Tugas-tugas itu kami emban tanpa bayaran. Rokok sebatang saja sudah menjadi kekuatan. Apalagi, jika kata-kata manis dari tim pemenang ring 1 yang sering membakar semangat para pengikut.
Kandidat sendiri? Rajin memberikan petuah baik langsung maupun tidak dengan dalil jika menang, kami bisa jadi PNS, bapak ibu yang kami kenal jadi Kadis dll sebagainya.
Sebuah hipnotisasi yang bagi saya sangat kuat melekat dan dijadikan ideologi. Bayangkan aja betapa brutalnya kami.
Saya sendiri seperti pada judul, pernah menjadi simpatisan politik fanatik. Waktu itu, terjadi antara tahun 2008 dan berlanjut hingga ke tahun 2014 (kalau tidak salah) sebelum akhirnya menyadari bahwa saya terjebak pada permainan penguasa.
Dalam kontestasi pemilihan Gubernur tahun 2008 umur saya sekira 20 tahun dan sudah berada di jenjang perguruan tinggi. Saya mengingat belum dilaksanakan sistem Pilkada Serentak seperti sekarang.
Dua kandidat bertarung memperebutkan kursi nomor 1 di Maluku Utara. Apalagi saat itu, umur provinsi baru lepas 5 Tahun dan ini adalah pemilihan kepala daerah kedua. Dua kandidat ini ialah rival dari Pilkada part I.
Mereka kembali di pertemukan pada part II. Dan catatan negatifnya Pilkada di Maluku Utara baik part I maupun dua pada waktu itu masuk Zona Merah. Untuk mengetahui hasil pilkada karena adanya sengketa yang di perkarakan di Mahkama Konstitusi, kami harus mengunggu hingga 1 lebih tahun lamanya.
Bayangkan saja, hasil pilkada harus hingga 1 Tahun. Apa yang terjadi dengan simpatisan? inilah yang menjadi menarik untuk dibagikan.
Akibatnya, kesimpang siuran menjadi makanan sehari-hari. Setiap hari kami menerima informasi-informasi yang kata generasi sekarang Hoax, misalnya, hari ini putusan kandidat kita menang. Seminggu kemudian bahasa yang sama muncul.
Simpatisan kandidat sebelah juga demikian, tak mau kalah. Alhasil, bentrok tak terhindarkan karena begitu panasnya tensi massa kedua simpatisan.