Mohon tunggu...
Ohahauni Buulolo
Ohahauni Buulolo Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Pelayanan Sosial

Takut akan TUHAN adalah Permulaan Pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Metode-Metode Ilmiah Dalam Sejarah Tafsiran Alkitab

23 Maret 2024   23:42 Diperbarui: 23 Maret 2024   23:57 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan  

       Alkitab adalah Firman Allah. Alkitab tidak ditulis karena kehendak dan keinginan manusia yang berdosa, tetapi oleh inspirasi Roh Kudus kepada manusia yang telah dipilihNya untuk ditulis atas nama Allah. Alkitab sendiri mengatakan bahwa Alkitab adalah nafas Allah (2 Timotius 3:16), dalam hal ini, bahwa Alkitab adalah komunikasi Allah kepada manusia untuk mengajar dan menyatakan kesalahan serta memperbaiki manusia yang rusak.

Grant R. Osborne mengatakan, Alkitab tidak diwahyukan melalui "mulut para malaikat"." Walaupun diinspirasikan oleh Allah, Alkitab ditulis dalam Bahasa manusia dan di dalam budaya-budaya manusia.[1] Dengan demikian, setiap manusia yang akan dipakai oleh Allah, perlu untuk dibekali oleh Allah sendiri. Ini adalah suatu penegasan bagi manusia yang akan menjelajahi isi Alkitab.

       Memahami Alkitab tidaklah mudah untuk dimengerti tanpa mengandalkan Allah, sebab bagaimana mungkin manusia yang berdosa dan terbatas bisa memahami Allah yang transenden, sempurna dan memiliki intelegensi yang tanpa batas. Artinya mustahil bagi kita untuk mengerti hal-hal yang rohani tanpa iluminatif Roh Kudus. Interpretasi terhadap Alkitab tanpa belajar dengan baik dan bersandar pada kehendak Tuhan, maka akan merujuk kepada pemahaman yang keliru, sehingga mendatangkan kesesatan dan pola pikir yang liar.  

Definisi Hermeneutik

Etimologi Hermeneutik  

       Kata Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani (Hermeneuo), yang berarti menginterpretasi, menjelaskan, atau menerjemahkan. Kata ini berhubungan dengan dewa Hermeus, ini adalah dewa dalam mitos orang Yunani yaitu yang bertugas menyampaikan berita dari para dewa kepada manusia. 

       Dewa ini juga adalah dewa ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian. Sebenarnya istilah Hermeneutik ini tidak dipakai untuk menafsirkan Alkitab saja. Melainkan dipergunakan untuk mencari arti misalnya kesenian, sejarah, literatur, ilmu purbakala dan penerjemahan. Bahkan dalam kehidupa sehari-hari saja, sadar atau tidak sadar, Hermeneutik sering kali kita pakai untuk menjelaskan hal-hal yang kita lihat atau dengar.[2]

Terminologi Hermeneutik

       Hermeneutik adalah istilah yang secara tradisional dipakai berkaitan dengan penafsiran teks. Namun belakang ini hermeneutika sendiri telah mengalami perubahan sedemikian besar sehingga disiplin menemukan tiga tahap walaupun semuanya kontrakdiktif.

       Pertama, Hermeneutik dipahami sebagai ilmu dan seni: ilmu, karena ada peraturanperaturan dan prinsip-prinsip penting yang diterapkan pada tugas itu. Sementara Seni karena sering dibutuhkan penilaian matang bersumber dari pengalaman dan kompetensi. Tugas penafsiran adalah untuk memahami apa yang dikatakan oleh teks. Dalam visi Hermeneutik ini yang terutama diperhatikan adalah tata bahasa, perumpamaan dan genre sastra lain, prinsip dalam mempelajari kata, bagaimana mengaitkan tema-tema kitab suci tersebut. Hermeneutika sebagai ilmu dan seni ini lebih mengarah kepada literal yang dipergunakan oleh agama Yuhad pada zaman kuno, apostolik dan Patristik pada era Reformasi

Kedua, istilah "Hermeneutik" makin digunakan untuk merujuk pada pemakain "alat" kritik sastra yang luas: Kritik-sumber, kritik-bentuk, kritik-tradisi, kritik-redaksi dan Kritiknarasi. Tujuan alat ini lebih utamanya untuk merekonstruksi sejarah dan struktur kepercayaan komunitas-komunitas orang percaya tertentu yang menghasilkan suatu teks, lebih daripada mendengarkan pesan dari teks itu. Hermeneutik ini berkembang pada abad ke-19 yang dipergunakan oleh para kaum kritisisme sehingga melahirkan berbagai macam interpretasi yang absurd

       Ketiga, disebut "Hermeneutik baru". Di sini, pemahaman penting bahwa manusia memiliki prasangka dan batasan sendiri dalam menafsir, ditingkatkan sampai mengatur jalannya diskusi. Kita membawa "kisi-kisi" tafsiran tidak terhindarkan, karena tidak ada akal yang terbuka secara total. Hermeneutik baru mengingatkan kita bahwa otoritas kitab suci tidak boleh ditransfer kepada otoritas si penafsir. Hermeneutika baru ini lebih merujuk pada penafsiran alegorisasi, mulai dari Ambrose, Hieronimus, Agustinus, Hilary dan Gregorius agung.[3]

Hermeneutik Yahudi di Palestina

Hermeneutik Yudaisme

       Sejarah Hermeneutik Yahudi sudah dimulai sejak zaman bangsa Israel ada ditanah pembuangan. Pengaruh budaya Babilonian saat itu mempengaruhi mereka, maka hal ini Sebuah krisis kebudayaan yang menakutkan sehingga membakar semangat studi mereka yang luas atas kitab Suci. Di tanah pembuangan yang di dominasi oleh kerajaan Babilonian memaksa orang-orang Yahudi mempertegas dan mempertahankan identitas keagamaan mereka sendiri untuk mencari perlindungan dengan mempelajari Kitab suci kuno. Ezra (457SM), dan kelompok para imam berjumlah 120 orang melakukan penerjemahan Kitabkitab Taurat ke dalam bahasa Aram, karena orang-orang Yahudi di pembuangan tidak lagi bisa berbahasa Ibrani. Ezr 8:15-20 Ne 8:1-8 Ezr 8:15-20. Dalam proses tersebut, mereka mendirikan Sinagoge, mempertajam penafsir dan penerjemahan kitab suci dengan menggunakan metode interpretasi literal.

Hermeneutik Helenistik

       Setelah bangsa Israel kembali ke Yerusalem, penafsiran kitab suci terus berlanjut sampai Nehemia dan Ezra mati. Para penerus Ezra mendirikan sekolah interpretasi  dengan mengikuti tradisi yang dipakai oleh Ezra dalam menafsir kitab-kitab taurat, yaitu menekankan metode penafsiran literal. Mereka menerima otoritas mutlak Firman Allah, dan tujuan utama mereka adalah menginterpretasikan hukum-hukum taurat. Hasil penafsiran mereka ini kemudian bercampur dengan tradisi-tradisi yang berlaku pada zaman itu, sehingga tulisan ini dikemudian hari dikenal dengan nama "Tradisi Lisan" (the Oral Law). Namun tradisi lisan ini dikemudian hari disebut menjadi Mishna dan kitab ini disejajarkan pada taurat. 

Alegorisasi Yahudi

       Alegorisasi Yahudi dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang bercampur dengan budaya dan pikiran Yunani (Hellenistik) sehingga metode interpretasi mereka lebih dominan bersifat alegoris. Kerinduan mereka yang paling utama adalah menterjemahkan kitab-kitab Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani Modern, sebagai hasilnya adalah buku (kitab) Septuaginta.

       Maka karena pengaruh besar dari filsafat Yunani, orang Yahudi mengalami kesulitan dalam menerapkan cara hidup sesuai dengan pengajaran taurat. Sebagai jalan keluar mereka menggunakan alegoris untuk menjembatani kedua cara hidup yang bertentangan itu. Ciri khas utama dari interpretasi mereka adalah metode penafsiran alegorikal yang berakar pada filosofi Plato. Plato mengajarkan bahwa realitas sejati sebenarnya tersembunyi dibalik apa yang tampak oleh mata manusia. Artinya jika diterapkan dalam dunia sastra, perspektif seperti ini menyatakan bahwa makna sesungguhnya dari sebuah teks tersembunyi di balik kata-kata yang tertulis yaitu teks yang ada berfungsi sebagai sejenis metafora yang diperluas untuk menunjukkan ideide yang tersembunyi dibaliknya. Alegorisasi adalah mencari adanya makna dasar yang tersembunyi atau rahasia, tetapi dalam kenyataannya berjauhan dan tidak berhubungan dengan makna yang lebih jelas dari tulisan tersebut.[4] Ada dua nama yang menonjol dalam tafsiran alegorisasi ini yakni Philo dan Aristobulus. Yang pertama, Aristobulus (160 SM) dikenal sebagai penulis Yahudi yang pertama menggunakan metode alegoris. 

       Dalam pengajarannya dapat disingkapkan dengan cara alegoris. Yang kedua, Philo (20 sM-sekitar 54 M) adalah orang Yahudi pembuat alegoris yang paling terkenal di Aleksandria. Menurut Philo, penafsiran literal adalah untuk orang-orang yang belum dewasa karena hanya melihat sebatas huruf-huruf yang kelihatan (tubuh); sedangkan penafsiran alegoris adalah untuk mereka yang sudah dewasa, karena sanggup melihat arti yang tersembunyi dari jiwa yang paling dalam (jiwa). Salah satu contoh alegoris Philo. Philo mengajarkan bahwa Sara dan Hagar mewakili kebaikan dan pembelajaran, Yakub dan Esai mewakili kebjiksaan dan kebodohan. Yakub yang tidur beralaskan batu berbicara tentang mendisplinkan jiwanya sendiri, dan kandil bercabang tujuh di dalam kemah suci serta bait Allah mewakili tujuh planet. 

Hermeneutik Qumran

       Salah satu cabang Yudaisme adalah Kaum Eseni yang berkembang di Qumran, sebuah tempat di pantai barat laut Mati sekitar 150 sM-68 M. Secara spesifik, komunitas ini mempraktikkan metode yang disebut Pesher. Para penafsiran dapat menerapkan metode atomisasi, membagi sebuah teks menjadi beberapa frasa, kemudian menafsirkan setiap frasa secara berbeda tanpa memperhatikan konteksnya

Hermeneutik Rabinik

       Berputar di Yerusalem dan Yudea, cabang Yudaisme ini menekankan ketaatan kepada Kitab Suci Ibrani, khususnya Taurat, ditengah-tengah tekanan yang meningkat untuk mengakomodasi budaya Greko-Romawi. Model pendekatan penafsiran dari Yudaisme Rabinik sangat kental nilai sastranya. Bentuk sastra tersebut terdiri dari dua jenis yaitu Halakah (peraturan atau hukum untuk diikuti). Haggadah (sebuah penyampaian cerita atau tafsiran Seluruh kita PL). Yudaisme Rabinik ini menghasilkan tiga karya Literatur yang utama. 

       Mishnah berisi pengajaran-pengajaran lisan yang pernah disampaikan oleh rabi yang terkenal dari masa dua kompotitor yakni, Hillel dan Shammai ( abad 70 M). Diterbitkan sekitar 200 M. Mishna berisi banyak traktat individu yang dibagi menjadi enam topik

(Perjamuan, perempuan, benda-benda suci dsb) dan ini adalah tradisi lisanTalmud  bangsa Palestina dan Babel (400 M dan 600 M), secara mendasar memberikan penafsiran. Talmud ini mengutip sebagian Mishna, yang dilanjutkan dengan kutipan-kutipan dari para rabi dan bagian-bagian kitab suci. Talmud adalah untuk memberikan dukungan Biblical kepada penafsir-penafsir atas Mishna. Midrahsim (Ibr. Darao "mencari") menampilkan penafsiran atas kitab-kitab Biblical.[5]

Hermeneutik abad pertama Masehi

 Hemeneutik Yesus Kristus

       Dalam pengajaran kepada murid-murid-Nya Yesus banyak memberikan penafsiran kitab-kitab PL. {Lu 24:27,44 Joh 5:39 Lu 24:27,44} Dengan cara demikian Yesus telah membuka pikiran murid-murid-Nya untuk mengerti Firman Tuhan dengan benar. Ia sendiri adalah Firman yang menjadi Manusia (incarnasi), yang menjadi jembatan yang menghubungkan antara pikiran Allah dan pikiran manusia. Banyak catatan tentang teguran Yesus terhadap penafsiran para ahli Taurat  

Hermeneutik Apostolik

       Para rasul, yang menjadi murid Yesus dan mendapatkan inspirasi dari Allah. Mereka adalah podoman kita dalam penulisa Alkitab PB yang menafsirkan kitab PL dengan inspirasi dari Allah. Allah menuntun mereka, sehingga baik dalam penulisan kitab PB maupun dalam interpretasi teks kitab suci, mereka menulis tanpa salah. Mereka menolak metode alegoris, dongeng dan tradisi-tradisi Yahudi serta menolak filsafat Yunani yang mendistorsikan kebenaran. Yesus Kristus dan murid-murid-Nya telah menggunakan cara interpretasi yang benar dalam ekspositori kitab suci. 

Hermeneutik zaman Patristik

Hermeneutik Aleksandria

       Mulai dari para rasul mati, dari (tahun 95- 600 M) yaitu dari Clemens dari Roma sampa Ireneus, tidak ada catatan yang berkembang mengenai metode interpretasi kitab suci. Hal ini disebabkan karena mereka terlalu sibuk mempertahankan kristologi mereka dari ajaran sesat.  Sebagai akibatnya banyak diantara mereka yang terjun dalam penafsiran alegorisasi. Dua orang terkenal telah menjadi tokoh yang memperkenalkan penafsiran Alkitab secara alegorikal. Yang pertama, Clement dari Alexandria yang mengajar di sana dari 190 M sampai 203 M. Clement mengajarkan bahwa Kitab Suci memiliki makna ganda: Seperti umat manusia, ia memiliki tubuh (makna literal) serta jiwa (makna spiritual) yang tersembunyi di balik literal. Kedua Origen (185-254 M), Origen berargumen bahwa sama seperti manusia yang memiliki tubuh, jiwa, dan Roh, demikian juga kitab suci memiliki makna dalam tiga dimensi.[6] 

       Misalnya Yustinus adalah seorang martir dari Samaria (tahun 100-164 M) karena ia sangat mengasihi Krisus dan pembela Kristus yang tidak kenal takut. Tetap dalam eksposisinya sering kali bersifat fantastis dalam menginterpretasi khas dari Perjanjian Lama. misalnya, Yustinus berkata bahwa Lea mewakili orang-orang Yahudi, Rahel mewakili gereja dan Yakub adalah Kristus yang melayani orang-orang Yahudi dan gereja. Ireneus tinggal di Simirna. Dalam bukunya Against Heresies (melawan bidat) ia menekankan bahwa Alkitab harus di pahami dalam pengertian alamiah yang jelas. Ireneus menekankan bahwa Perjanjian Lama dapat diterima oleh orang-orang Kristen karena Perjanjian Lama penuh dengan lambang-lambang. Dari beberapa kasus, tipologinya menjadi ekstrim hingga menjadi alegoris. misalnya alegoris Ireneus. Ia berkata bahwa ketiga mata-mata yang disembunyikan oleh Rahab adalah lambang Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus[7]

Hermeneutik Antiokhia

       Menya dari adanya pengabaian yang tidak terkendali terhadap makna harfiah dari kitab suci oleh pengajaran dari Aleksandria, maka beberapa pemimpin gereja Antiokhia Siria menekankan interpretasi historis. Dorotheus membantu mempersiapkan jalan untuk pendirian sekolah di Antiokhia. Lucian (tahun 240-312 M) adalah mendiri sekolah Antiokhia. Diodorus menggunakan kata teori untuk merujuk kepada makna asli dari tulisan tersebut, yang menurutnya mencakup metafora dan juga pernyataan sederhana. Diodorus adalah guru dari dua bapa Antiokhia terkenal antara lain, yaitu Theodore dari Mopsuestia dan John Chrysostom. Mereka ini disebut adalah bapa-bapa penafsir terhebat dari aliran Antiokhia. 

Hermeneutik Patristik Terkemudian

       Ada beberapa patristik yang terkenal dari bapa-bapa gereja dari abad ke-5 sampai abad ke-6. 1). Heronimus (tahun 347-419 M) pada awalnya mengikuti Origen dalam alegorisasinya. Dalam karya eksegesisinya yang pertama, yang berjudul A. Commentary on Obadiah, bersifat alegoris. Tetapi dikemudian hari Hieronimus dipengaruhi oleh sekolah

Antiokhia dan para guru Yahudi, karya Hieronimus menjadi harfiah. John cassian (tahun 360-435 M) adalah seorang Rahib dari skit (Rumania modern). 2). John Cassian mengajarkan bahwa Alkitab mempunyai makna empat lapis, yaitu: Historis, alegoris, tropologi (makna moral), analogis. 3). Agustunus (354-430) adalah seorang teolog besar yang mempunyai pengaruh besar terhadap gereja selama berabad-abad. Pada mulanya, Agustinus adalah seorang penganut Manikheisme. 

       Gereja Manikheisme yang dimulai diabad ketiga Masehi, mendeskriditkan kekristenan dengan menunjuk kepada antropomorfisme yang absurd dari PL. Ketika ketegangan di katedral di Milan, Italia, Agustinus mendengarkan Ambrose yang sering mengutip II Kor. 3:6, Hal ini menyebabkan Agustinus menerima alegorisasi sebagai sebuah solusi untuk masalah-masalah perjanjian Lama. Misalnya, dalam karyanya, De Doktrina Christiana pada tahun 397, Agustinus menyatakan bahwa cara untuk menentukan apakah suatu ayat bersifat alegoris atau tidak adalah dengan mencari keterangan kepada aturan iman, yaitu ajaran gereja dan juga kitab suci itu sendiri. Dalam karya yang sama, Agustinus mengembangkan analogi iman. 

       Dalam ajaran Dokrin Kristen, Agustinus menyajikan tujuh aturan untuk interpretasi yang mengusahakan memberi dasar rasional untuk alegorisasi. Ketujuh atauran itu sebagai berikut. a). Tuhan dan tubuh-Nya. Apa yang dikatakan tentang Kristus sering kali juga dapat diterapkan kepada tubuh-Nya yaitu gereja. b)."Pembagian ganda Tuhan, atau campuran gereja, gereja menampung orang munafik dan orang yang sungguh-sunggu percaya (Mat. 13:47-48) c). Janji-janji dan hukum. " Beberapa ayat berhubungan dengan karunia, hukum, Roh, huruf, usaha dan iman. d). Spesies (bagian) dan Genus (keseluruhan). Beberapa ayat lainnya berhubungan dengan keseluruhan (Genus), orang Israel yang percaya misalnya adalah (Spesies) dari Genus, yaitu gereja, yang adakah orang-orang Israel yang rohani e). Waktu. Ketidak sesuaian yang ada dapat disesuaikan dengan memasukkan satu pernyataan di dalam pernyataan lain. Misalnya, salah satu Injil yang mengatakan bahwa transfigurasi terjadi enam hari setelah adegan di Filipina Kaisarea, dimasukan ke dalam delapan hati yang dicatat oleh penulis Injil lainnya. Angka-angka sering kali tidak berarti bilangan matimatikan tertentu, tetapi merupakan tapi merupakan jumlah yang memiliki arti luas. f). Rekapitulasi. Beberapa ayat yang sulit dapat dijelaskan dengan memandangnya sebagai ayat yang merujuk kepada suatu riwayat yabg oenah terjadi sebelumnya. Misalnya, riwayat pencipta sebelumnya tertulis ke dalam kejadian 2 dijelaskan sebagai Rekapitulasi dari riwayat yang pertama di dalam kerjadian 1, bukan suatu kontradiksi terhadap catatan pencipta di dalam kejadian 1. g). Setan dan tubuhnya. Beberapa ayat, cth Yes.14 yang berbicara tentang setan, lebih berhubungan dengan tubuhnya, yaitu pengikut-pengikutnya.[8]. 

Hermeneutik Abad pertengahan (1040-1105 M)

Hermeneutik Pra-Reformasi

       Pada abad pertengahan banyak dari bapak gereja masih mengacu pada bapa-bapa gereja yang terdahulu yakni Ambrose, Agustinus, Hilary dan Hieronimus. Hal ini disebabkan karena pengaruh gereja Roma Katolik saat itu. Gregorius Agung (540-604), Paus pertama dari gereja katolik Roma mendasarkan interpretasinya pada penafsiran alegorisasi. Venerable Bede (673-734), seorang teolog Anglo-Saxon, dia sangat mendukung pandangan Ambrose, Agustinus, Basil terhadap penafsiran alegorisasinya. Alcuin (735-804) dari York, Inggris, juga mengikuti metode alegorisasi. Dalam penjelasannya terhadap Injil Yohanes, ia mengikuti komentar-komentar dari Agustinus dan Ambrose. Rabanus Maurus yang adalah murid dari Alcuin, yang mengikuti alegorisasi Alcuin. Bernard dari Clairvaux (10901153), seorang Rahib besar menulis 86 khotbah dari dua pasal pertema kitab kidung Agung! Pendekatan dari kitab suci, ia menggunakan metode Alegorisasi dan mestikisme yang berlebihan. Masalnya gadis-gadis dalam kidung Agung 1:3 adalah malaikat, dan kedua  pedang yang disebut di dalam Lukas 22:38 adalah hal Rohani (Pendeta) dan hal Materi (raja).    Rashi (1040-1105) adalah seorang penganut tafsiran harfiah Yahudi abad pertengahan, yang mempunyai pengaruh besar terhadap interpretasi Yahudi dan Kristen karena penekanannya pada tata bahasa (gramatikal) dan sintaksis Ibrani. Dia banyak menafsirkan kitab suci kecuali kitab Ayub dan Tawarikh. Rashi menyatakan bahwa "makna harfiah harus tetap teguh apapun artinya bagi makna tradisionalnya[9] Ada tiga orang penulis di Abbey dari Saint Victor di Paris yang mengikuti Rashi dalam minatnya akan makna historis dan harfiah dari kitab suci. Pria ini bernama: 1) Hugo (1097-1141), Richard (1173) dan Andrew (1175) dikenal sebagai Viktorin, ketiga orang ini sangat menentang alegorisasi Hieronimus.  Thomas Aquinas (1225-1274) adalah teologi paling terkenal dari gereja Roma Katolik abad pertengahan, ia adalah juga adalah orang yang berpegang teguh pada metode penafsiran Historis, alegoris, tropologis dan anagogis. (Hlm 45). Nicholas dari Lyra (1279-1340) adalah seorang tokoh penting di abad pertengahan karena Nicholas menjadi jembatan antar kegelapan di reformasi. Ia dipengaruhi oleh Rashi yang memegang tafsiran harfiah.  John Wycliffe (1330-1384) adalah pembaharuan dan teolog menonjol, yang sangat menekankan otoritas kitab suci untuk doktrin dan kehidupan Kristen, oleh karena itu dia menolak otoritas tradisional Gereja Katolik. Wycliffe mengajukan beberapa aturan untuk interpretasi Alkitab. 1). Dapat ditulis yang dapat dipercaya. 2). Pahami logika Kitab suci 3). Bandingkan bagian-bagian kitab suci yang satu dengan bagian yang lain. 4). Pertahankan sikap pencarian yang rendah hati agar Roh Kudus dapat memimpin kita. Dengan menekankan interpretasi gramatikal dan historis dari Kitab suci, maka Wycliffe menulis bahwa segala sesuatu yang diperlukan di dalam kitab suci tercakup di dalam pengertian harfiah dan historisnya yang sesuai.[10]

Pasca-Reformasi

       Para Reformator membangun pada pendekatan harafiah dari aliran Antiokhia dan Viktoria. Ramm menyatakan, pada dasarnya Reformasi adalah Reformasi Hermeneutik, sebuah pendekatan kepada Alkitab. Renaissance yang dimulai pada abad ke-14 di Italia dan berlanjut sampai abad ke-17 adalah kebangkita minat pada tulisan-tulisan klasik, termasuk minat pada bahasa Ibrani dan Yunani.[11]  Martin Luther (1483-1548) menulis, "Ketika saya seorang Rahib, saya adalah seorang ahli alegori. Saya mengalegorisasikan Segala sesuatu. Tetapi setelah Luther mempelajari surat Roma Luther mendapat pengetahuan tentang Kristus. Sejak itulah Luther melihat bahwa Kristus bukanlah alegoris. Luther mengkritik alegoris terhadap kitab suci dengan kata-kata yang keras. "Alegoris adalah spekulasi kosong dan benar-benar sampah bagi kitab suci. Mengalegorisasi sama dengan mempermainkan kitab suci. Dengan menolak alegorisasi maka Luther menekankan pengertian harfiah (sensus Literasi) dari Alkitab. Philip Melanchthon (1497-1560), dia adalah kawan Luther, ia mengenal bahasa Ibrani dan Yunani yang baik. Meskipun. Melanchthon kadang-kadang dia melenceng kepada alegoris, secara umum namun dia tetap mengikuti metode gramatikal dan historis.

       John Calvin (1509-1564) disebut salah satu penafsiran Alkitab terhebat. Calvin juga menolok interpretasi alegoris. Calvin berkata interpretasi alegoris sebagai permainan yang konyol dan bahwa Origen dan banyak orang lainnya bermasalah karena "menyiksa kitab suci, dalam semua pengertian yang mungkin, tanpa mengerti yang sebenarnya. Calvin sama dengan Luther menekankan penafsiran gramatikal dan historis bukan eisegesis.

       Ulrich Zwingli (1484-1531) adalah seorang pemimpin reformasi di Zurich, ia memutuskan hubungannya dengan gereja Roma katolik. Zwingli menekankan pentingnya menginterpretasikan ayat-ayat Alkitab di dalam konteksnya masingmasing. William Tyndaleb(1494-1536) dia dikenal karena menerjemahkan PB ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1525. Tyndale juga menekankan pada makna harfiah Alkitab.[12] Francis Turretin (1623-1687). Turretin mengajarkan bahwa Alkitab tidak pernah salah dan mempunyai otoritas, Turretin menekankan bahwa pentingnya mengetahui tulisan aslinya. Johan Ernesti (1707-1781), ia menekankan pentingnya tata bahasa (Gramatikal) dalam memahami Alkitab dan Ernesti menolak alegorisasi, serta menekankan pendekatan harfiah kepada Alkitab.

Hermeneutik Modern

       Ada tiga elemen yang dapat dipikirkan dari abad ke-19, yaitu: Subjektifisme, Kritik Sejarah dan Karya Eksegesis. Dalam gerakan Subjektifisme ada dua nama yang terkenal yaitu: Friedrich D. E. Schleiermacher (1768-1834) dan Soren Kierkegaard (1813-1855). Subjektifisme adalah pandangan bahwa pengetahuan muncul dari pengalaman pribadi seseorang, atau kebaikan yang tertinggi adalah kesadaran akan pengalaman atau perasaan subjektif seseorang. Schleiermacher menolak otoritas Alkitab dan menekankan tempat perasaan dan kesadaran diri dalam agama. Hal ini di lakukan sebagai reaksinya terhadap rasionalisme. Tidak hanya itu Schleiermacher menekankan bahwa kekristenan sebaiknya dipandang sebagai agama emosi, bukan sebagai serangkaian dogma atau sebuah sistem moral. Kierkegaard, seorang filsuf yang berasal dari Denmark, dan dikenal sebagai "bapak eksistensialisme modern". Ia menolak kekristenan dengan rasionalisme formal dan paham pengakuan iman dan mengajarkan bahwa iman adalah sebuah pengalaman subjektif dimasa-masa kesengsaraan seseorang.

       Dalam berbagai aspek, abad ke-19, merupakan abad revolusione. Namun dengan perkembangan zaman, kekristenan menjadi penolakan bagi kaum intelektual. Alkitab tidak bisa lepas dari pengaruh kemajuan zaman. Para sarjana, khususnya yang mengajar di universitas di Jerman, berusaha mempelajari Alkitab melalui pendekatan objektif dan ilmiah. Sehingga lahir pendekatan yang disebut (the historical-critical method) "Metode Kritik Sejarah" metode ini mewarisi asumsi rasionalistik dari para leluhur intelektua abad ke-17. Metode kritik sejarah ini, memiliki worldview yaitu pendekatan wawasan. Metode kritik sejarah menganggap pengajaran Alkitab sebagai kebenaran yang dibatasi oleh waktu, bukan melampaui waktu. Oleh sebab itu para sarjana pada abad ini mereka memperlakukan Alkitab sebagai buku biasa yang tidak memiliki otoritas, mereka memperlakukan Alkitab sebagai buku-buku biasa, bukan sebagai wahyu dari Allah bagi umat manusia.  Benjamin Jowett (1817-1893). Ia mengatakan bahwa "Alkitab harus diinterpretasikan seperti semua buku lainnya" dan diperlukan pengetahuan tentang bahasa-bahasa aslinya. Namun bagi Jowett, ini berarti bahwa Alkitab tidak bersifat adikodrati karena Alkitab mempunyai serangkaian sumber-sumber, pedaktur, dan interpolator (penyisipan/penambahan yang rumit" sehingga Alkitab tidak jauh dari sastra lainnya 

       Ferdinand C. Baur (1792-1860), pendiri Mazhab Tubingen, ia berkata bahwa kekristenan berkembang secara perlahan dari agama Yahudi menjadi agama dunia. Karen di pengaruhi oleh filsafat tesis, antitesis dan sintesis Hegel. Baur berkata bahwa Petrus dan Paulus mengarahkan dua kelompok yang saling bertentangan tetapi pada akhirnya bersintesis dalam gereja universal katolik kuno. David F. Strauss (18081874). Pada abad ke-20 terdapat beberapa elemen interpretasi Alkitab yang sangat keliru. a). Leberalismen meneruskan sebagian sumber dari pendekatan rasionalistis dan kritik yang lebih tinggi dari abad ke-19. b). Ortodoks mengambil pendekatan Harfiah dan pendekatan devosi terhadap Alkitab. c). Neo-ortodoksi mengatakan bahwa Alkitab menjadi Firman Tuhan selalui perjumpaan eksistensi manusia. Neo-Ortodoks menyangkal bahwa Alkitab tidak pernah salah dan tidak mungkin salah. Artinya halhal yang bersifat spektakuler tidak dipercayai. d). Bultmennisme mengambil pendekatan mitologis terhadap Alkitab. Rudolf Bultmann (1884-1976), ia mengajarkan bahwa PB harus dipahami secara eksistensial dengan "demitologi" yaitu dengan menghilangkan unsur-unsur teologi "asing-nya, seperti mukjizat-mukjizat, termasuk di dalamnya mukjizat kebangkitan Yesus. e). Leberalisme menganggap kitab suci buatan manusia yang tidak mendapatkan inspirasi dan liberalisme mengajarkan bahwa unsurunsur adikodrati di dalam Alkitab dapat dijelaskan secara rasio. f). Fundamentalisme bereaksi keras terhadap liberalisme, dan memunculkan pendekatan harfiah terhadap Alkitab dan dianggap sebagai kitab adikodrati g). Injili memegang teguh pandangan ortodoks dari Alkitab, yang menekankan pada interpretasi gramatikal dan historis artinya mrk mengikuti alirah Mazhab dari Antiokhia, Kaum Viktorin dan para Reformator.[13]

Implikasinya bagi Teologi

       Menguasai dunia hermeneutika membawa dampak positif bagi progres bagi perkembangan penafsiran dalam dunia teologi, dalam pembinaan iman jemaat sekaligus sebagai opposite bagi ajaran sesat di abad Postmodern ini. Tafsiran Alkitab yang baik sangat berperan aktif dalam hal ini, karena tugas seorang pengkhotbah adalah orang yang melaksanakan Amanat Agung Yesus Kristus (Mat. 28:19-20). Pengetahuan Alkitab, pemahaman teologi atau keyakinan iman secara benar dan mendasar (pokok-pokok keyakinan Kristen). Termasuk di dalamnya adalah ajaran mengenai pribadi dan karya Allah Tritunggal, manusia, dosa dan keselamatan, Roh Kudus, tanggung jawab hidup atau etika adalah sangat penting diajarkan untuk mengendalikan kehidupan umat Allah, sebab pengajaran yang di implementasikan memiliki tujuan yaitu agar umat Allah dapat berperilaku baik dan berbeda dari perilaku bangsa bangsa penyembahan berhala yang ada disekitar mereka. (Mal.3:17-18).  Murid- murid mengakui Yesus sebagai "guru dan pengajar" (Yoh. 13:13). Sebutan ini dinyatakan murid-murid-Nya karena Yesus sangat menekankan pengajaran dalam pelayanan-Nya. 

       Yesus dipanggil dan disapa sebagai guru (Mrk. 12:13-14). Sebagai guru, Yesus mengumpulkan beberapa murid untuk diajar, dilatih dan diutus. Para murid-Nya mereka dilangkapi dengan pengajaran dan kuasa, agar mereka bisa seperti guru mereka, bisa mengajaran yang sungguh-sungguh. Yesus Kristus disebut sebagai "Guru Agung" bukan karena pengajaran-Nya, melainkan karena "Hakekat Pribadinya Sendiri. Yesus mengajarkan pribadi-Nya sendiri. Ia menyatakan seluruh rencana Allah dalam diri-Nya. Melalui kegiatan mengajar yang dilakukan-Nya, Ia menyatakan diri-Nya dan makna kedatangan-Nya. Dia sendirilah pernyataan dan pengajaran itu yang tercakup dalam taurat dan Perjanjian Lama. Maka itu, metode Hermeneutika terus mengembangkan diri, khususnya dalam dunia penafsiran Alkitab secara historikal serta berporos pada pengajaran Yesus tanpa terpengaruh oleh filsafat, tradisi-tradisi dan dongeng-dongeng yang merusak otentikasi Alkitab. 

Kesimpulan

       Alkitab adalah Firman Allah. Dalam interpretasi membutuhkan hermeneutik yang historikal dan gramatikal. Alkitab yang ditafsirkan secara literal, harus dipimpin oleh Roh Kudus dan tidak mengandalkan rasio manusia yang melawan Allah serta menolak metode alegorisasi dalam interpretasi. Alkitab dapat dipercaya, dipahami secara logika Kitab Suci dan mengkomparasikan bagian-bagian ayat Kitab Suci yang sulit untuk dipahami. Seorang penafsir sejati harus mempertahankan sikap pencarian yang rendah hati agar Roh Kudus dapat memimpin si penafsir. Dengan menekankan interpretasi gramatikal dan historis dari kitab suci, maka penafsiran akan mendapatkan hasil yang memuaskan sehingga seorang pendidik bisa menerapkannya dalam mengajar jemaat agar iman jemaat bertumbuh dewasa. Metode-metode dalam interpretasi alkitab secara umum, Hasan Susanto memberikan metode: 1). Analisa Teks, 2) Analisa isi Alkitab, 3) Analisa Sejarah dan Latar belakang, 4). Analisa Sastra, 5). Analisa Konteks, 6). Analisa Arti kata dan tatabahasa.

Daftar Pustakaan

Grant R. Osborne,

2012                Spiral Hermeneutika; Pengantar Komprehensif bagi Penafsiran Alkitab, (Surabaya: Momentum)

Hasan Susanto,

1989                Hermeneutik: Prinsip dan metode penafsiran Alkitab (Malang: SAAT)

Donald A. Carson,

2018                Tafsiran Alkitab Abad ke-21, vol.3, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih)

Roy B. Zack,

2014                Hermeneutik: Basic Bible Interpretation, (Malang: Gandum Mas)

Eugene H. Merrill,

1975                "Rashi, Nicholas de Lyra, and Christian Exegesis, (Westminster Theological Jurnal 38)

William W. Klein dkk,

2016                Introduction to Biblical Interpretasi 1: Pengantar Tafsiran Alkitab (Malang: Literatur SAAT,)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun