Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Tambang Digenjot, Ikan dan Pala Cemburu

21 September 2020   06:06 Diperbarui: 22 September 2020   10:08 2517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Reuters via Kompas.com

"Dulu, ikan dasar (karang) sangat banyak di perairan Pulau Obi. Tetapi semenjak beroperasinya tambang di sana, ikan sulit didapat."

Begitu tutur Pak Iwan, seorang nelayan berusia sekira 45 tahun saat sedang menunggu bayaran hasil tangkap di salah satu pasar tradisional Pulau Bacan.

Bersama ia, ada Pak Hafel dan Pak Gurdam. Sama-sama nelayan yang sedang menunggu hasil bayaran dari Pak Ridwan. Sang pedagang grosir yang sedari tadi sibuk mencatat setiap ikan yang ditimbang.

Senja mulai datang, para pedagang di Pasar Tembal ini sibuk menawarkan ikan dengan teriakan "Mari-mari cakalang, tude, momar, teri," Sahut-sahutan menarik pedagang begitu riuh. Berbeda dengan siang tadi yang agak cenderung sepi.

Tawar-menawar tak terhindarkan. Tangan lincah para pedagang dengan parang-parangnya mengecilkan ikan milik pembeli. Mereka tak mau repot-repot membersikan lagi ikan ketika sampai ke rumah. Cukup menambah Rp3000-5000 ke pedagang.

***

Pak Iwan duduk di antara susunan kolboks berwarna orange. Tempat yang digunakan untuk menyimpan ikan oleh pedagang. Sedang Pak Hafel dan Pak Gurdam duduk di depannya, di atas sebuah bangku sederhana. Mereka bertiga bercengkerama seperti biasa dan begitu cair.

Kopi yang sedari tadi mereka seruput juga tinggal setengah sebelum pak Ridwan menghampiri mereka dna melakukan pembayaran. 

"Hasil kurang e (ya), tara (tidak) biasanya?" tutur Pak Ridwan yang sering di sapa om bos. Sapaannya ini karena Pak Ridwan adalah salah satu pedagang grosir besar dan juga dikenal sebagai kepala pasar. Ia berperan penting dalam rantai pemasaran ikan hingga ke Kota Ternate, Bitung, Manado, dan Surabaya.

"Ya mau bagaimana, sejak banjir tahun 2016 kemarin deng (dengan) kapal-kapal tongkang dan kapal pengangkut sandar, ikan so (sudah) abis," tutur Pak Gurdam.

Banjir yang ia maksud akibat dari pembukaan lahan perusahaan kayu dan anak perusahaanya yang bergerak di tambang nikel melakukan eksplorasi besar-besaran di Kepulauan Obi yang berlebihan sehingga resapan air tak lagi ada saat hujan deras.

Terhitung 5 desa di terkena dampak, yakni Desa Laiuwi, Buton, Anggai, Air Mmangga, dan Desa Ake Gula. Aktivitas lumpuh total, sawah, dan lahan penduduk desa juga ikut jadi korban. Pun dengan gedung pemerintahan semisal puskesmas, sekolah hingga polsek. Sekira 1.500 orang mengungsi. (1)

Selain itu efek dari pengangkutan material juga telah merusak eksositem karang hingga ikan-ikan sulit ditemukan. Nelayan seperti Pak Iwan dan kawan-kawan mencari lokasi lain.

***

Beda halnya dengan Pak Iwan dkk. Imran, salah satu penduduk Desa Kawasi sedang galau. Ia dan warga suatu saat harus meninggalkan rumah mereka karena adanya kesepakatan antara pemerintah dan pihak perusaahaan untuk direlokasi. Belakangan kekhawatiran itu semakin menuncak setelah ada wacana telah diizinkannya pembangunan Taling.

Taling sendiri ialah sisa penambangan yang akan dibuang kelaut. Ia khawatir sebab, rumah yang sudah lama di huni sejak turun temurun akan dipindahkan.

"Kami menolak keras wacana relokasi ini. Sebab sama saja dengan pengusiran secara paksa. Apalagi sekarang kebun-kebun kami sudah tidak ada karena sudah menjadi lahan pertambangan. Kami kerja apa, sedangkan mayoritas pekerja adalah tenaga kerja asing dari Cina," tuturnya kesal di pelabuhan Babang saat hendak menyebrang ke Kota Ternate menengok anaknya yang mengeyam pendidikan di perguruan tinggi.

Ia hanya bisa pasrah walau tetap ada harap dimana ia dan masyarakat selalu menyuarakan tentang penolakan ini. Baginya, Pulau Obi sejak 10 tahun belakangan sudah berubah.

"Dulu kami pikir kedatangan tambang akan bikin torang (membuat kami) sejatera padahal sengsara. Kami menyesal dulu ikut tanda tangan menerima tambang masuk di desa dan iko jual kobong (ikut menjual kebun) pa dorang (ke mereka)," ujarnya.

