Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kangkung, Sekolah dan Cita-cita

24 September 2020   18:50 Diperbarui: 24 September 2020   18:54 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

" Hidup yang diawali dengan tekad dan perjuangan akan membawa seseorang menuju kesuksesan," 


Si anak kangkung, begitu sematan yang saya berikan setelah mengenalnya lewat cerita yang ia bagi. Jika Hairil Tanjung di kenal anak singkong dan banyak mengisnpirasi maka Husen  adalah sosok yang sama menginspirasi.

Kami berdua, terlibat obrolan di sebuah sudut mall  di Kota bogor  sembari diiringi hujan yang mengguyur Kota. Kota dengan sematan kota hujan selain kota seribu angkot. Sudah kota hujan, hujan pulak. Seakan mempertegas eksistensinya.
***
Pukul 04.00 WIT, ia sudah bangun mendahului mentari pagi. Bersama satu saudaranya, Ramlan atau Alan, bergegas menuju rumah seorang guru, pak Sudirman Yakin, yang juga kepala sekolah di sebuah kampung yakni SD Moiso Kabupaten Halmahera Barat. Dulu, kabupaten ini masih masuk wilayah administrasi Kota Ternate.

Jarak dari rumah mereka tak jauh, hanya 200 meter dan berada di sebrang jalan. Disini, mereka akan menemui ibu dari pak guru, Rusna Barham. Sebelum mengetuk pintu, keduanya masih menunggu di depan rumah sampai sholat subuh selesai. 

"Kami tunggu sampai beliau (nenek red) selesai sholat baru ketuk pintu," ujar Husen.

Setelah itu, mereka akan di ijinkan masuk kemudian mengambil barang dagangan (kangkung, singkong dan pisang) dan di bungkus menggunakan kain sarung.

Ketiganya kemudian menuju lokasi pasar yang di tempuh dengan berjalan kaki. Jaraknya kira-kira 7 KM. Pasar yang dituju berada tepat di salah satu Perusahan Barito Timber Group. Milik keluarga Prajogo Pangestu. Masih dalam lingkaran keluarga penguasa saat itu, Presiden Soeharto.

Menurut Husen, kegiatan ini mereka lakukan setiap akhir pekan atau hari minggu dan pasar yang dituju bukanlah pasar dalam bentuk fisik yang di pusatkan pada suatu tempat. Tetapi, lebih tepatnya mereka menawarkan barang dagangan di luar pagar perusahaan ke pegawai atau karyawan.

Selain mereka ada juga penduduk lain yang menjual hasil kebun maupun hasil laut di perusahaan.

"Kalau ke pasar lokal lebih jauh, jadi kami bawa kangkung dan jual ke perusahaan saja,". Ujarnya.

Kangung yang di perdagangkan dijual perikat 50-100 rupiah dan biasanya mereka bawa 100 ikat. Selain itu, pisang dan singkong (kasbi) juga mereka jual. 

Mereka akan berjualan hingga pukul 10.00 Pagi. Habis dan tak habis mereka akan pulang pada jam segitu agar tidak kepanasan. Ñamun tak jarang pula mereka berjualan hingga pukul 11 jika di rasa hasil yang diinginkan belum tercapai.

Dari hasil membantu ini, Husen dan Alan akan di upah 300-500 rupiah. Pada periode 1990-an nilai uang ini terbilang cukup tinggi. 

"Kalau semua laku, bisa dapa kase lebe (dapat diberi upah lebih besar),"

Uang itu mereka tabung dan sebagian buat jajan di sekolah. Hal ini mereka lakukan karena kedua orang tua mereka di kampung tidak sering mengirim uang. jika dikirim, paling-paling uang SPP yang saat itu sebesar Rp. 5.000 perbulan.
***
Bagi Husen, berjualan kangkung hanyalah sederet aktifitas baginya. Saat ia masih bersekolah di Kota Ternate dan tinggal dengan saudara ibunya, ia juga sudah berdagang. 

Setiap sekolah pagi maupun siang, ia selingi dengan berjualan es lilin. Es itu milik salah satu guru yang juga tetangganya di Kota Ternate. Ia berangkat ke sekolah dengan mengangkat termos es di kepala. Sesampai di sekolah, termos tersebut kemudian di letakan di depan kelas.

Saat bel jam istirahat berbunyi, saat itulah ia menjajakan es-es tersebut. Di depan kelas ia menawarkan jajajannya dengan harga Rp. 25 sen kepada teman-temannya. Begitu seterusnya selama dua tahun sebelum ia pindah ke Sidangoli. 

Husen sendiri hidup berpindah-pindah, dari satu pengampu ke pengampu lain. Lantaran ia sering mendapat kekerasan fisik. Hal yang membekas pada ingatannya hingga dewasa.

"saya so pindah sekolah 4 kali. Terakhir tamat SD di kampung halaman.," tuturnya.

Selain menjual es, sepulang sekolah ia dan teman-temannya menuju pasar Gamalama dan berjualan kantong kresek kepada konsumen. Selain itu mereka juga menawarkan jasa pengangkutan. Dimana saat konsumen berbelanja, mereka menawarkan diri untuk mengangkut barang dagangan dengan imbalan sesuai keinginan konsumen.
***
Tahun 1999, Pukul 20.00 seingat Husen, mereka dikejutkan dengan kepanikan warga desa lantaran desas-desus kampung mereka akan di serang. Bagi husen, ia tak paham dengan kejadian itu. Toh umurnya masih 12 Tahunan.

Malam itu menjadi malam terakhir ia berada di desa ini, karena semua warga sudah meninggalkan rumah masing-masing semenjak sore.

"Saya tr tau apa-apa, cuman di suru bungkus pakeang kong lari. ( saya tida tau apa-apa, hanya disuru bungkus pakaian terus lari)," 

Kata Husen, jika saja malam itu mereka tak lari menuju pelabuhan penyebrangan yang ditempuh dengan berjalan kaki, mungkin pertemuan sore ini sudah tidak terlaksana. Sebab, 2 jam setelah itu kampung mereka rata dengan tanah. Bahkan, beberapa yang ia kenal sudah tinggal nama dan mayat mereka tak diketemukan.

"Satu saudara saya mati saat dia cari dia pe mama (mencari ibunya). Sampai sekarang mayatnya tidak di temukan," 

Husen baru sadar setelah kembali ke kampung. Bahwa apa yang di alaminya karena konflik sara (agama) yang menelan ratusan korban di berbagai tempat. Di kampungnya sendiri, banyak warga yang juga ikut menjadi pasukan perang dan menuju lokasi-lokasi konflik di Halmahera.

Akibat konflik ini, Husen menyelesaikan pendidikan SD nya di kampung halaman. Kemudian kembali lagi ke Ternate dan menyelesaikan Pendidikan SMP, SMA dan S1. 

Proses penyelesaian pendidikan ia tempuh dengan modal nekat. Sebab, tamat SD ia dipaksa tak melanjutkan ke jenjang berikut karena kekurangan biaya. Namun, tekadnya bersekolah tak menyurutkan niat. Ia tetap melanjutkan pendidikan dengan biaya sendiri. Biaya dari hasil berjualan jasa di pasar, menjadi kuli bangunan hingga ngojek.

Bagi Husen sekolah tak perlu memandang biaya, asalkan ada niat dan tekad semua bisa tercapai. Hasilnya, Husen sekarang mempunyai 2 perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 15 orang. Selain itu, ia menjadi perintis pendidikan pesisir dan berbagai gerakan inovatif di bidang pertaian.

Saat pertemuan saya dengan Husen saat ini, ia sedang melanjutkan studi jenjang magisternya setelah terpendam beberapa tahun. Baginya apa yang ia lakukan adalah bagian dari memotivasi diri dan lingkungannya agar dapat mendorong diri lebih kuat dan menantang hambatan yang ada di masing-masing orang.  Terutama bagi mereka anak-anak petani dan nelayan.

Cita-citanya pun terbilang sederhana tetapi bermakan, yakni menjadi orang yang dapat menginspirasi lewat cerita dan tindakan yang ia lakukan. Bagi Husen, menginspirasi yang lain, belum cukup sebab perlu dorongan dan contoh lewat tindakan-tindakan. Terima kasih.

***

Note; karena alasan tertentu, Husen tak mau fotonya di publikasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun