Dan meskipun terlihat seperti itu, kami disini tentunya melaksanakannya dengan damai dan bukan dengan anggaran negara. Salah satu keajaiban yang bisa dirasakan ketika tinggal di desa, dapat diperhatikan bahwa orang-orang desa yang berdasarkan survei BPS ini miskin, bukan golongan menengah ya tapi miskin justru memiliki kepedulian dan nasionalis yang lebih tinggi daripada mereka yang duduk nyaman di kursi sana.Â
Acara menyambut hari kemerdekaan ini diselenggarakan hampir disemua tingkatan mulai dari tingkat desa, RW bahkan tingkat RT. Dan ini benar-benar terjadi disini. Lalu anggarannya dari mana? Setiap kegiatan pasti ada hadiah dan gelar panggung yang belum lagi acara tirakatan dimana setiap rumah wajib "mberkat". Setiap rangkaian acara ditujukan untuk semua kalangan mulai dari balita sampai yang tua.Â
Dan acara-acara seperti ini murni 100% menggunakan anggaran kerja bakti masyarakat. That so amazing! Sebagai orang yang tinggalnya nomaden, kadang di desa kadang di kota, sungguh hal-hal seperti ini membuat rasa syukur dan kecintaan untuk Indonesia terus bertumbuh setiap harinya kecuali Presiden yang dibenci seluruh rakyat (mungkin dan harusnya). Betapa Indonesia ini dihuni orang-orang yang sangat beragam dan unik.
Rangkaian 17 Agustus lebih dahulu dimulai dengan memasang umbul-umbul diseluruh penjuru desa hingga didepan rumah-rumah. Kemudian dibuka dengan lomba semarak lingkungan tingkat RT, yang biasanya warga di tiap-tiap RT menghias lingkungan rumah dan RT dengan hiasan yang tidak tanggung-tanggung cuy, bener-bener definisi "menghias" mulai dari menata bunga hias di teras rumah, membuat pagar-pagar bambu, lampu-lampu merah putih dan masih banyak lainnya.Â
Sekali lagi jika bertanya dari mana anggarannya? Sure, anggaran swadaya masyarakat murni! Minggu pertama bulan Agustus habis untuk menghias dan mempercantik lingkungan. Minggu kedua mulai diadakan lomba-lomba mulai kanak-kanak, remaja, ibu-ibu sampai kakek nenek yang diinisiasi oleh pemuda-pemudi di tingkat RT. Tidak mungkin diceritakan secara detail karena lomba-lomba ini buanyak sekali dan tentu saja tidak cukup hanya sehari dua hari.Â
Di tempat kami, margi desa atau giat desa tidak dilaksanakan tepat tanggal 17 Agustus karena dibersamai dengan acara "Ruwat Bumi". Nah acara semacam ini tentu berdasarkan hitung-hitungan semacam itulah, hingga disepakati rangkaian ruwat bumi dilaksanakan tanggal 10 Agustus lebih cepat 7 hari dari acara puncak 17 Agustus.Â
Acara Ruwat Bumi diselenggarakan oleh Pemerintah Desa dan seluruh masyarakat wajib untuk hadir dan berpartisipasi. Dimulai dengan arak-arakan gunungan hasil bumi desa, dilanjutkan dengan menari massal oleh pemda-pemudi (tarian dirahasiakan).
Karena termasuk desa yang gemuk, maka setiap acara margi desa harus diselenggarakan di Lapangan yang proper untuk dapat menampung seluruh masyarakat. Setiap RT wajib membawa tumpeng dalam acara Ruwat Bumi. Bayangkan jika dalam satu desa terdapat 16 RT atau mungkin lebih.Â
Ya, sebanyak itu pula masyarakat yang berpartisipasi. Tumpeng yang dibawa akan dilombakan dan dinilai terlebih dahulu. Kemudian ada yang memimpin doa untuk dilanjutkan dengan syukuran dan makan tumpeng berjamaah. Acara puncak dari Ruwat Bumi adalah rebutan gunungan dan Wayangan Ruwat Bumi.Â
Ruwat Bumi ini bermakna menjaga bumi. Tentu sebagai wujud terimakasih dan syukur warga desa terhadap hasil tanah dari bumi tercinta. Mengembalikan hak atas tanah di desa kami dengan memberikan serangkaian kebahagiaan dan doa-doa yang dimaksudkan agar Ruwatan ini diterima dan terus menjadi berkah untuk seluruh masyarakat.
Puncak 17 Agustus dimulai dengan malam 17 Agustus yang dilakukan "Tirakatan", diselenggarakan di tiap-tiap RT. Tirakatan ini seperti kenduren  untuk negeri, mendoakan pahlawan-pahlawan yang telah gugur dan syukur atas negeri yang semoga terus damai dan aman. Acara semacam ini selalu di nanti karena menjadi ajang berkumpul dan bertegur sapa.Â