Mohon tunggu...
Ojan Mata
Ojan Mata Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Silahkan berbeda pendapat tapi jangan berdusta. | Jika tak keberatan, mari kita saling berbagi. Saya ada di facebook: Pauzan Fitrah, atau di twitter: @PauzanFitrah. Sambil ngopi tentunya...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menggiling Benih

4 November 2016   06:37 Diperbarui: 4 November 2016   08:18 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Memang Kuharap Kau datang lebih pagi, Teman

Aku rindu memanggil petang bersamamu

Bersama mentari yang bersinar tipis di bibir awan

Bersama aroma tungku, merebus ubi kayu

 

Aku sudah mendengar, Teman

Tahun lalu Kau berbaris, melukis, dan menulis, menyusun tangga nada orasi

Berharap terwakili suara orang sepertiku, kaum yang terjebak di pinggir

Amarah lintas usia meletup, menebus asap pembangunan yang buta

 

Aku minta maaf, Teman, tak sempat antarkan kopi untukmu

Aku terkepit dalam pesona kehati-hatian anak dan istriku

Mereka mengawasi langkahku, sembari mengintai kepergian sesak napasku

Pun di sini sukar berbuat apa-apa

Ranting san api seperti mulut buaya

Kau merun Kau dupenjara, Kau bakar ladang Kau dapat perkara

 

Asap membutakan siapa saja, Teman

Hukum dan gertak tentara seringkali salah sasaran

Hujan tahun ini hanya meliuk lesu dalam puisi pemuda yang tak dapat kerja

Subur dalam sajak remaja-remaja yang terancam putus sekolah

 

Tak ada rumpun padi yang disemangati hujan

Tak ada rombongan perempuan mengenakan tengkuluk, membungkuk menggendong bakul

Tak ada tunas harapan, Teman

Tak ada suara burung pipit

Hanya ada gemuruh, Helikopter terbang rendah

Memantau potensi kebakaran hutan dan lahan

Mengawasi kami yang dituduh sebagai pelakunya

 

Tahun ini kami menggiling benih, Teman

Musim tanam sepertinya hilang

Hanya Kau dan hujan yang berkenan singgah

Ah, Teman, bukan aku menyama ratakanmu dengan hujan

Bukan pula menjadikanmu limbah kerisauan hati kami

 

Aku tahu, Teman, ekor matamu menyapu setiap sisi kenyataan

Dapat Kutangkap, Ku-eja, bahasa dan nilai yang tampak digaris wajahmu

Jangan sungkan, Teman, air maramu jauh lebih subur dibanding hujan

 

Puisimu tahun lalu masih Kusimpan

Putriku menyukainya, walau sepertinya ia bingung

Tapi aku masih percaya, Teman, ketidak berdayaan adalah anak tangga dari perubahan

 

###

 

Pangkalan Ranjau 18 Oktober 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun