Mohon tunggu...
Ofis Ricardo SH MH
Ofis Ricardo SH MH Mohon Tunggu... Pengacara - Akademisi, Pushardem, Advokat PKPU dan Kepailitan, Kurator - Pengurus

Managing Partner Ofis Ricardo and Partners; Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Tata Negara dan Demokrasi (Pushardem)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KMP, KIH dan Reshuffle Jilid II

3 Agustus 2016   12:35 Diperbarui: 3 Agustus 2016   12:44 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Termasuk dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak menyebutkan kata “koalisi” namun “gabungan” partai politik. Walaupun demikian hal ini memiliki makna yang sama dimana dua partai menyatukan kekuatannya untuk memenangkan pemilu.

Dalam sisitem multipartai seperti Indonesia sangat sulit bagi partai untuk meraih suara mayoritas mutlak. Dengan kondisi ini maka suara rakyat dalam pemilu akan terdistribusi pada banyak partai. Suara partai terbagi-bagi sehingga suara partai tidak menjadi signifikan untuk mencalonkan presiden bahkan untuk membentuk pemerintahan kuat.

Disinilah awal munculnya ketergantungan antar partai yang melahirkan koalisi. Koalisi partai di Indonesia hampir tidak memiliki sekat walaupun secara ideologi dan visi-misi sangat jelas terlihat. Bahkan tak jarang yang mengklaim partai nasionalis sekaligus relijius dan partai relijius sekaligus nasionalis.

Hal ini boleh saja dilakukan, karena dalam perspektif yang lain sangat luas untuk menafsirkan makna nasionalis dan relijius, bahkan dapat pula dikaitkan nasionalis dan relijius memiliki kerterkaitan yang kuat.

Memasuki era reformasi, koalisi yang diramu hampir tidak dapat dipisahkan dari kepentingan untuk meraih kekuasaan belaka. Sehingga tidak penting lagi ideologi serta visi-misi partai anggota koalisi. Misalnya saja KMP yang dibangun atas kepentingan untuk memenangkan pilpres 2014 namun beranggotakan partai nasionalis (Golkar, Gerindra, PD) dan partai relijius (PAN, PKS, PPP) maupun KIH juga berisikan partai nasionalis (PDIP, Hanura, Nasdem) dan partai relijius (PKB).

Pasca Reshuffle Jilid II praktis KIH kini menjadi kekuatan mayoritas di DPR dengan 61 persen kursi (PDIP, Golkar, PAN, PKB, Nasdem, Hanura), KMP 20 persen kursi (Gerindra dan PKS). PPP yang juga telah merapat ke KIH serta PD yang lebih memilih tidak berada di KMP dan KIH, sebagai penyeimbang, membuat lumpuhnya pengawasan DPR terhadap pemerintah. DPR hanya akan menjadi “stempel” bagi pemerintah untuk memuluskan kebijakannya tanpa melalui pengujian yang kritis dari DPR.

Dalam kehidupan demokrasi tentu ini menimbulkan ketidakkonsitenan di tubuh elit partai. Partai yang telah kalah dalam pemilu lalu kemudian menjadi partai pendukung pemerintah. Sehingga tidak mengherankan koalisi di Indonesia hanyalah bertujuan meraih kekuasaan dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi(minimal winning coalition).

Pada saat KMP dan KIH dibentuk awalnya bertujuan menjadi koalisi stretegis untuk membentuk suatu pemerintahan yang kuat. Namun dengan masuknya PAN dan Golkar maka koalisi yang dibangun hanyalah koalisi taktis, keputusan untuk pindah koalisi bersifat oligarki elit partai yang cenderung mengesampingkan aspirasi konstituen partai yang telah memilihnya.


Koalisi dalam presidensialisme-multipartai

Koalisi tidak terelakkan dalam sistem pemerintahan presidensialisme-multipartai seperti yang dianut Indonesia saat ini. Indonesia berdasarkan UUD 1945 setelah amandemen, mencoba untuk mengubah sistem pemerintahan menjadi presidensialisme. Konsekwensinya ialah walaupun presiden dipilih secara langsung oleh rakyat namun presiden sangat tergantung dengan parlemen.

Sistem multipartai membuat suara terdistribusi pada banyak partai yang berdampak tidak adanya suara partai mayoritas. Partai-partai di parlemen terfragmentasi dengan perolehan suara yang kecil sehingga untuk mengamankan kebijakan pemerintah di parlemen diperlukan “penguasaan” parlemen. Penguasaan suara di parlemen yang demikian makin memperjelas koalisi dibangun atas dasar pragmatisme elit partai belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun