Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ruang Sempit Bernama Broken Home

13 Oktober 2020   09:26 Diperbarui: 13 Oktober 2020   15:00 1985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
anak dari keluarga broken home bisa tumbuh dalam keadaan rapuh (Sumber: istockphoto via straitstimes.com)

"Jika bisa memilih, aku tak ingin menjalani hidup di antara kasih yang terpisah dengan sayang. Kedua-duanya begitu buram, asing". (Dayat)

Dayat menatap langit Jakarta yang dihinggapi polusi. Ia sedang sedang dirundung prahara, setelah ibu kost menyampaikan masalah. Ia belum bayar kosan selama 2 bulan. Di tempat ini, di atas balkon kosan ia sering menghabiskan waktu. Memikirkan semua yang bersarang di kepala. 

Gang sempit di Jalan Supriadi Matraman seakan menjadi sejarah perjalanannya dua tahun belakangan. 

"Seandainya aku punya orangtua, mungkin mereka bisa membantu perkara yang saya hadapi," desahnya bersama desir lara. Aku hanya mampu mendengarkan keluh kesah yang melanda.

Dayat adalah korban dari prahara cinta kedua orangtuanya. Ia lahir tahun 1990 silam di sebuah kepulauan terpencil di timur sana.

Setelah lahir, katanya, sang ayah hanya sekali datang menengok setelah itu pergi tanpa kabar. Masih menjadi misteri baginya. Sementara ibunya, kembali ke Sidangoli melanjutkan pekerjaan di salah satu perusahaan kayu bernama Barito, Milik keluarga Tutut Soeharto.

Sejak itu, ia buta bahkan ketika ia sudah mulai memahami segala sesuatu tentang kehidupan. Pada warna rambut kedua orangtua, sosok, bau, bahkan bayangan. yang ia ketahui, hanya dua sosok renta, keriput dan berambut uban sebagai orangtua. Mereka adalah kakek dan nenek dari garis keturunan ibunya.

"Bagi saya, kedua orang itu sangat berharga. Mereka adalah orangtua yang sesungguhnya," ujarnya.

Hidup tanpa sentuhan orangtua membuat ia menjadi pribadi yang minder, cenggeng namun keras kepala. Bahkan masa kecil selalu di penuhi tangisan karena pembulian baik pada dirinya maupun pada fisik kakeknya.

"Kakek saya punya keterbatasan fisik, kakinya tidak seperti biasa. Sehingga sejak remaja kakek saya sudah tak memakai sendal. sehingga jika ada anak-anak lain menyerang beliau, di situ saya merasa sangat tersudut."

Dayat juga tak pandai berkreativitas. Nalarnya tak pernah jalan dan cenderung kaku bereksperimen.

Di saat anak-anak lain bahagia memainkan permainan tradisional, ia kadang dijadikan sebagai anak bawang alias anak yang tak bisa kena hukuman permainan jika dalam game. Rasa kasihan dan iba membuat ia justru semakin terpuruk pada emosionalnya. Ia butuh pengakuan.

"Saya ingat, kalau bikin kapal-kapal dari kayu, itu saya tak bisa membayangkan apa yang mau saya buat. Begitu juga permainan lain, terkesan saya asing sendiri di waktu itu," beber dayat.

Pembentukan karakter itu bahkan sampai sekarang ia alami. Ia kadang tak mampu beradaptasi dengan lingkungan karena merasa minder dan lebih sering berdiam diri. Terkadang ia menyalahkan keadaan, kenapa harus begini dan kenapa harus begitu.

Perjalanan hidup membentuk psikologinya. Apalagi pertanyaan mengenai kamu anak siapa, atau ini anak siapa yang selalu menghiasi kupingnya saat ia melakukan perjalanan bersama sang kakek atau nenek. 

Pertanyaan itu menurut Dayat mungkin biasa bagi orang lain,tapi bagi dia justru menjadi pergolakan batin. Sebab, saat itu yang ia ketahui orangtuanya adalah dua orangtua renta yang setiap hari membelainya.

Rasa itu kemudian mendorong Dayat mencari pengakuan. Ia akan selalu menentang siapa saja yang mengatakan ia anak Si A dan pengakuan lain. Kehidupan yang tidak dibentuk dari kasih sayang kedua orangtua juga membuat ia kaku pada "rasa".

Ia tak paham bagaimana rasanya dipeluk atau dimanja. Ia tak paham bagaimana rasanya ketika pulang ke rumah akan ada dua sosok yang menggugu dan tersenyum. Ia bahkan tak paham bagaimana makan bersama.

"Sampai sekarang, saya tak paham rasa itu. Benar-benar buta. Saya kadang berkhayal bagaimana rasanya dipeluk, rasanya disisir rambut oleh ibu, bagaimana rasanya ke kebun bersama kedua orangtua," ujarnya sambil kuperhatikan matanya berkaca-kaca.

Rasa iri selalu hinggap jika melihat anak-anak bermanja ria bersama para orangtua. Itulah sebabnya, ia sangat geram jika ada anak-anak yang durhaka pada orangtua.

"Saya sering marah jika melihat anak-anak menghardik orangtua, tidak menghargai, dll. Mereka enak merasakan perasaan kasih sayang. Jika saja mereka di posisi saya, mereka akan paham betapa berharganya mengemis kasih sayang."

Ketidaktahuan ia tentang rasa kasih sayang juga ia rasakan ketika duduk di bangku SMP. Saat dihadapkan dengan sesosok wanita cantik, bermata coklat yang tak lain adalah ibunya. Ia baru mengetahui siapa ibunya setelah tak sengaja diperkenalkan.

Ia kaku, bingung, heran. Namun, tak semerta-merta timbul rasa sama sekali dan yang ada hanyalah rasa keterasingan. 

"Waktu itu saya kaget. Oh ini ibu saya. Sudah, hanya sekadar itu. Setelah itu malah saya tinggal terus nyari kakek saya," ungkap Dayat.

Walaupun sudah mengenal sosok ibunya, ia tak lantas menerima begitu saja. Sebab, tak ada rasa sama sekali dalam dirinya. Ia hanya mengakui bapak dan ibu angkatnya saat numpang tinggal saat bersekolah bahkan hingga sekarang.

Hidup tanpa kasih sayang menempah dirinya dengan keras. Ia bahkan berada pada posisi masa bodoh pada lingkungan luar. Namun, pada dirinya diri sendiri hadir berbagai gejolak; pengakuan, identitas, pencarian, aktualisasi, dan lain-lain yang berkaitan dengan psikologi.

"Tapi belakangan saya mulai memalingkan pandangan pada ibu kandung saya setelah mendapat teguran dari Tuhan," ungkapnya.

"Kenapa, Bang Dayat?" Tanyaku penasaran setelah berbagai cerita ia ungkapkan.

"2017 silam saya dapat teguran itu setelah sakit dan mendapat kesulitan di kost selama seminggu. Setiap malam sosok beliau hadir menghiasi mimpi saya. Dari situ saya paham ada hubungan yang harus dibereskan," katanya.

Kejadian itu membuat ia begitu terganggu. Ia harus meletakkan jauh-jauh ketidakpekaan rasa pada sosok ibunya. Hingga pada 2018 ia kembali dan menyium kedua kaki ibunya sambil menangis tersedu-sedu.

"Bang, saya cium kaki ibu saya, saya minta maaf atas kekhilafan saya. Beliau pun demikian, meminta maaf tak memberi saya ASI, makan, bahkan uang hingga umur saya 30 ini. Bang, rasanya seperti ada pintu yang terbuka, ada hal yang tak mampu dijelaskan. Kamu, Bang... Pulanglah, cium kedua kaki ibumu. Minta maaflah," ujarnya yang seketika membuat saya merinding.

Dari situ hubungan Dayat dan ibunya mulai terkoneksi. Pun dengan adik-adik dari ibunya. Walaupun tak pernah tinggal seatap karena kehidupan yang dilalui sudah membentuk karakter ia untuk survive. Dari ibunya pula, ia mendapat petunjuk sosok sang ayah yang juga sudah berkeluarga dan punya beberapa anak.

"Suatu saat, saya mau ketemu. Dihadapannya akan saya bilang. Ini saya anak Anda yang sudah Anda telantarkan. Saya akan meminta penjelasan. Kenapa begini begitu," harapnya.

Dayat sendiri saat ini survive di Jakarta dengan bekerja freelance sambil kuliah. Sejak kecil ia ditanamkan oleh kakek dan neneknya untuk bersekolah. Sebab hanya itu jaminan Dayat di dunia jika keduanya telah di panggil sang kuasa.

Petuah itulah yang mendorong ia bersekolah walau gonjang-ganjing kehidupan menerpanya. Kenakalan demi kenalan yang ia lakukan tak menyurutkan dan melalaikan ia bersekolah, bahkan dengan biaya sendiri.

Bagi Dayat hidup perlu dijalani apapun kondisinya. Toh ada Tuhan yang menjamin.

(Pandangan tentang apa itu kasih sayang akan dibahas pada artikel selanjutnya)

***

Sejalan dengan Dayat, Riska terdengar menghela napas panjang di ujung telepon. Suaranya seketika datar saat saya tak sengaja menanyakan perihal orangtuanya.

"Aku broken home, Kak." 

Pernyataannya membuat saya merasa bersalah karena mengusik sebuah luka di hidupnya. Namun, respons Riska memberikan sinyal positif bahwa obrolan tersebut bisa dilanjutkan.

Riska saat ini sudah berumur 24 tahun. Ia kelahiran Bogor, tahun 1996 dan baru saja menyelesaikan studi sarjana ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Kota Ternate. 

Ia menghabiskan masa kecil dan bersekolah di Depok hingga saat duduk di bangku kelas 3 SMP tahun 2010 silam, petaka itu datang. Ia dihadapkan pada kenyataan bahwa ayah dan ibunya memilih berpisah. Sejak saat itu, hidupnya tak lagi sama. Kepingan kehidupan serasa berat dijalani. 

Pembulian dan gonjang-ganjing batin selalu dirasakan. Bahkan tak jarang ia harus berkutat pada perasaannya sendiri. Siklus pertemanan juga kadang tak memihak.

Kehilangan orangtua berarti kehilangan kasih sayang. Namun dari perjalanan demi perjalanan ia kemudian membentuk dirinya menjadi lebih kuat. Belajar sedikit demi sedikit mengontrol perasaan walaupun terkadang ada faktor yang sering membuat ia begitu down.

"Belajar dari perjalanan orangtua jadi semakin menua semakin takut jadi semakin hati. Apalagi, banyak manusia yang bertopeng," ujarnya.

Riska kemudian memotivasi diri menjadi lebih baik. Mempelajari banyak hal dan mengesampingkan perihal perasaan kasih sayang yang sering menghantui. Baginya kebahagiaan orangtua, terutama ibunya adalah yang utama. Apalagi di tengah kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan.

Baginya, apa yang sudah terjadi sudah menjadi takdir. Toh, hidup harus dijalani walau miskin kasih. 

**

Riska dan Dayat hanyalah dua anak dari jutaan anak-anak yang merasakan beratnya kehidupan sebagai anak broken home di Indonesia. Fenomena yang hingga saat ini masih menjadi masalah serius di Indonesia di mana, angka perceraian setiap tahun begitu tinggi. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun