Di dunia perkuliahan, ia pun terhadang pada pemikiran yang tak sejalan. Sosoknya sering di anggap menggangu ketidaksabilan pikir yang terbentuk di kelas. Tak jarang pemikiran-pemikiran kritisnya dianggap tabuh bagi teman-temanya.
Dalam pokok-pokok diskusi pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan acapkali dianggap remeh. Padahal ia sedang mencari jawaban atas pemikirannya. Semua ini menyebabkan lingkaran pertemanan menjadi kecil.Â
Perempuan muda penyuka film lawas dan berbau politik, seksualitas, gender dan eksploitasi perempuan ini pun akhirnya menyadari bahwa tak mudah menemukan frekuensi pertemanan yang sejalan. Ia pun harus menyesuaikan diri pada setiap lingkungan yang dijalani.Â
Ia memegang prinsip, jika kamu emas mau di tempat berlumpur sekali pun kamu tetap emas.Â
Bangku Kuliah dan Teater Lilin Semuanya Di Mulai.
Diingkungan ini, ia menemukan orang-orang hebat yang Low Profile, jujur, sederhana namun cerdas dan kritis, para pembaca buku berat. Ia menemukan frekuensinya.Â
Dari teater pula matanya terbuka, tentang kesenjangan, zona nyaman hingga berlaku dalam hidup. Disini ia di tempa sangat keras, disiplin menjadi prioritas utama.
" Sebelum ke teater saya sulit membagi waktu. Bahkan di awal-awal kuliah hal ini menjadi kebiasaan buruk. Namun setelah disini, disiplin adalah senjata utama. Bayangkan, terlambat sedikit saja pasti di kritik," ujarnya.
Sehingga dunia teater bagi Maria adalah ruang belajar luas yang membuka cakrawala berpikir membuka pengetahuan baru dan refleksi diri, membentuk karakter diri dengan melewati berbagai fase.
Disini Ia di ajarkan  menghargai proses dari pada hasil. Melihat sudut pandangan berbeda dari orang-orang pada umumnya. Melihat situasi dan fenomena sosial yang sedang pelik serta belajar prinsip, prioritas, komitmen dan tangung jawab.Â
"Aku nemuin makna dan value tentang kehidupan. teater bagiku adalah miniatur kehidupan. Teater bagiku bukan lagi sebagai hoby tapi passion " Ungkap Maria.