Waktu itu mereka pikir anak-anak dan mereka sendiri akan sejatera. Karena desas-desus tambang begitu menyilaukan. Kini, hanya penyesalan yang mereka dapati.

***

Sekira Pukul 17.00 WIT pada 2019 lalu, speed boat yang saya tumpangi sandar di salah satu dermaga kayu Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara. Saya baru saja menyelesaikan urusan pekerjaan di Kabupaten Morotai.

Sebelum sampai kedepan jalan, saya harus terengah-engah karena jarak pelabuhan dan jalan utama di depan sangat jauh. Melewati sebuah gang sempit dengan jalan yang  becek.

Di kejauhan seorang pria berambut gondrong, berkulit sawo matang dan berbadan tegak sudah menunggu. Sebelum sampai ia sudah berteriak. "Sofifi bos?" 

"Iyo, berapa ke Sofifi?" tanyaku untuk mengetahui tarif ke Sofifi, Kota Tidore yang jaraknya 4-5 jam.

"350 sudah langsung jalan," tawar Adi, sang sopir. Saya tak menawar lagi karena sedang terburu-buru sampai di Kota Ternate. Minimal bisa mengejar kapal fery terakhir pada pukul 9 malam.

Kami pun berangkat. Kecepatan mobil di pacu diantara 110-130 km perjam. Ini kecepatan biasa para sopir lintas.

Sesampainya di Kecamatan Malifut dan Kao, saya penasaran. Terutama pada areal tambang terbesar di daratan ini. Ketertarikan saya karena selama ini, tambang yang sudah beroperasi lama ini selalu menjadi memicu konflik antara pihak perusahaan dan masyarakat lintas tambang yang selalu menghiasi media massa.

Selain itu,dampak ekologis juga nyata. Baik pada lahan dan laut terutama di Teluk Kao yang berdasarkan hasil penelitian beberapa peneliti menemukan teluk Kao yang kaya akan sumber daya perikanan seperti ikan teri telah terkontaminasi bahan mercuri dan limbah tambang. (2)

"Bang tambang ini besar sekali e (ya),?" Tanyaku pada Adi.

"Besar sekali bos, ini orang tidak tau di dalam tanah ini banyak terowongan. Bahkan banyak teman-teman pekerja cerita kalau terowongan ini so amper (sudah hampir) meliputi samua kecamatan dari Tobelo sampai Kao," ujarnya.

Ia sendiri lantas khawatir bahwa suatu saat jika terjadi gempa dahsyat saja maka semua desa akan amblas dan rata dengan tanah  Apalagi, Maluku Utara saja sering gempa.

Gawat juga pikirku saat itu. Sepanjang perjalanan ini saya disuguhkan lalu lalang kendaraan pengangkut material tambang menuju Teluk Kao yang sesaat kemudian saya saksikan sendiri pelabuhan labuh tersebut.

Ia juga menuturkan,banyak warga yang menambang illegal karena kebun-kebun mereka sudah tak berbuah. Mereka tak jarang dikejar para aparat bersenjata lengkap. Bahkan banyak dari mereka masuk bui.

"Banyak. Mau bagimana, pala deng (dengan)cengkeh saja daun sudah kuning. Belum kali (sungai) yang dulu waktu saya masih kecil, air masih bagus sekarang colat semua," Ujar Adi.

Saya jadi mengingat salah satu teman saya, Faisal yang berasal dari Kecamatan Kao pernah menuturkan bahwa hampir semua lahan perkebunan di lingkar tambang mengalami permasalahan ini. Daun menguning dan nampak layu,sehingga pala maupun hasil kebun lainnya tidak lagi bisa berbuah.

Selain itu, konflik juga sering terjadi seperti yang disinggung di atas. Hampir tiap bulan masyarakat lingkar tambang baik di Halmahera Utara, Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Obi dan Kabupaten Kepulauan Taliabu melakukan protes dan tak jarang berbuntut panjang. Dan yang dirugikan ialah masyarakat karena berhadapan dengan hukum. Hal ini lantaran adanya penyerobotan lahan oleh perusahaan, tidak ada ganti rugi hingga perihal dana CSAR.

*

Maluku Utara merupakan wilayah yang didominasi oleh perairan. Namun strukutur pembentukan PDRB beberapa tahun belakangan mulai di dominasi oleh pertambangan. Bahkan, tahun lalu saja baru ada 23 ijin siup pertambangan yang diteken oleh Gubernur.

Menurut catatan Walhi Malut, dari luas Malut 145.801,1 kilometer persegi, ada 313 izin usaha pertambangan menguasai 1.123.403,73 hektar wilayah.(3)

Artinya ke depan seluruh wilayah Provinsi Maluku Utara akan dikepung perusahaan pertambangan lantas bagaimana nasib kejayaan perikanan dan perkebunan? tentu saja tak tersisa. Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun