Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Saya Pernah Menjadi Simpatisan Politik Garis Keras

28 Juli 2020   23:19 Diperbarui: 4 Agustus 2020   07:34 1864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi milik: KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Desember 2020 mendatang akan menjadi ajang pengujian Demokrasi secara terbuka.

Kenapa saya mengatakan pengujian? karena sejauh ini saya masih menggangap sistem pemilihan yang di lakukan masih sebatas uji coba mencari formula terbaik mekanisme dan tahapan pemilihan.

Tentu saja, Pilkada sebagai bagian dari perjalanan politik merupakan sebuah kondisi yang menyita perhatian publik. Sesuatu yang tak pernah di pisahkan dengan kultur Indonesia. Tak ada hal yang paling menarik selain dunia politik, semua orang terpaku pada yang satu ini hingga lupa berbagai persoalan-persoalan lain.

Dalam momentum Pilkada, banyak aspek terbentuk. Salah satunya lahir para simpatisan sebagai bagian dari basis (kekuatan) meraup suara. 

Ada beberapa kategori simpatisan, yakni simpatisan fanatik, simpatisan biasa; tidak fanatik tapi tetap memilih kandidat tersebut, simpatisan bayaran ; ada duit abang kepilih, istilah yang sering di pakai dan simpatisan pura-pura, pilih kandidat lain tapi ikut kampanye kandidat lain dan dapat uang rokok.

Saya sendiri pernah menjadi simpatisan politik kategori pertama,Yap simpatisan garis keras alias simpatisan fanatik. 

Simpatisan garis keras bagi saya sendiri ialah pasukan khusus yang wajib memenangkan kandidat pilihan, membela saat dilecehkan bahkan tawuran saat massa kandidat lain numpang lewat di basis masa kandidat yang kami bela.

Gimana, mirip nasionalis, kan?

Bagi kami, simpatisan fanatik. Menang adalah harga mati dan harga diri-- Dan, memang banyak yang mati pada perjalanannya- Harga diri ketika kandidat kami di buly, bahkan setingkat hasil survei yang menyudutkan kandidat saja, auto perang.

Simpatisan fanatik memiliki 3 peran utama, yakni garda terdepan setiap kampanye dan tawuran dengan massa kandidat lain.

Kedua, tampil terdepan dalam perang gagasan (lebih tepatnya bacot-bacotan), dan ketiga memengaruhi massa mengambang alias masyarakat yang punya hak pilih dan masa bodoh dengan politik untuk memilih kandidat yang kami usung.

Tugas-tugas itu kami emban tanpa bayaran. Rokok sebatang saja sudah menjadi kekuatan. Apalagi, jika kata-kata manis dari tim pemenang ring 1 yang sering membakar semangat para pengikut.

Kandidat sendiri? Rajin memberikan petuah baik langsung maupun tidak dengan dalil jika menang, kami bisa jadi PNS, bapak ibu yang kami kenal jadi Kadis dll sebagainya.

Sebuah hipnotisasi yang bagi saya sangat kuat melekat dan dijadikan ideologi. Bayangkan aja betapa brutalnya kami.

Saya sendiri seperti pada judul, pernah menjadi simpatisan politik fanatik. Waktu itu, terjadi antara tahun 2008 dan berlanjut hingga ke tahun 2014 (kalau tidak salah) sebelum akhirnya menyadari bahwa saya terjebak pada permainan penguasa.

Dalam kontestasi pemilihan Gubernur tahun 2008 umur saya sekira 20 tahun dan sudah berada di jenjang perguruan tinggi. Saya mengingat belum dilaksanakan sistem Pilkada Serentak seperti sekarang.

Dua kandidat bertarung memperebutkan kursi nomor 1 di Maluku Utara. Apalagi saat itu, umur provinsi baru lepas 5 Tahun dan ini adalah pemilihan kepala daerah kedua. Dua kandidat ini ialah rival dari Pilkada part I.

Mereka kembali di pertemukan pada part II. Dan catatan negatifnya Pilkada di Maluku Utara baik part I maupun dua pada waktu itu masuk Zona Merah. Untuk mengetahui hasil pilkada karena adanya sengketa yang di perkarakan di Mahkama Konstitusi, kami harus mengunggu hingga 1 lebih tahun lamanya.

Bayangkan saja, hasil pilkada harus hingga 1 Tahun. Apa yang terjadi dengan simpatisan? inilah yang menjadi menarik untuk dibagikan.

Sumber Kompas 2008
Sumber Kompas 2008
Waktu itu perkembangan media tidak sepasif dan semasif sekarang. Baik media online maupun media cetak. Walaupun ada, akan tetapi media cetak cenderung mengulas secara kondradiktif hingga melahirkan gesekan-gesekan. Artinya peran media saat itu di kontrol oleh kandidat pilihan. Bisa di Kata berat sebelah.

Akibatnya, kesimpang siuran menjadi makanan sehari-hari. Setiap hari kami menerima informasi-informasi yang kata generasi sekarang Hoax, misalnya, hari ini putusan kandidat kita menang. Seminggu kemudian bahasa yang sama muncul.

Simpatisan kandidat sebelah juga demikian, tak mau kalah. Alhasil, bentrok tak terhindarkan karena begitu panasnya tensi massa kedua simpatisan.

Setiap hari konflik ini selalu terjadi, apalagi jika setiap kali ada demonstrasi antara kedua kandidat. Kandidat sebelah yang melakukan demonstrasi yang kemudian pulang melewati basis kandidat lain maka sudah tentu terjadi tawuran. Baik siang maupun malam, tawuran tak terelakan. Bahkan, Kepolisian Republik Indonesia sampai menurunkan Pasukan BKO dari Kelapa Dua Jakarta.

Saya sendiri bersama beberapa teman selau terlibat pada tawuran-tawuran tersebut. Apalagi anggapan kami saat itu ialah harga diri.

Banyaknya petinggi alias calon-calon pejabat di lokasi kampung saya tinggal juga menjadi dorongan kami berpartisipasi. Mereka adalah orang-orang yang mempertaruhkan segalanya demi kandidat yang di usung. Baik modal, bahkan tenaga.

Sedang kami, berpikir jika kandidat mereka menang maka kami akan jadi PNS atau pegawai. Dan jika kandidat lawan menang maka kami jadi pengganguran. Sebuah pemikiran yang kolot tentu saja. 

Menjadi simpatisan kandidat fanatik merupakan pengalaman paling dungu bagi saya. Bayangkan saja setiap malam kami harus berjaga-jaga dititik sentral. Alasannya kalau-kalau ada penyerangan dari massa kandidat sebelah.

Parang, batu, ketapel dan botol bekas adalah senajata-senjata yang biasa kami pakai berjaga. Sungguh sesuatu yang mengerikan.

Selain kepentingan para elit, hasutan, dan hoax salah satu faktor penting menjadi simpatisan fanatik waktu itu ialah masalah identitas, alias kesukuan.

Seperti diketahui, di Maluku Utara politik identitas masih sampai sekarang terjadi (akan di bahas pada artikel berikut). Suku-suku besar seperti suku Makian,Tobelo-Galela,Tidore dan Ternate selalu mengemuka.

Politik identitas ini begitu kuat melekat pada diri. Bahkan, apalagi jika kandidat tersebut berasal dari satu suku yang sama. Analoginya, jika suku kami menang maka tapuk kepemimpinan dari top hingga bottom akan menjadi milik kami. Dan, suku lain akan terdepak.

Belakangan saya menyadari bahwa politik identitas masih merupakan komoditi politik yang laris manis di jual. Komparasi antar dua suku sering terjadi sebagai strategi memecah perolehan suara. 

Suku yang memiliki basis besar akan di kombinasikan dengan suku yang juga sama kuat sehingga membentuk kekuatan besar. Bahkan, ada suku-suku tertentu tak pernah absen dalam setiap konstentasi politik.

Suku-suku besar ini kadang-kadang pecah menjadi beberapa bagian dan mengikrarkan diri dengan kandidat-kandidat lain. Jika sudah demikian maka sudah tentu Pemelihan kepala daerah akan berujung konflik baik sara maupun fisik.

Pengalaman menjadi simpatisan politik memberikan pemahaman mendalam kepada saya sendiri di mana edukasi politik yang rendah akan menghambat kedewasaan dalam berdemokrasi.

Bayangkan saja, saya waktu itu sudah berada di jenjang perguruan tinggi saja harus termakan hasutan-hasutan demi kepentingan beberapa golongan. Lantas bagimana dengan masyarakat awam? tentu lebih fanatik lagi

Tahun 2015 saya menarik diri dari segala bentuk konstentasi politik. Keluar dari partai dan keluar dari Maluku Utara. Tak terlibat lagi dengan sesuatu yang berbau politik bahkan malas menulis tentang politik. 

Hal ini bukan abai pada kondisi politik akan tetapi apa yang di lakukan selama ini adalah bentuk pembodohan terstruktur yang tak perlu dilakukan.

Olehnya itu, tulisan ini semoga memberikan gambaran dari sisi yang berbeda dari umumnya. Hal ini semata-mata untuk mendukung upaya berdemokrasi yang benar dan tak perlu menjadi simpatisan yang fanatik dan merugikan orang lain.

Hal-hal penting perlu di pelajari guna menjadi pegangan agar tidak terjebak pada kepentingan segelintir orang yang bertarung memperebutkan jabatan. Terima Kasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun