Siang itu, di sebuah pantai. Tepatnya di Desa Tafasoho, Maluku Utara Berlarian anak - anak kecil saling kejar - kejaran.
Sedang d ujung sana, beberapa anak lelaki sedang bergulat dengan si kulit bundar, tanpa alas kaki dengan tiang gawang seadanya
Dan dari kejauhan, nampak yang lain sedang berburu ikan, gurita dan aneka biota laut lainnya untuk di santap.
Tak lupa, para orang tua sesekali memeriksa. Memastikan anak-anak nya baik -baik saja.
Sambil berteduh di bawa pohon kelapa, saya sedikit bernostalgia tentang masa lalu, Â di pantai yang sama, di pasir yang sama dan di terumbuh karang yang sama kami menghabiskan waktu kecil.
*****
Waktu itu.
Di sebuah gubuk tua, bekas rumah ledakan gunung merapi. seorang guru renta, berumur 60 tahun, Engku Bisnu namanya . Mulai menggores pelan pada papan hitam. Abu kapur beterbangan seiring goresan abjad demi abjad.ya, hari itu pelajaran bahasa Indonesia . Hari pertama belajar, Â bermodal sebuah buku dan pulpen tanpa alas kaki apalagi seragam merah putih. Tetapi,dengan semangat juang, jari - jari kaku mulai mengikuti. Walapun, lebih mirip " cakaran ayam".
Selang 1 jam, pelajaran selesai. Jam sekolah juga ikut selesai. Kelas harus di pakai oleh anak kelas 6. Â Rumah ini hanya menyediakan 3 kamar sebagai kelas dan 1 ruang tamu sebagai ruang Engku Bisnu. Ya, seorang diri mengajar semua mata pelajaran dengan 6 kelas. 1 jam untuk 3 kelas dan 1 jam lagi untuk 3 kelas. Sekolah ini pun bukan layaknya sekolah hanya sebuah rumah biasa beratap Katu, (daun sagu) berdinding bolong.
Selang setahun, sekolah di bubarkan dengan alasan yang tidak kami pahami saat itu. Maka urusan sekolah selesai masanya. Satu-satunya harapan kami dalam menimbah ilmu agama, mengaji.
Pada tahun 1994 selang 3 tahun setelah sekolah di tutup. Kabar baik menghampiri para orang tua. Sekolah kembali di buka. Antusiasme? Tentu saja, selain karena keseharian kami hanya menjadi anak hutan dan pantai. Sekolah akan menjadi aktivitas baru. Gairah para orang tua semakin meningkat, baju - baju kami di siapkan. Walaupun harus menempuh perjalanan laut 5 jam.
Pagi itu, dengan persiapan dan bekal seadanya, kami berangkat dengat m membawa tekad dan secarik kertas bertuliskan " surat pengantar orang tua"
Pukul 5 dini hari kaki tanpa alas kaki melangkah, sedangkan sendal - sendal di ikatkan ke pinggang. Kampung demi kampung bukit dan jurang kami lewati. Menyusuri pantai demi pantai. 4 jam perjalanan untuk sampai ke sekolah. Dan 4 jam untuk kembali. tetapi, mimpi masih terjaga.
Aktivitas ini kami lakukan hampir 3 tahun lamanya, sampai asa para orang tua mulai menipis. Anak - anak di kirimkan ke kota, mencari pengampu-pengampu yang bersedia menampung. Sedang lainya, kembali menjadi petani. Pupus, mimpi sekolah bukan lagi jadi milik mereka.
Tetapi, pantai masih tetap menjadi penjaga mimpi, melanjutkan perjuangan berekolah di kota orang yang jauh dari kampung halaman sembari teringat kembali pesan tetua, yang telah menjadi filosofi" sekolah lah nak, agar kelak engkau menjadi manusia
***
Lamunanku buyar, ketika seorang anak berteriak riang karena berhasil menombak seekor gurita.
sedangkan di depanku? Anak-anak berambut kuning matahari sedang membangun istana pasir, sementara anak lelaki lain mendayung perahu mengejar ombak.
Semenjak administrasi desa berubah menjadi kecamatan, sekolah-sekolah mulai didirikan. PAUD, SD, SMP dan SMA ada, menampung ratusan murid yang tersebar di 8 desa. Selain dari itu, murid murid dari desa luar pulau juga menimbah ilmu disini. Tinggal d rumah-rumah warga dan menjadi masyarakat setempat.
Dan, internet mulai merjalela.
Sore itu, saya menyempatkan diri mengumpulkan para siswa-siswa dengan kategori "malas sekolah" atau malas bermimpi. Bercengkrama sembari menikmati sunset yang mulai memberikan kekuasaan kepada gelap.
Berkisah tentang mimpi orang-orang hebat, Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, sampai Habibie.
Bekisah tentang tekad bulat, Lalana, Che Guevara, Nelson Mandela, sampai Muhammad Ali.
Berkisah tentang Nabi Muhammad, tentang para sahabat sampai pada kekuasaan Islam
Berkisah tentang mimpi, Pramodya, Buya Hamka Sampai tere liye.
Sore itu menjadi pembakar semangat ketika pertanyaanku menembus jantung-jantung mereka " apa mimpi kalian wahai adik-adikku?"
Jadi guru, Polisi, PNS, Penulis, jadi orang kaya dan berguna bagi orang tua adalah mimpi mereka.
Bahkan, mimpi membagiakan orang tua menjadi tetesan air mata senja waktu itu. masa lalu kelam orang tua mereka yang tidak bersekolah dan berprofesi sebagai seorang petani telah termainsed di dalam diri masing-masing bahwa lewat sekolah mereka ingin membuktikan diri. Ternyata mereka masih bermimpi
***
Lantas apakah mereka masih bermimpi yang sama? Semenjak perbincangan beberapa tahun lalu itu?
Setelah lama tidak menginjakan kaki di tanah ini, segalanya berubah. Pantai-pantai mengalami abrasi, karang-karang menjadi rusak karena gencarnya pembangunan. Talud - talud di bangun untuk membendung kuatnya ombak. Sedangkan pasir-pasir tinggal sejengkal.
Anak-anak lebih banyak di tempat wifi, berkutat dengan Handpone berseluncur dengan dunia maya. Dan pantai-pantai hanya menjadi tempat pembuangan sampah.
Seorang guru muda, berstatus honorer berkunjung. Sembari menerima salam, kami ke pantai. Duduk diatas talud-talud proyek pemerintah sambil memandangi sunyinya pantai siang itu.
Berkisahlah tuan guru itu, semenjak jaringan Wifi hadir, anak - anak tidak lagi tertarik pada buku, tidak tertarik lagi pada ngaji bahkan tidak tertarik lagi pada pelajaran-pelajaran sekolah.
Pemuda-pemuda sebagai corong untuk mendidik generasi justru terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menjerumuskan mereka ke kebodohan.
Berkutat dengan handpone dan berselancar di media sosial menjadikan mereka lupa belajar, berkumpul di tempat WIFI hingga fajar menengok.
Sebelum tower jaringan rusak, anak-anak masih terlihat di dalam desa, tetapi semenjak tower jaringan tidak berfungsi, anak-anak, remaja dan pemuda berbondong-bondong menggunakan Wifi milik sekolah. Jarak sekolah dan kampus 3 KM Padahal Wifi itu diperuntukan untuk operasional belajar mengajar.
Berkumpul dengan komplotan-komplotan hingga fajar. Semenjak itu, berkisah lagi bahwa dia bergerak sendiri untuk menyadarkan anak-anak kembali belajar. Mengadvokasi para orang tua murid dan pemuda-pemuda kampung tentang jam malam. Namun, yang terakhir ini malah di tolak oleh pemuda - pemuda.
Sungguh malang mimpimu.wahai tuan guru, perjuangan mu menjaga mimpi anak pesisir semakin terkikis oleh amukan ombak modernisasi yang tak terbendung.
Mimpi yang kita bicarakan saat itu, mulai terkikis. Bahkan ombak sebagai saksi telah menjadi pilu, menunggu semangat anak-anak bermimpi.
Semoga niat baikmu masih terjaga wahai tuan guru.
Membangun mimpi anak-anak pesisir dan memperkenalkan dunia pada mereka. Dunia yang tidak sebatas desa, dunia yang begitu luas untuk dijelajahi. Dunia mengejar mimpi lewat sekolah dan giat belajar.
Kembalilah pada mimpi-mimpi mu wahai anak pesisir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H