Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mimpi Tidak Pernah Mati

21 Juli 2022   01:12 Diperbarui: 21 Juli 2022   01:25 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sorot mata Julfikri nampak nampak kosong. Sesekali tatapannya diarahkan kedepan pintu rumah sakit. Lalu kembali kosong, termenung.

Kopi yang di pesannya sedari tadi dibiarkan mendingin seiring pergerakan sunyinya malam menuju fajar. 

Ketika saya datang, Ia terkejut. Sebab tanpa memberi kabar terlebih dahulu, saya mengunjunginya. 

" Eh abang, sendiri?" tanya Iki sapaan akrabnya.

"Ia sendiri. Tadi dapat kabar dari teman-teman sekaligus liat story di Facebook,". Jawabku sembari memesan segelas kopi kapal api yang diseduh secara tradisional menggunakan air panas dari termus.

"Bagaimana keadaan ibu?" tanyaku.

"Masih lemas abang. Barusan ambil darah. Mungkin besok sudah ketahuan penyakit apa," Jawabnya.

"Semoga Ibunda secepatnya di sembuhkan penyakitnya oleh Allah SWT,". Ujarku.

Malam itu, kami  isi dengan mengobrol panjang lebar. Saya pamit menjelang adzan sholat Subuh dikumandangkan.

Setelah pertemuan tersebut, saya selalu menyempatkan waktu mengunjunginya, mengobrol dan menguatkan agar Ia bersabar menghadapi cobaan.

Namun dua malam setelahnya, Iki mengabari. " Abang, mama sudah dipanggil yang Maha Kuasa. 

Pesan singkat tanpa basa-basi ini membuat saya berkaca-kaca. Lantaran sebelumnya sang Ibunda menunjukan kondisi kesehatan yang mulai membaik. Namun kuasa Tuhan tak ada yang tau.

Sosok ibunya begitu sederhana. Beliau adalah salah satu sosok dari sekian ibu yang saya kenal gigih memperjuangkan dan mendorong anaknya menggapai impian. Saya tak bisa membayangkan betapa kehilangan yang Ia rasakan. 

Tiga hari menjelang kepergian ibunya. Duka datang menghampiri tanpa memandang posisinya yang sedang jatuh. Atau memandang betapa rapuh batin yang dirasakannya.

Sang ayah berpulang dua hari kemudian. Di ujung negeri jauh dari posisinya saat ini. Di Tanah Papua ketika ayahnya sedang mengais rezeki sebagai pekerja bangunan.

Iky tak bisa melihat jasad ayahnya untuk terakhir kali. Lantaran, ayahnya di makamkan di pedalaman Papua. Jauh dari perkotaan. Dan tidak mungkin juga ia langsung berangkat dengan menempuh perjalanan jauh.

Sebuah rentetan cobaan yang luar biasa dari sang Kuasa.  Saya begitu haru menyaksikan kondisi yang menerpa pria berusia 23 Tahun ini. Sebagai anak tunggal, tentu ia tak akan lagi merasakan kehangatan keluarga ketika pulang ke rumah hanya untuk menyicip masakan ibunya.

Ketika pulang kampung, rumah akan terasa sepi yang ada hanya kumpulan kenangan yang pernah dilalui oleh mereka. 

Padahal, ia berharap setidaknya ketika wisuda yang terhitung beberapa bulan lagi akan digelar, ia bisa didampingi oleh ibunya atau keduanya. 

Alhasil, orang tuanya memang hadir namun dalam wujud bingkai foto yang ia letakan di samping kiri saat sesi pemotretan ketika ia mengenakan toga kelulusan. 

" Setidaknya usaha mereka tidak sia-sia mendorong saya mencapai bangku pendidikan sarjana," Ujarnya kala itu.

Keterpurukan selalu membuat seseorang menjadi kuat. Pun dengan Iky. Kepergian mendadak orang tuanya tidak membuatnya sedih berlarut-larut. Ia memilih meneruskan hidup dengan mewujudkan mimpi yang selalu di pesan orang tuannya.

 Semasa hidup orang tuanya berharap ia menjadi manusia yang bermanfaat. Ia mengingat pesan dari sang ibu di akhir hayat, agar melanjutkan hidup dengan bangga dan mengejar cita-citanya.

"  Walaupun mama dan papa sudah tiada tetapi kamu harus ingat, sekolah yang baik dan buat kami bangga," itu pesan yang ia ceritakan.

Lewat pesan itu ia bangkit perlahan dan menyelesaikan kuliah sembari bekerja sebagai wartawan disebuah media online lokal dan sekarang bekerja di sebuah pertambangan nikel dengan posisi penting.

*

Iky saya kenal ketika ia duduk di Bangku SD Kelas 6 saat bertandang ke rumahnya beberapa tahun silam. Kedua orang tuanya menyambut dengan hangat lantaran saya dianggap mampu memberikan nilai positif dalam pemahamannya.

Setiap kali ke rumah di desa, saya selalu di suguhkan kehangatan. Makan dan ngopi selalu tersaji kala saya bertamu. Setiap obrokan berjakan dengan tawa. Namun disela-sela itu selalu ada harap yang di amanatkan.

"Tolong sering ingatin Iky biar tidak malas sekolah. Motivasi ia biar tidak putus sekolah," 

Pesan itu selalu diterima. Wajar saja, sewaktu kecil Iky tergolong malas sekolah. Orang tuanya kadang tak tau lagi harus berbuat apa.

Saya sering menyempatkan waktu menyeret anak kecil ke pantai. Menikmati senja lalu memberikan bobotan motivasi. Jurus yang sering ku gunakan dalam membayat mahasiswa di organisasi juga ku keluarkan.

Begitu seterusnya hingga ia masuk jenjang SMA. Setiap kali kembali ia sudah tau akan diceramahi. Beruntungnya, saat SMA kondisi berbalik. Motivasinya untuk sekolah begitu tinggi hingga menuju jenjang perkuliahan.

Motivasinya itu diperoleh ketika ia melihat sang ayah membanting tulang sebagai seorang pekerja bangunan. Ayahnya hingga harus keluar daerah guna membiayai sekolah iky.

Aku masih mengingat pesan ayahnya kala mengobrol via mesengger. "Bilang ke Iky sekolah yang baik. Saya di sini berjuang demi masa depannya".

Harapan dari orang tua yang begitu menyanyangi anaknya. 

Saat ini, setelah kepergian sosok kedua orang tua yang hebat itu, Iky tetap melanjutkan hidup. Walau sudah sendiri, saya tak melihat ada raut kelamahan. Justru ia semakin kuat menjalani hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun