" Saya mau cerai, suamiku selingkuh,". Bunyi pesan dari seorang kawan perempuan yang sudah lama tak berkomunikasi. Terakhir, komunikasi intens 14 Tahun Silam atau semenjak ia pindah ke kampung lain.
Dilematis tentu saja, entah dari mana ia mendapatkan nomor saya. Tetapi keluhannya membuat saya begitu iba. Kedua, saya belum menikah, bisa-bisanya ia curhat. Wkwkw
Alhasil, sepanjang pagi hingga sore ini kami berdiskusi dengan memposisikan diri sebagai seorang yang tidak akan menyentil secara mendalam urusan mereka.Â
Ia baru menikah di tahun 2016 silam. Sebuah pernikahan yang baru seumur jagung. Mereka berdua dikaruniai 1 anak perempuan.Â
Belakangan kata ia, gelojak perceraian menjadi prahara rumah tangga ia dan suaminta. Semua bermula ketika sang suami kedapatan menjalin kasih dengan mahasiswi di salah satu perguruan di Jakarta.
Ini membuat ia frustasi, antara mempertahankan atau mengakhiri. Apalagi, perihal rumah tangga tak segampang mengucap kata pisah seperti saat menjalin huhungan.
"Emang ketahuan dari mana bro," tanyaku memantik inti permasalahan.
"Dari chat whatsaap," jawabnya.
"Bukankah itu tidak terlalu kuat menjadi alibi?,". Tanyaku menekan
"Jika sekali ia, tapi sudah beberapa kali dan suami saya juga mengakui hal tersebut. Namun ia sudah berjanji tidak mengulangi kesalahan yang sama," Jawabnya.
"bagus dong. Intinya apapun masalahnya coba diselesaikan menggunakan kepala dingin. Jangan mengambil keputusan tanpa logika dan hanya mengikuti perasaan pribadi," Pesanku padanya.
"Iya, bagus tetapi kepercayaan tidak semuda itu bang," Tegasnya.
Obrolan kami begitu panjang. Ia sendiri bahkan sudah melayangkan cerai namun di tolak suaminya. Selain itu, ia juga masih berpikir tentang anaknya yang masih berumur 3 bulanan.
Dari kondisi ini, ia menegaskan bahwa apa yang dimulai suaminya juga akan di ikuti olehnya. Alias ingin selingkuh dengan pria lain. Walaupun sepanjang penegasannya, ia baru menebar ancaman dan belum benar-benar terperangkap kesitu.
"Api sudah jadi arang. Jika ia begitu terus tak menutup kemungkinan saya akan melakukan hal yang sama. Selingkuh di balas dengan selingkuh. Jika bukan karena anak saya sudah melakukan itu sejak lama," Ujarnya yang membuat saya harus memutar otak agar dapat menanggapi secara bijak.
"Janganlah. Itu perbuatan murka. Carilah waktu yang baik. Pergilah berlibur berdua. Dan bicarakan visi dan misi kalian kedepan,". Saranku padanya.
Dari obrolan kami saya menyimpulkan, bahwa keadaan keduanya ialah faktor ekonomi atau persoalan seks; Bagian seks tidak menjadi pembasan kami. Dan Salah satu faktor utama ialah selingkuh.Â
Kondisi ini bukan pertama kali saya hadapi. sebulan lalu juga demikian. Salah satu sanak family yang baru menikah beberapa bulan memutuskan untuk  berpisah, karena perkara sepele. Mereka masih berumur 25 tahun.
Pernikahan yang di gelar megah seakan meruntuhkan keyakinan bahwa materi tak menjamin kesehatan rumah tangga. Apalagi soal emosi antara mereka.
Keduanya memutuskan berpisah setelah ada visi berbeda dari sudut pandang kedepan. Tentang hal sepele yang tak perlu di besar-besarkan. Sebelum itu terjadi, keduanya meminta petuah pada lelaki jomblo macam saya.
Lewat usaha keras meyakinkan keduanya, mereka tak jadi berpisah dan mengambil keputusan tepat. Mempertahankan rumah tangga hingga lahir satu putra. Walaupun terhitung pernihakan mereka belum 2 tahun.
Selain dua kasus di atas, beberapa kali saya mengedit berita menenai kasus perceraian yang hampir rata-rata terjadi pada rumah tangga muda. Bulan lalu, di salah satu kabupaten angka perceraian selama Covid-19 dari Maret hingga Juni mencapai 100 orang.Â
Jumlah ini belum baru lingkup kabupaten dengan jumlah penduduk tak lebih dari 500 ribuan. Â Belum dihitung per provinsi atau Indonesia.Â
Rata-rata umur yang mendominasi perceraian ialah 25-40 tahun. 80 persen diantara mereka berada di bawah umur 30 tahun. Dominasi umur yang sering di putuskan oleh pengadilan.
Berdasarkan data Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2020 jumlah kasus pendaftaran perceraian di semua pengadilan di Indonesia mencapai 414.434. klasifikasikan perceraian mencapai 91.361 ribu pasangan.
Sementara dikutip dari m.ayopurwakarta.com, angka kasus cerai dilihat dari tingkat pendaftaran m3ncalai 20 ribu di lihat dari angka yang tercatat di PA du bulan April-Mei dan meningkat bulan Juni sebesar 57 ribu dengan provinsi terbanyak ialah Jawa Barat.
Kebanyakan keinginan bercerai dilayangkan oleh pihak wanita karwna faktor eksternal dan internal. Dalam penelitian Harjianto et al 2019, menyimpulkan faktor internal yakni faktor ekonomi (37,5 persen), tanggung jawab (15 persen), dan keharmonisan (17.5 persen) Faktor eksternal yakni perselingkuhan (30 persen).
Sementara menurut Maimun et al (2019) juga menemukan faktor pendidikan sebagau unsur perceraian yang berhubungan dengan  intelektualitas spritual-emosional, dan faktor eksternal karena mudahnya akses ke Pengadilan sebagai bagian dari faktor pelayanan publik.
Selain itu, penelitian ini juga menegaskan bahwa faktor paling dominan ialah KDRT, suami selingkuh, kawin paksa dan perjodohan, komunikasi yang tak berkualitas, faktor ekonomi, kemaharmonisan dan kewajiban tugas antara istri dan suami.
Berbagai kasus perceraian yang setiap hari terus meningkat akan berdampak pada pembangunan keluarga yang dicanangkan oleh pemerintah. Kondisi ini dapat mempengaruhi kualitas SDM di masa mendatang.
Kedua, keputusan bercerai akan berdampak pada kesulitan ekonomi dan harapan membangun ekonomi yang lebih baik.Â
Perlunya pembangunan dan sosialiasi seperti perencanaan pernikahan, penguatan parenting, kesiapan pra nikah, edukasi pernikahan dini dan bagian2 yang terkait perlu di tingkatkan sebab, semua ini berhubungan dengan kualitas-kualitas pembangunan SDM kedepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H