Pagi itu, dengan persiapan dan bekal seadanya, kami berangkat dengat m membawa tekad dan secarik kertas bertuliskan " surat pengantar orang tua"
Pukul 5 dini hari kaki tanpa alas kaki melangkah, sedangkan sendal - sendal di ikatkan ke pinggang. Kampung demi kampung bukit dan jurang kami lewati. Menyusuri pantai demi pantai. 4 jam perjalanan untuk sampai ke sekolah. Dan 4 jam untuk kembali. tetapi, mimpi masih terjaga.
Aktivitas ini kami lakukan hampir 3 tahun lamanya, sampai asa para orang tua mulai menipis. Anak - anak di kirimkan ke kota, mencari pengampu-pengampu yang bersedia menampung. Sedang lainya, kembali menjadi petani. Pupus, mimpi sekolah bukan lagi jadi milik mereka.
Tetapi, pantai masih tetap menjadi penjaga mimpi, melanjutkan perjuangan berekolah di kota orang yang jauh dari kampung halaman sembari teringat kembali pesan tetua, yang telah menjadi filosofi" sekolah lah nak, agar kelak engkau menjadi manusia
***
Lamunanku buyar, ketika seorang anak berteriak riang karena berhasil menombak seekor gurita.
sedangkan di depanku? Anak-anak berambut kuning matahari sedang membangun istana pasir, sementara anak lelaki lain mendayung perahu mengejar ombak.
Semenjak administrasi desa berubah menjadi kecamatan, sekolah-sekolah mulai didirikan. PAUD, SD, SMP dan SMA ada, menampung ratusan murid yang tersebar di 8 desa. Selain dari itu, murid murid dari desa luar pulau juga menimbah ilmu disini. Tinggal d rumah-rumah warga dan menjadi masyarakat setempat.
Dan, internet mulai merjalela.
Sore itu, saya menyempatkan diri mengumpulkan para siswa-siswa dengan kategori "malas sekolah" atau malas bermimpi. Bercengkrama sembari menikmati sunset yang mulai memberikan kekuasaan kepada gelap.