menggerakan masyarakat membuka beberapa stan. Sebab, walaupun terdapat kios-kios kecil namun kios ini hanya menjual kebutuhan rumah tangga bukan untuk wisatawan. Begitupula dengan air bersih.
Pulau ini krisis air sehingga wisatawan tak jarang mengeluh karena di toilet seringkali tak dijumpai ada air untuk membasuh, mandi maupun untuk buang hajat. Walaupun tersedia sumur akan tetapi beberapa tahun belakangan keruh dan tak bisa dikonsumsi.
Pemerintah Kota Tidore telah berupaya menangani perkara ini, dengan berinsiatif menyalurkan pipa bawah laut, namun hingga kini belum terealisasi.
Warga sendiri pun tak tinggal diam, berbagai upaya dilakukan seperti menggali sumur baru serta mengajukan pembuatan bak penampungan.
Potensi ini penulis dapatkan setelah beberapa kali melakukan survei secara pribadi untuk memahami bagaimana seharusnya ekonomi pulau Maitara di galakan.Â
Secara potensi, pulau ini bisa menjadi alternatif wisata perikanan dengan memaksimalkan budaya melaut warga perikanan. Sehingga perlu desain khusus untuk memadukan parawisata moderen dan budaya orang Maitara.