Mohon tunggu...
Ofis Ricardo SH MH
Ofis Ricardo SH MH Mohon Tunggu... Pengacara - Akademisi, Pushardem, Advokat PKPU dan Kepailitan, Kurator - Pengurus

Managing Partner Ofis Ricardo and Partners; Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Tata Negara dan Demokrasi (Pushardem)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KMP, KIH dan Reshuffle Jilid II

3 Agustus 2016   12:35 Diperbarui: 3 Agustus 2016   12:44 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Polarisasi koalisi menjadi dua kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) adalah hal baru dalam era reformasi. KMP yang merupakan partai pendukung Prabowo – Hatta head to head dengan KIH yang merupakan partai pendukung Jokowi – JK. KMP pun terus bertahan hingga satu per satu anggotanya memilih untuk bergabung dengan KIH.

Keberadaan koalisi permanen KMP ini memiliki nilai positif, dengan begitu mekanisme checks and balances oleh DPR terhadap pemerintah dapat dilakukan secara optimal. Dengan komposisi kursi KMP sebanyak 56,5 persen sedangkan KIH sebanyak 43,5 persen membuat konfigurasi partai dalam mengawasi pemerintah relatif lebih seimbang.

Sejak terbentuk, keberadaan dua kubu koalisi ini diragukan dapat bertahan lama. Anggapan ini muncul karena koalisi permanen sangat sulit terjadi karena banyaknya kepentingan partai. Anggota koalisi oposisi rentan untuk pindah menjadi partai pendukung pemerintah. Koalisi transaksional masih kerap melanda politik Indonesia dengan imbalan jabatan kursi menteri serta jabatan strategis lainnya.

Belakangan anggapan itu ada benarnya, PAN dan Golkar sejak awal merupakan bagian dari KMP baru-baru ini mendapatkan kursi Menteri PAN-RB dan Menteri Perindustrian pada Reshuffle Jilid II. Pada awalnya PAN berkilah tetap di KMP dengan tetap mendukung pemerintah, tapi hal ini menimbulkan sikap ambigiutas, tidak jelas, dan samar bentuk koalisi yang bagaimana yang ingin dijalankan PAN. Sementara koalisi pemerintah dan oposisi adalah dua kutub yang saling bertolak belakang. Koalisi di dua kaki hanya akan menimbulkan kegaduhan di pemerintahan dan parlemen.

Sementara Golkar yang didera konflik dualisme kepengurusan pasca Munaslub, mengubah haluan mengikuti langkah PAN keluar dari KMP dan bergabung dengan KIH. Jauh sebelum Munaslub, sangat kental aroma intervensi pemerintah dalam konflik dualisme kepengurusan Golkar.

Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan Surat Keputusan mengesahkan salah satu kepengurusan yang sedang bersengketa yaitu kepengurusan Agung Laksono. Menkumham telah melanggar UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dengan mengesahkan salah satu pengurus yang bukan kewenangan pemerintah.

Undang-Undang partai politik tidak mengatur mengenai campur tangan pemerintah baik itu untuk penyelesaian perselisihan pengurus partai politik maupun instrumen hukum lainnya. Undang-Undang mengamanahkan agar perselisihan pengurus yang terjadi hendaknya diselesaikan oleh mahkamah partai dalam internal partai sendiri berdasarkan AD-ART partai sebagai mana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2011. Undang-Undang ini hanya mengatur peran Menkumham dalam pendaftaran yang bersifat administratif dengan mengluarkan keputusan menteri.

Undang-undang juga memberikan alternatif, bila penyelesaian perselisihan partai tidak juga dapat diselesaikan secara internal maka penyelesaian perselisihan diselesaikan di pengadilan negeri. Dimana putusan pengadilan negeri sebagai putusan pertama dan terakhir, dan dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung.

 

Koalisi dalam konstitusi

Konstitusi tidak menyebutkan kata “koalisi” dalam pasal-pasalnya. Namun dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, UUD 1945 Pasal 6A ayat (1) menyatakan Presiden dan atau Wakil Presien diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Termasuk dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak menyebutkan kata “koalisi” namun “gabungan” partai politik. Walaupun demikian hal ini memiliki makna yang sama dimana dua partai menyatukan kekuatannya untuk memenangkan pemilu.

Dalam sisitem multipartai seperti Indonesia sangat sulit bagi partai untuk meraih suara mayoritas mutlak. Dengan kondisi ini maka suara rakyat dalam pemilu akan terdistribusi pada banyak partai. Suara partai terbagi-bagi sehingga suara partai tidak menjadi signifikan untuk mencalonkan presiden bahkan untuk membentuk pemerintahan kuat.

Disinilah awal munculnya ketergantungan antar partai yang melahirkan koalisi. Koalisi partai di Indonesia hampir tidak memiliki sekat walaupun secara ideologi dan visi-misi sangat jelas terlihat. Bahkan tak jarang yang mengklaim partai nasionalis sekaligus relijius dan partai relijius sekaligus nasionalis.

Hal ini boleh saja dilakukan, karena dalam perspektif yang lain sangat luas untuk menafsirkan makna nasionalis dan relijius, bahkan dapat pula dikaitkan nasionalis dan relijius memiliki kerterkaitan yang kuat.

Memasuki era reformasi, koalisi yang diramu hampir tidak dapat dipisahkan dari kepentingan untuk meraih kekuasaan belaka. Sehingga tidak penting lagi ideologi serta visi-misi partai anggota koalisi. Misalnya saja KMP yang dibangun atas kepentingan untuk memenangkan pilpres 2014 namun beranggotakan partai nasionalis (Golkar, Gerindra, PD) dan partai relijius (PAN, PKS, PPP) maupun KIH juga berisikan partai nasionalis (PDIP, Hanura, Nasdem) dan partai relijius (PKB).

Pasca Reshuffle Jilid II praktis KIH kini menjadi kekuatan mayoritas di DPR dengan 61 persen kursi (PDIP, Golkar, PAN, PKB, Nasdem, Hanura), KMP 20 persen kursi (Gerindra dan PKS). PPP yang juga telah merapat ke KIH serta PD yang lebih memilih tidak berada di KMP dan KIH, sebagai penyeimbang, membuat lumpuhnya pengawasan DPR terhadap pemerintah. DPR hanya akan menjadi “stempel” bagi pemerintah untuk memuluskan kebijakannya tanpa melalui pengujian yang kritis dari DPR.

Dalam kehidupan demokrasi tentu ini menimbulkan ketidakkonsitenan di tubuh elit partai. Partai yang telah kalah dalam pemilu lalu kemudian menjadi partai pendukung pemerintah. Sehingga tidak mengherankan koalisi di Indonesia hanyalah bertujuan meraih kekuasaan dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi(minimal winning coalition).

Pada saat KMP dan KIH dibentuk awalnya bertujuan menjadi koalisi stretegis untuk membentuk suatu pemerintahan yang kuat. Namun dengan masuknya PAN dan Golkar maka koalisi yang dibangun hanyalah koalisi taktis, keputusan untuk pindah koalisi bersifat oligarki elit partai yang cenderung mengesampingkan aspirasi konstituen partai yang telah memilihnya.


Koalisi dalam presidensialisme-multipartai

Koalisi tidak terelakkan dalam sistem pemerintahan presidensialisme-multipartai seperti yang dianut Indonesia saat ini. Indonesia berdasarkan UUD 1945 setelah amandemen, mencoba untuk mengubah sistem pemerintahan menjadi presidensialisme. Konsekwensinya ialah walaupun presiden dipilih secara langsung oleh rakyat namun presiden sangat tergantung dengan parlemen.

Sistem multipartai membuat suara terdistribusi pada banyak partai yang berdampak tidak adanya suara partai mayoritas. Partai-partai di parlemen terfragmentasi dengan perolehan suara yang kecil sehingga untuk mengamankan kebijakan pemerintah di parlemen diperlukan “penguasaan” parlemen. Penguasaan suara di parlemen yang demikian makin memperjelas koalisi dibangun atas dasar pragmatisme elit partai belaka.

Menurut Juan Linz bila presiden terpilih bukan dari kelompok dengan suara mayoritas di parlemen maka akan menghasilkan tirani minority president. Hal ini akan berimplikasi kepada banyak hal, salah satunya adalah kemandekan yang berkepanjangan, terlebih eksekutif dan parlemen adalah dua lembaga yang terlegitimasi secara mandiri. Kondisi ini pula lah yang menjadi penyebab presiden selalu tergantung pada parlemen.

Sistem presidensialisme multipartai yang demikian saat ini sedang terjadi di Indonesia. Presiden hanya disibukkan untuk “menjinakkan” partai dengan tujuan agar mendukung program pemerintah hingga dapat memimpin pemerintahan hingga akhir masa jabatannya.

Disini lah implikasi presidensialisme multipartai dimulai. Kegamangan dalam menerapkan presidensialisme yang diterapkan secara bersamaan dengan multipartai berdampak pada kemandekan(imobilis). Berimplikasi pada stagnasi pemerintahan, konflik presiden dan parlemen hingga terjadi instabilitas politik, yang lebih jauh secara langsung berpengaruh kepada kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itulah, Hanta Yuda menyebut presidensialisme multipartai khususnya di Indonesia saat ini sebagai “Presidensialisme Setengah Hati”. Karena disatu sisi sistem ini mengebu-ngebu ingin kekuasaan pemerintahan dikendalikan sepenuhnya oleh presiden, namun secara bersamaan parlemen juga “mengendalikan” pemerintahan.

 

Ofis Ricardo, S.H., M.H.
(Direktur Eksekutif Welfare State Indonesia)

 

_________________

Dimuat pada Rakyat Merdeka Online www.rmol.co 2 Agustus 2016

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun