Jika pada hajatan-hajatan seperti orang meninggal, kawinan atau hajatan besar lainnya jumlah pembuatan bisa mencapai 1000-an biji kelapa.
Setelah ditentukan hari pembuatan minyak kelapa, warga kemudian melakukan pengupasan kulit luar kelapa (di biji) dalam istilah masyarakat. Hal ini agar memudahkan saat pembelahan dan pengupasan (tari) bahasa lokal kampungku.
Selain pembelahan, kesiapan alat seperti drum, baskom, kayu bakar, balanga (panci) dan penyaring juga didatangkan ke rumah yang kemudian diselingi dengan Basililoa; alias mengundang warga untuk membantu.Â
Basililoa sendiri adalah tatakrama dalam sebuah hajatan yang tujuannya mengundang, mengabarkan yang juga wajib digunakan pada setiap hajatan ketika mengundang masyarakat atau petua adat.
Masyarakat yang sudah mendapat undangan (basililoa) oleh yang punya hajat wajib datang kecuali berhalangan. Sebab akan ada balas jasa ketika warga tersebut membuat minyak kelapa nanti.Â
Dalam pembuatan minyak kelapa tidak semua warga diundang. Hanya beberapa orang. Misalnya keluarga, tetangga, atau dalam komunitas arisan.Â
Tempurung kelapa ini juga nanti menjadj bahan bakar di tungku perapian. Kegiatan ini biasa dimulai pada pagi pukul 8-12 dan  sore hari sekira pukul 14.00-15.00 WIT.
Buah kelapa yang sudah ditari kemudian diletakan di baskom yang akan di angkut ke rumah warga desa yang mempunyai mesin parut.Â
Metode parut ini sudah berbeda dengan dulu, ketika warga masih menggunakan kukuran atau alat cukur tradional khusus memarut kelapa yang terbuat dari kayu dan ujung besi di depannya. Pemarutan ini untuk menghaluskan kelapa agar mudah diperas.