Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ruang Sempit Bernama Broken Home

13 Oktober 2020   09:26 Diperbarui: 13 Oktober 2020   15:00 1985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di saat anak-anak lain bahagia memainkan permainan tradisional, ia kadang dijadikan sebagai anak bawang alias anak yang tak bisa kena hukuman permainan jika dalam game. Rasa kasihan dan iba membuat ia justru semakin terpuruk pada emosionalnya. Ia butuh pengakuan.

"Saya ingat, kalau bikin kapal-kapal dari kayu, itu saya tak bisa membayangkan apa yang mau saya buat. Begitu juga permainan lain, terkesan saya asing sendiri di waktu itu," beber dayat.

Pembentukan karakter itu bahkan sampai sekarang ia alami. Ia kadang tak mampu beradaptasi dengan lingkungan karena merasa minder dan lebih sering berdiam diri. Terkadang ia menyalahkan keadaan, kenapa harus begini dan kenapa harus begitu.

Perjalanan hidup membentuk psikologinya. Apalagi pertanyaan mengenai kamu anak siapa, atau ini anak siapa yang selalu menghiasi kupingnya saat ia melakukan perjalanan bersama sang kakek atau nenek. 

Pertanyaan itu menurut Dayat mungkin biasa bagi orang lain,tapi bagi dia justru menjadi pergolakan batin. Sebab, saat itu yang ia ketahui orangtuanya adalah dua orangtua renta yang setiap hari membelainya.

Rasa itu kemudian mendorong Dayat mencari pengakuan. Ia akan selalu menentang siapa saja yang mengatakan ia anak Si A dan pengakuan lain. Kehidupan yang tidak dibentuk dari kasih sayang kedua orangtua juga membuat ia kaku pada "rasa".

Ia tak paham bagaimana rasanya dipeluk atau dimanja. Ia tak paham bagaimana rasanya ketika pulang ke rumah akan ada dua sosok yang menggugu dan tersenyum. Ia bahkan tak paham bagaimana makan bersama.

"Sampai sekarang, saya tak paham rasa itu. Benar-benar buta. Saya kadang berkhayal bagaimana rasanya dipeluk, rasanya disisir rambut oleh ibu, bagaimana rasanya ke kebun bersama kedua orangtua," ujarnya sambil kuperhatikan matanya berkaca-kaca.

Rasa iri selalu hinggap jika melihat anak-anak bermanja ria bersama para orangtua. Itulah sebabnya, ia sangat geram jika ada anak-anak yang durhaka pada orangtua.

"Saya sering marah jika melihat anak-anak menghardik orangtua, tidak menghargai, dll. Mereka enak merasakan perasaan kasih sayang. Jika saja mereka di posisi saya, mereka akan paham betapa berharganya mengemis kasih sayang."

Ketidaktahuan ia tentang rasa kasih sayang juga ia rasakan ketika duduk di bangku SMP. Saat dihadapkan dengan sesosok wanita cantik, bermata coklat yang tak lain adalah ibunya. Ia baru mengetahui siapa ibunya setelah tak sengaja diperkenalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun