"Iyo, berapa ke Sofifi?" tanyaku untuk mengetahui tarif ke Sofifi, Kota Tidore yang jaraknya 4-5 jam.
"350 sudah langsung jalan," tawar Adi, sang sopir. Saya tak menawar lagi karena sedang terburu-buru sampai di Kota Ternate. Minimal bisa mengejar kapal fery terakhir pada pukul 9 malam.
Kami pun berangkat. Kecepatan mobil di pacu diantara 110-130 km perjam. Ini kecepatan biasa para sopir lintas.
Sesampainya di Kecamatan Malifut dan Kao, saya penasaran. Terutama pada areal tambang terbesar di daratan ini. Ketertarikan saya karena selama ini, tambang yang sudah beroperasi lama ini selalu menjadi memicu konflik antara pihak perusahaan dan masyarakat lintas tambang yang selalu menghiasi media massa.
Selain itu,dampak ekologis juga nyata. Baik pada lahan dan laut terutama di Teluk Kao yang berdasarkan hasil penelitian beberapa peneliti menemukan teluk Kao yang kaya akan sumber daya perikanan seperti ikan teri telah terkontaminasi bahan mercuri dan limbah tambang. (2)
"Bang tambang ini besar sekali e (ya),?" Tanyaku pada Adi.
"Besar sekali bos, ini orang tidak tau di dalam tanah ini banyak terowongan. Bahkan banyak teman-teman pekerja cerita kalau terowongan ini so amper (sudah hampir) meliputi samua kecamatan dari Tobelo sampai Kao," ujarnya.
Ia sendiri lantas khawatir bahwa suatu saat jika terjadi gempa dahsyat saja maka semua desa akan amblas dan rata dengan tanah  Apalagi, Maluku Utara saja sering gempa.
Gawat juga pikirku saat itu. Sepanjang perjalanan ini saya disuguhkan lalu lalang kendaraan pengangkut material tambang menuju Teluk Kao yang sesaat kemudian saya saksikan sendiri pelabuhan labuh tersebut.
Ia juga menuturkan,banyak warga yang menambang illegal karena kebun-kebun mereka sudah tak berbuah. Mereka tak jarang dikejar para aparat bersenjata lengkap. Bahkan banyak dari mereka masuk bui.
"Banyak. Mau bagimana, pala deng (dengan)cengkeh saja daun sudah kuning. Belum kali (sungai) yang dulu waktu saya masih kecil, air masih bagus sekarang colat semua," Ujar Adi.