Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Uang Rakyat kok di Rampas

12 November 2017   03:24 Diperbarui: 12 November 2017   14:24 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kami orang timur selalu percaya pada satu filosofi yang mendasari setiap kehidupan yaitu " ngana punya, ngana punya. Orang punya, orang punya". Filosofi ini berarti " milikmu, kepunyaanmu dan milik orang lain, hak orang lain".

Filosofi ini begitu kuat kemanapun kaki melangkah, kemanapun tujuan membawa diri.

Seperti beberapa hari ini, setelah membolak-balik koran cetak. Saya menjumpai berita-berita headline yang tidak asing. Yakni tentang korupsi, OTT, serta kasus-kasus yang menyeret politisi-politisi, pejabat pemerintah dan pengusaha.

Berita ini, kembali membawa pemikiran pada beberapa tahun silam tentang pesan filsofi yang pernah disampaikan oleh seorang nenek pada saya. Di sela-sela obrolan ringan sembari menyeruput kopi tumbuk made in village. 

Pertanyaan saya waktu itu adalah "apakah rahasiamu, sehingga dengan usia yang sudah berkepala 70, nenek masih bisa berjalan berkilo-kilo meter untuk berkebun, memikul beban hasil tani yang berat bahkan sampai satu gigipun tidak tanggal?

Jawabanya sekaligus menjadi pesan " kembalilah menerapkan filosofi , ngana punya, ngana punya dan orang punya orang punya". Dengan begitu, hidup akan menjadi tentram, tidak memiliki musuh dan hidup akan sehat.

Pesan bermakna filosofis ini mengajarkan bahwa jangan pernah mengambil, mengklaim,dan mencuri walaupun sebutir pasir yang bukan hak dan milikmu. Sebaliknya, hiduplah dengan apa yang menjadi milikmu, usahamu, dan yang menjadi rejeki halal bagimu.

Filosofi ini begitu kuat teringat ketika pada praktek kehidupan kini sudah menjadi tabuh. Dan bahkan terpantri dalam praktek-praktek korupsi saat ini.

Korupsi yang di praktekan pada semua lini, baik desa sampai birokrasi dan dari kelas teri sampai kelas kakap. Telah membuat Indonesia menjadi negara yang masuk dalam jajaran negara korup.

Budaya korupsi yang meluas telah menjadi citra maupun kebanggan. Kebanggaan karena hanya di negara ini,koruptor masih bisa bergaya dan berfoya-foya ketimbang memiliki rasa malu.

Bahkan, rakyat menderita sudah biasa. Penguasa teriak maling juga biasa. Yang tidak biasa adalah koruptor mengaku maling.

Pemberantasan korupsi pun hanya tebang batang ketimbang tebas akar. Hukum sebagai ujung tombak di bolak-balikan dan di serang habis-habisan.

Pesan filosofi yang menjadi rahasia pun saat ini tidak berlaku. Padahal, jika di terapkan maka tidak ada milik orang lain yang di rampas. Tidak ada kemiskinan, kelaparan, ketimpangan pembangunan dan kebodohan.

Korupsi adalah tindakan merampas hak dan mikik orang lain. Hak yang seharusnya menjadi milik rakyat, di ambil dan di isi pada katong-kantong pribadi maupun kelompok.

Dalam pandangan ekonomi di sebut sebagai keinginan yang berlebihan. Sebab dalam membuat keputusan manusia rasional harus bisa menyeimbangkan antara kebutuhan dan keinginan. 

Keinginan belum tentu menjadi kebutuhan. Beda halnya dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Sehingga pada tataran korupsi, orang yang bergantung pada keinginan melakukan konsumsi yang bergantung pada pendapatan tidak berlaku. Karena kelebihan pendapatan yang bukan miliknya telah menciptakan konsumsi yang timpang.

Keinginan inilah yang menjadi cikal bakal korupsi -mengambil hak orang lain- karena keinginan sebenarnya bukanlah keputusan. Keinginan berlebihan karena ekspektasi menjadi kaya, banyak uang dan punya segalanya serta dendam kemiskinan membuat seseorang melakukan keputusan diluar kebutuhan. Karena, korupsi bukan kebutuhan tetapi keinginan, walaupun uang hasil korupsi dipakai untuk memenuhi kebutuhan.

Saat ini dapat kita saksikan,berapa banyak kah uang hasil korupsi di gunakan untuk kebutuhan? Justru kebanggaan hasil korupsi (hak orang lain) di alokasikan pada bisnis-bisnis haram alias pencucian uang, rekening-rekening palsu dan membeli properti-properti yang sebenarnya tidak sama sekali di gunakan.

Uang-uang mubazir (milik rakyat) yang bukan (kepunyaanya) ini memiliki pengaruh besar pada sistem politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan.

Sebab, masyarakat yang seharusnya sebagai pemilik uang tersebut harus rela terjepit pada kue ekonomi yang tidak seimbang. Adapun, jika uang-uang tersebut dibelanjakan hanya akan menimbulkan ketidakseimbangan ekonomi, karena uang tersebut dapat menggangu aliran uang yang beredar.

Ketamakan, kerakusan adalah landasan dari keinginan yang menjadikan korupsi merjalela secara individu maupun berjamaah.

Praktek penindasan korupsi juga menjadi kian lemah ketika uang -hak rakyat-ini di gunakan untuk mempengaruhi kelompok-kelompok yang mempunyai kekuasaan.

Semisal KPK, yang menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi harus di aduk-aduk dan dilemahkan peran nya. Dalam menangani setiap perkara korupsi, KPK sering di hadapkan maha dasyat baik secara internal maupun eksternal.

Tidak jarang pemimpin maupun penyidik KPK di terorseperti yang di alami oleh Novel Baswedan. Bahkan pada peristiwa silam, pemimpin KPK yang getol membongkar praktek korupsi di laporkan, di penjarakan maupun tidak jarang ditedang dari kursi kepemimpinan.

Secara kelembagaan, KPK sering di hadap-hadapkan dengan lembaga hukum lain, semisal Polri bahkan wakil rakyat. 

Pelemahan-pelemahan ini tentu saja agar perkara yang ditangani oleh KPK atau lembaga Hukum lainnya agar koruptor dapat melepaskan diri dari jeratan yang dituduhkan.

Kondisi korupsi yang berlandaskan pada mengambil "hak orang lain" dan menjadikan "miliknya" berimplikasi pada kerugian baik diri sendiri, rakyat dan bangsa.

Maka sebagai generasi millenial yang mempunyai peran penting atas perjalanan bangsa perlu menerapkan filosofi ini agar dapat memutus rantai korupsi,kolusi dan nepotisme.

Peran besar sebagai generasi millenial harus dibarengi dengan jiwa-jiwa yang memiliki semangat pada diri dan mengenal kepunyaan orang lain dan milik sendiri.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun