Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Demokrasi yang Terluka

16 Juli 2020   19:23 Diperbarui: 16 Juli 2020   19:22 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber. Hikam Ziyad.Com

"Kalau kami ketahuan tidak memilih kandidat tersebut, maka kami akan dibuang ke daerah-daerah terpencil yang sulit di Akses, jauh dari keluarga bahkan kepangkatan tertunda' Ujar salah satu guru di pedalaman Halmahera sana.

Pada 9 Desember 2020 mendatang, pemerintah memutuskan menyelenggarakan Pilkada Serentak yang sebelumnya tertunda.  Pilkada yang diikuti oleh 270 daerah dengan rincian 9 Provinsi (Gubernur), 37 Kota (Walikota) dan 224 Kabupaten (Bupati) tentu saja merupakan angin segar. Mencari pemimpin baru dalam menahkodai daera masing-masing kedepan.  

Setiap pasangan calon (Paslon) saat ini sedang berburu rekomendasi partai sebagai perahu demokrasi, sementara  tim paslon mulai membangun kekuatan dengan membentuk tim pemenangan, tim relawan, garda dan lain-lain.

Pilkada serentak merupakan bagian dari demokrasi warga menggunakan haknya dalam menentukan siapa pemimpin yang layak menurut  tanpa paksaan maupun godaan lainnya. Lantas bagiamana jika dalam menggunakan hak demokrasi kita justru di kekang? 

Tulisan ini merupakan potongan-potongan cerita yang dialami oleh orang-orang yang tak sengaja di pertemukan dalam setiap perjalanan. Kebanyakan mereka ialah para, masyarakat, guru, aparat desa, bahkan PNS.

Pada tulisan sebelumnya (Dilema pendidikan di Pesisir) sudah disinggung sedikit tentang bagaimana politik menjalar ke dunia pendidikan. Kepala sekolah yang terpilih kebanyakan mempunyai relasi dengan kandidat atau pemenang konstestasi 5 tahun sekali itu.

Mereka-mereka yang tidak mengikuti karena menggunakan politiknya pada yang kalah sering terdepak dan terbuang hingga ke pulau-pulau terpincil. Bahkan,tak jarang bantuan-bantuan pada sekolah-sekolah maupun desa merupakan hasil penggunaan relasi tanpa mempertimbangkan apakah bantuan dan proyek-proyek tersebut bermanfaat.

Lantas bagaimana kisah mereka?

Pria Muda Mantan Aktivis.

Ia merupakan mantan aktivis salah satu organisasi kemahasiswaan saat masih menempuh pendidikan di bangku perkuliahan. Ia kembali dan mengabdikan diri menjadi guru.

Saat momentum Pilkada, ia tak mengikuti arahan kepsek. Kepsek berharap agar ia beserta staf lainnya memilih kandidat A. Namun, ia berpikir lain. Ia justru memilih kandidat B. 

Walaupun begitu, ia tak menjadi tim suskses seperti ASN-ASN lainnya di daerah ini. Dimana, mayoritas ASN di daerah ini menjadi tim sukses agar mendapatkan jatah jabatan. Jika bukan mereka, maka Kadis-kadis yang dekat dengan mereka tak apalah.

Kami tanpa sengaja di pertemukan di sebuah kapal dari Bastiong Kota Ternate menuju Kabupaten Kepulauan Sula. Ia menawarkan rokok saat saya sedang duduk di belakang kapal menikmati udara dingin. Maklum, penatnya kapal besi ini sungguh menyiksa.

Setelah duduk di samping, kami berkenalan. Ia bercerita tentang profesinya yang sudah dijalani 10 Tahun sebagai pengajar. Dan saat ini sedang bertugas di salah satu pulau di Mangoli sana. Ungkapan yang memantik pertanyaan.

"guru apa pak? tanyaku.

"Guru Matematika,Biologi, Geografi" Ujarnya

Sudah berpa lama pak disana? tanyaku penasaran

Sudah 3 Tahun belakangan, sebelumnya di Ibukota Kabupaten. Tapi dipindahkan karena jadi korban politik. Ungkapnya.

Saya tak heran dengan ungkapannya. Di Provinsi ini, cara-cara seperti ini lazim di lakukan bahkan saya sendiri turut menjadi saksi betapa mereka tertekan dan mau tidak mau harus mengikuti. 

Bagimana ceritanya pak? tanyaku

Saya dilaporkan tim sukses di kampung dan bahkan guru-guru lain ke salah satu pejabata. Kata mereka saya tidak memilih si A pada waktu Pemilu. Padahal, tak sekalipun menjadi tim sukses atau apapun itu. Saya datang,tusuk (coblos) lalu pulang. Ceritanya..

Satu tahun kemudian saya dianggap bandel karena sering mengkritik demi kemajuan pendidikan. Lantas tak berselang lama mendapt tugas mutasi ke pulau lain da jauh dari keluarga. menambahkan.

Saya diam, mencoba mengikuti alur ceritanya tanpa menyela sedikitpun. ia kemudian  melanjutkan

Bukan hanya saya,banyak kolega-kolega saya bernasib sama. Padahal, banyak dari mereka adalah orang-orang yang hidunya tak mau mencari perkara. Kami juga tak bisa berbuat apa-apa, toh tak ada pucuk kepemimpinan yang kami kenal atau keluarga kami, Tambahnya.

Obrolan malam itu menjadi pelengkap cerita yang menegaskan bahwa demokrasi di wilayah yang jauh dari sistem kontrol negara selalu menjadi maslahah terutama bagi mereka yang hidup di kampung-kampung kecil. 

Kami mengahiri obrolan malam itu ditengah bisingnya kenalpot mesin kapal ini. Rasa ngantuk dan kedinginan memaksa kamk untuk kembali ke tempat tidur masing-masing.

Ibu Guru Satu Anak

Ibarat kata sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin ini peribahasa yang pas untuk mengurai benang merah dari masalah yang dihadapi oleh guru satu anak ini.

Suaminya, pada momentum pilkada menjadi tim sukses paslon A. Berhadapan dengan paslon B si petahana.

Saking kasar cara mainnya (kata orang Malut), Ia tak segan-segan menolak kandidat yang masuk dan mengklaim desanya merupakan basis si A. 

Ia tak segan-segan menyudutkan warga desa yang menjadi tim sukses dari lawan politiknya. Hingga, petaka tak dapat di hindari. Ia dan kandidatnya kalah. Alhasil tak menunggu lama setelah pelantikan, istrinya yang seorang guru PNS dimutasi jauh ke daerah pelosok dan terluar. 

Yap, inilah karakater berikutnya yang sering saya temukan. Latar belakang ini dijadikan senjata bagi lawan-lawan politik dengan melihat sisi kehidupan keluarga. Apa pekerjaannya, dimana ia bekerja, apa statusnya, apa pangkatnya dll. 

Sekali lagi kejadian ini bukan hal baru namun sudah lazim terjadi. Bahkan, selain di pindahkan terkadang tertahan dalam pengurusan pangkat dll...

Ponakan Demonstrasi, Keluarga yang Kena Getahnya.

cerita ini bermula ketika saya sedang berkunjung ke Jakarta. Menemui kerabat lama yang menempuh pendidikan di Jakarta. Kami satu fakultas di bangku perkuliahan. 

Sejak duduk dibangku kuliah, ia getok melakukan demostrasi mengenai kasus-kasus korupsi yang menjerat Bupati di daerahnya. Kasus-kasus yang bahkan sudah masuk ke tahap tersangka selalu mandek di meja-meja penyidik. Sebut saja kasus pembangunan mesjid yang dikerjakan sampai sekarnng tak selesai, jalan jembatan, pemebebasan lahan dll.

Saking getolnya, KPK kemudian melirik kasus-kasus tersebut dan kemudian di tangkap pada beberapa tahun silam karena temuan-temuan kasus yang merugikan negara.

Pada proses itu ia bercerita bahwa sudah banyak keluarganya di depak dari jabatan, bahkan terbaru salah satu kakak kandungnya harus menerima nasib terlempar keluar daerah dan mengajar di tempat terpencil. 

Hal itu karena penulusuran orang-orang dekat Bupati yang kemudian mengetahui seluk beluk keluarga si teman ini. Setelah di ketahui, semuanya di mutasi akibat dari kegetolan mengungkap kasus korupsi di daerah yang terhitung baru 14 Tahun terbentuk ini...

Pimpinan Ranting yang Punya Power

Sebagai partai pemenang Bahkan sampai ke tingkat ranting di desa-desa. Hal ini penulis alami ketika berkunjung ke beberapa desa dan menemukan power dari beberapa ketua ranting.

Ketua ranting mampu mengintimidasi warga baik warga biasa (petani, nelayan) bahkan ASN (guru, pegawai puskesmas) bahkan honorer dengan modus melaporkan ke bupati atas tindakan-tindakan masyarakat. Bahkan tak jarang mereka mendata mereka dengan maksud mencegat agar tidak naik pangkat, dan tidak diangkat menjadi PTT. 

Yap PTT, dimana kebanyakan masyarakat masih percaya bahwa mereka yang sudah PTT berpeluang besar diangkat menjadi PNS. 

Perlu di garis bawahi bahwa Pekerjaan paling mulia di daerah Timur Indonesia, Khsususnya Maluku Utara Ialah menjadi PNS. Sebuah pemahaman turun -temurun yang dalam kajian berbagai pakar menyimpulkan akibat dari sistem budaya yang tertanam. Budaya yang di maksud ialah budaya Belanda pada masa penajajahan.

Selain mengintimidasi warga tak jarang antara mereka dan kades sering adu psik, opini dan gagagsan mengenai siapa yang layak memimpin daerah apalagi memasuki momentum politik. Maka bisa dipastikan, jika kades kalah? tentu saja gagasan tentang tidak laancarnya bantuan hingga pemecatan. Sesuatu yang miris..

Masyarakat yang Hidup dalam tekanan

Masyarakat desa terutama yang terpencil dan kepuluan selalu menerima propoganda dari para tim-tim sukses maupun orang yang berkepentingan. Ketakutan lebih sering menghantui dalam setiap pemilihan. 

Ketakutan warga karena lebih takut anak-anak mereka yang PNS atau honorer terdepak atau ada sanak family yang takut tak mendapat jatah bahkan alasan-alasan seperti tak jadi prioritas pembangunan di desa begitu menggema. 

Perlu di ketahui bahwa, anggapan masyarakat kebanyakan proyek yang hadir karena orang-orang yang mereka pilih dan menduduki jabatan elit di birokrasi. Jika tak memilih kandidat ini, biasanya petahana maka dipastikan tak memperoleh bantuan. 

Berbagai proses intimidasi ibarat benang merah yang tak bisa diselesaikan. Edukasi politik memegang perananan penting akan tetapi politik struktural yang di tunjukan justru dapat menghambat demokrasi itu sendiri.

Masih banyak yang ingin penulis kisahkan dari cerita-cerita tentang cerita-cerita ini. Namun apa daya, semakin di ketik, semakin sakit hati. ****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun