Sepasang suami istri sedang mengupas kulit buah kenari untuk di jemur ketika saya menemui mereka. Buah kenari yang habis di petik kemarin nampak masih menggunung. Tangan-tangan mereka menari lincah, menumbuk satu persatu menggunakan batu yang sudah turun temurun di gunakan.
Mereka berdua adalah orang tua angkat saya, ketika masih bersekolah dulu di Kabupaten Halmahera Barat periode 1996 silam. Setelah bangkrutnya perusahaan loging, PT. Barito periode 1999/2000, perusahaan milik Mbak Tutut anak Presiden Soeharto ini gulung tikar.Â
Selain itu, konflik Sara (Agama) pada periode yang sama mengharuskan mereka berdua, anaknya yang pertama (5 tahun), dan saya serta salah satu anak angkat mereka harus angkat kaki dari desa tempat kami tinggal.
Lari menerjang gelapnya malam, kwatir kalau-kalau kami di serang dan kehilangan nyawa karena konflik sara tersebut.Â
Mereka kembali, dan menggarap kebun harta warisan dari ayah mereka. Di kebun itu, mereka menanam Cengkih, pala dan kelapa.
Setelah memberi salam, saya ikut larut pada aktivitas mereka. Batu di siapkan, tempat duduk dari batok kelapa kering di susun dan jadilah kami menciptakan irama dari bunyi tumbukan batu ke kulit kenari. Hampir sejam, kulit kenari sudah bers. Tak ada lagi kenari yang tersisa.
Kopi sudah disiapkan, kenari yang pecah ketika di tumbuk tadi menjadi dicampurkan. Kami mengobrol, sembari ibu angkat menyiapkan pisang goreng.
"Kapan datang?" Tanya ayah angkat
"Tadi pagi, Naik Speed Boat Mudakir (Nama pemilik kapal yang dijadikan nama kapal),"Â Jawabku
"Bagaimana Bogor, aman?" tanya lanjut. "Alhamdulillah, aman."
Obrolan kami begitu begitu hikmat. Maklum sudah 10 tahun tak ketemu dan hanya bertanya kabar lewat telepon.