Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Maria Si Gadis Teater

10 Oktober 2020   22:41 Diperbarui: 10 Oktober 2020   22:49 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pementasan. Dok. Maria

Manusia dan Jati diri adalah pencarian termahal bagi seseorang. Pun dengan Maria Ayu, gadis remaja asal Jogjakarta berumur 20 Tahun. Ia menghadapi pergolakan batin yang haibat; benturan demi benturan, dilema, cemas bahkan cacian. Hingga, di ujung jalan ia menemukan dirinya lewat Theater.


Bagi Maria, dunia Teater adalah lingkungan yang merepresentasikan dirinya. Ia benar-benar hidup disini. Jiwanya kuat, karakternya terbentuk, dan intelektualnya terasah. Pada sosial, pada politik hingga manusia.

Maria tak lahir dari keluarga seniman. Ia membentuk diri secara otodidak dan secara naluria yang melekat sejak lahir. Walaupun ia betutur, dua sanak keluarganya sempat berkecimpun di dunia seni saat masih di bangku sekolah.

Ketertarikan wanita kelahiran 2000  di Kota ini pada dunia seni ketika duduk di bangku TK. Ia senang melukis dan menggambar. Di TK pula ia bekenalan dengan seni tari dan bergabung dengan sanggar tari hingga SMP. Dari Tari Tradisional hingga moderen Dance, dan di Bangku SMA Ia mengenal Teater.

"Awalnya basic nari dari TK sampai SMP dan dari sini aku mencintai Seni. Waktu SD senang melukis. SMP mencoba sesuatu yang berbeda dalam dunia tari yakni moderen dance dan saat SMA ke Teater. Namun moderen dance dan tari masih melekat hingga sekarang," Ujarnya

Sejak mengenal Teater di Bangku SMA,ia lantas jatuh cinta, walaupun belum ia seriusi. Namun, perkenalan ini telah kesan tersendiri baginya. Di Bangku kuliah, semenjak ia berkenalan dengan UKM Teater Lilin, semuanya di mulai. Dengan segala cerita tentang pergolakan batin pada diri dan lingkungan kampus, teman bahkan keluarga.

Pada diri, ia sedang mencari jati diri. mencari lingkungan yang sefrekuensi dengannya. Bahkan saat pertama kali berkecimpun di dunia teater waktu SMA ia sudah dihadapkan pada cultur scok yang baru pada hidupnya, sebab selama ini ia merasa baik-baik saja pada zona nyaman yang ia yakini.

Sementara, di lingkungan keluarga ia di hadapkan pada batasan, larangan dan arahan yang menyebabkan batasnya menjadi bias. Di satu sisi, ia ingin menggunakan hak nya sebagai manusia dalam menentukan pilihan atas dasar hati dan keinginan memimpin diri lebih jauh. Sementara dari sisi keluarga, ia menjadi terkekang. Ia harus nurut keinginan orang tua.

"Aku menyadari seiring waktu ketika dulu selalu diarahin orang tua dan ketika aku kuliah, aku menemukan pandangan baru. Dari sini aku memutuskan out dari zona itu walau banyak di tentang. Berat tentu saja, namun manusia punya hak yang gak bisa di batasi," Ungkap gadis yang senang membaca buku berat semisal Antony Gramsy, Robert Barten, Dunia Soppie, Jurgen Hubermas, Emanuel Khan, dll.

Maria menjalani pemikiran "kaku" yang di anut keluarga agar ia menjadi pegawai bank atau pekerja kantoran. Sejak SD pemikiran itu ia terima walau kadang hadir pemberontakan kecil dalam diri. 

Ia menghormati keinginan dan keputusan orang tuanya. Sebagai anak ia tak mau dianggap pemberontak atau durhaka yang melekat. Gejolak itu terus merontah apalagi saat ia mengekspos diri lewat teater yang menurut orang tuanya berbau hal-hal buruk dan negatif.

Di dunia perkuliahan, ia pun terhadang pada pemikiran yang tak sejalan. Sosoknya sering di anggap menggangu ketidaksabilan pikir yang terbentuk di kelas. Tak jarang pemikiran-pemikiran kritisnya dianggap tabuh bagi teman-temanya.

Dalam pokok-pokok diskusi pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan acapkali dianggap remeh. Padahal ia sedang mencari jawaban atas pemikirannya. Semua ini menyebabkan lingkaran pertemanan menjadi kecil. 

Perempuan muda penyuka film lawas dan berbau politik, seksualitas, gender dan eksploitasi perempuan ini pun akhirnya menyadari bahwa tak mudah menemukan frekuensi pertemanan yang sejalan. Ia pun harus menyesuaikan diri pada setiap lingkungan yang dijalani. 

Ia memegang prinsip, jika kamu emas mau di tempat berlumpur sekali pun kamu tetap emas. 

Bangku Kuliah dan Teater Lilin Semuanya Di Mulai.

Maria Ayu sedang memerankan Sebuah Karakter. Dok. Maria Ayu
Maria Ayu sedang memerankan Sebuah Karakter. Dok. Maria Ayu
Pada semester 3 ia masuk ke sebuah UKM, Theater Lilin setelah sebelumnya banyak di tolak di UKM yang ia tuju. Di lingkungan inilah ia menemukan rumah baru, rumah yang berbeda dengan teater di SMA. Rumah ini menempah dirinya meninggalkan zona nyaman, zona yang membentuk pemikiran liarnya jadi terstrukutur, bangunan pikirnya mulai kritis terutama hal-hal sosial.

Diingkungan ini, ia menemukan orang-orang hebat yang Low Profile, jujur, sederhana namun cerdas dan kritis, para pembaca buku berat. Ia menemukan frekuensinya. 

Dari teater pula matanya terbuka, tentang kesenjangan, zona nyaman hingga berlaku dalam hidup. Disini ia di tempa sangat keras, disiplin menjadi prioritas utama.

" Sebelum ke teater saya sulit membagi waktu. Bahkan di awal-awal kuliah hal ini menjadi kebiasaan buruk. Namun setelah disini, disiplin adalah senjata utama. Bayangkan, terlambat sedikit saja pasti di kritik," ujarnya.

Sehingga dunia teater bagi Maria adalah ruang belajar luas yang membuka cakrawala berpikir membuka pengetahuan baru dan refleksi diri, membentuk karakter diri dengan melewati berbagai fase.

Disini Ia di ajarkan  menghargai proses dari pada hasil. Melihat sudut pandangan berbeda dari orang-orang pada umumnya. Melihat situasi dan fenomena sosial yang sedang pelik serta belajar prinsip, prioritas, komitmen dan tangung jawab. 

"Aku nemuin makna dan value tentang kehidupan. teater bagiku adalah miniatur kehidupan. Teater bagiku bukan lagi sebagai hoby tapi passion " Ungkap Maria.

Lewat Peran, Kepekaan Hadir

"Memerankan sebuah karakter adalah hal tersulit dari teater. Aku Harus membunuh jiwaku terlebih dahulu". Maria Ayu

Maria sudah memerankan beberapa karakter. Dan karakter yang sering ia perankan selalu berkaitan dengan skandal prostitusi, eksploitasi, perselingkuhan dan gender. Ini pula yang membuat ia menemukan pengetahuan baru tentang kehidupan dari peran yang ia lakoni.

Memerankan sebuah karakter tentu bukan perkara mudah. Di mulai dari proses latihan selama berminggu-minggu dengan waktu yang dihabiskan sekira 5-6 jam perhari. Dan bagian paling tersulit adalah menjiwai dan menciptakan karakter.

" Dalam menciptakan karakter, kita harus benar menciptakan objek. Sosoknya harus jelas dari benak lalu masuk ke dalam diri," ungkap Maria.

Ia pun bercerita bahwa dalam memerankan seorang karakter, ia harus melibatkan diri, riset dan wawancara. Misalnya memerankan perselingkuhan. Ia membangun chemistry seakan-akan ia sedang selingkuh. Tiap malam, bersama koleganya ia chat-chatan layaknya orang pacaran.

Ia juga pernah memerankan si tukang jamu hyper seks. Untuk mendapatkan gambaran ia survei, ia wawancarai penjual jamu hingga pada objek yang menurutnya pas untuk membangun karakter. Menjadi hyper seks membuat ia menyadari bahwa secara  teori sangat pas dan dari sisi psikologis. Ia jadi tau alasan dibalik hyper seks adalah kesepian. 

Ia juga pernah memerankan karakter orang gila yang sudah 20 tahun lebih menjadi gila karena menyaksikan orang terkasih di perkosa dan di bunuh dihadapannya.

"Banyangin aja mas, kamu tidak pernah gila dan harus memerankan karakter orang gila yang gilanya sudah 20 tahun, susahnya minta ampun. sehingga di teater, kita harus belajar menghendel diri sendiri termaksud gerak tubuh. Harus ada motivasi," Ujarnya.

Baginya, dalam teater semua orang sangat berperan penting dari pemain hingha Sutradara yang mampu menghadirkan sosok secara nyata dengan basic penyakit jiwa, dan mental yang tanpa di sadari  benar-benar related dengan dunia sekarang.

" Aku sering mengadirkan orang lain seperti lakon-lakon yang pernah aku mainin. Aku calling mereka agar aku berani,".

Maria tak menampik bahwa karakter yang sering ia mainin sering terbawa pada kehidupan nyatanya. Apalagi sehari dua hari setelah pementasan. Sehingga untuk menampik itu semua ia selalu berusaha positif thingkin.

"Harus pintar mencerna dan menyikapi serta jangan sampai kebawa kenyatan. Kadang karakternya terbawa sampai dunia nyata karena insentis latihan kayak suara gestur kebawa. susah ngak bisa di jelasin"

Selain itu, dari peran-perannya ini ia dapat memahami  isu-isu tentang perempuan, eksploitasi dan gender yang sekarang menjadi conceren pemikiranya. Pemikiran ini juga sangat membantu ia di lingkungan studi.

Bagi Maria, sensualitas adalah bahan perbudakan. Pun dengan prostitusi dimana konsep prostitusi sangatlah tua. Namun, seiring berjalan waktu ia masuk ke berbagai ranah dan  mendarah daging. 

"Kita seharusnya yang bisa mengontrol pikiran kita, diri kita, namun terkadang orang-orang melihat segala sesuatu dari sisi berbeda. Sisi eksploitasi selalu terdepan".

Saat ini Maria sedang memerankan monolog Dari Putu Wijaya. Latihan pun sudah sangat intens dilakukan. Apalagi monolog dari Putu Wijaya sangat sulit karena mereka harus menemukan karakter sendiri. Ia berperan sebagai penari ronggeng yang sering identik dengan seksualitas dan eksploitasi perempuan..** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun