Bulan agustus selalu menjadi momentum untuk seluruh rakyat Indonesia. Terlebih untuk kami rakyat kecil yang tinggal di desa, jauh dari kota dan jauh dari issu-issue pemerintah. Jauh dari hingar bingar globalisasi yang berputar lebih cepat dari roda sepeda motormu. Tinggal di desa means like a peace of heaven, seperti sebuah keajaiban dan anugerah meskipun sebagian dari anak muda kami memimpikan kehidupan di kota besar.Â
Sejauh kaki melangkah, akan kembali juga ke desa sebagai tanah kelahiran dan rumah yang dirindukan. Semakin terasa ketika mendekat bulan Agustus. Bahkan, ada satu event Nasional yang mungkin kalian tau, Dieng Culture Festival (DCF). Awalnya, event ini hanya event yang diselenggarakan pemuda pemudi desa yang kemudian mendunia lewat performa-performa yang ditawarkan. Tapi, bukan DCF yang suasananya akan diulas. Maksudnya, DCF menjadi contoh salah satu gong dan puncak acara semarak 17 Agustus begitu.
Bulan Agustus rasanya menjadi bulan yang sangat berarti dan dinanti untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia, banyak sekali hal yang dapat direnungi, direfleksi, diambil hikmah dan pelajarannya. Seluruh lapisan masyarakat Indonesia tentu tidak perlu diragukan lagi rasa Nasionalisme dan kecintaannya terhadap Indonesia.Â
Mulai dari balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, emak-emak, bapak-bapak sampai yang tertua semuanya sepakat untuk selalu merayakan 17 Agustus sebagai bentuk rasa syukur dan rasa cinta terhadap perjuangan pahlawan-pahlawan yang memerdekakan Indonesia.Â
Sebagai bentuk rasa terimakasih yang dirayakan setiap tahun, bukan hanya satu kali saja, tapi berkali-kali, berulang-ulang setiap tahun. Tren perayaan atau ceremonial 17 Agustus pun kian beragam dan kian meriah. Rasa-rasanya, 30 hari dalam bulan Agustus kurang untuk kami dapat merayakan kegembiraan atas kemerdekaan Indonesia, iya secinta itu.
Entah harus gembira atau sedih, kadang momen-momen seperti ini seolah kami warga desa mengabaikan apa yang lebih penting untuk diperjuangkan dan dirayakan. Kadang, ini terdengar seperti kami tinggal di suatu tempat sendiri, bukan di Indonesia. Misalnya, menjelang pilkada akbar yang akan  digelar esok bulan November, Presiden Republik Indonesia yang terhormat Bapak Joko Widodo melalui DPR mengesahkan RUU Pilkada yang sangat kontroversi (silahkan baca artikel sebelum ini).Â
Undang-undang tersebut sangat-sangat dipaksakan dan mengundang amarah tentunya. Demo dan aksi menuntut agar DPR membatalkan pengesahan terjadi dimana-mana mulai dari Senayan hingga kota-kota dan kabupaten. Boleh dikatakan bahwa aksi masa ini adalah aksi masa yang luar biasa besar, sebesar emosi serta aspirasi yang hendak disampaikan tapi tak didengarkan.Â
Aksi masa ini terjadi berhari-hari sepanjang hari berganti-ganti masa aksi tanpa henti. Aksi ini terjadi tepat satu minggu setelah upacara kemerdekaan RI, sebuah hadiah dan kejutan dari Presiden Republik Indonesia yang tidak sangat tidak etis. Well, Jokowi memang tidak turun tangan langsung tapi, apa manfaatnya pengesahan RUU ini jika tidak untuk anak bungsunya? Sungguh tindakan nirmoral dan tidak beretika.
On the other side, kami warga di desa tak merasakan itu. Sibuk menyiapkan acara, rangkaian demi rangkaian semarak Agustusan. Hanya karena kami jauh dari kota dan memang tidak mungkin untuk kami turun dan turut serta melakukan aksi. Tapi doa kami selalu untuk kemenangan rakyat yang diperjuangkan teman-teman yang ada disana.Â
30 hari dalam satu bulan betul-betul menjadi bulan yang sibuk untuk warga desa mulai dari karang taruna hingga pemerintah desa dengan tren yang makin berkembang. Kalau diperhatikan, sebenarnya bukan berkembang tapi tren itu jadi terlihat seperti ego untuk menunjukkan siapa yang lebih WAH dan lebih meriah.Â
Dan meskipun terlihat seperti itu, kami disini tentunya melaksanakannya dengan damai dan bukan dengan anggaran negara. Salah satu keajaiban yang bisa dirasakan ketika tinggal di desa, dapat diperhatikan bahwa orang-orang desa yang berdasarkan survei BPS ini miskin, bukan golongan menengah ya tapi miskin justru memiliki kepedulian dan nasionalis yang lebih tinggi daripada mereka yang duduk nyaman di kursi sana.Â
Acara menyambut hari kemerdekaan ini diselenggarakan hampir disemua tingkatan mulai dari tingkat desa, RW bahkan tingkat RT. Dan ini benar-benar terjadi disini. Lalu anggarannya dari mana? Setiap kegiatan pasti ada hadiah dan gelar panggung yang belum lagi acara tirakatan dimana setiap rumah wajib "mberkat". Setiap rangkaian acara ditujukan untuk semua kalangan mulai dari balita sampai yang tua.Â
Dan acara-acara seperti ini murni 100% menggunakan anggaran kerja bakti masyarakat. That so amazing! Sebagai orang yang tinggalnya nomaden, kadang di desa kadang di kota, sungguh hal-hal seperti ini membuat rasa syukur dan kecintaan untuk Indonesia terus bertumbuh setiap harinya kecuali Presiden yang dibenci seluruh rakyat (mungkin dan harusnya). Betapa Indonesia ini dihuni orang-orang yang sangat beragam dan unik.
Rangkaian 17 Agustus lebih dahulu dimulai dengan memasang umbul-umbul diseluruh penjuru desa hingga didepan rumah-rumah. Kemudian dibuka dengan lomba semarak lingkungan tingkat RT, yang biasanya warga di tiap-tiap RT menghias lingkungan rumah dan RT dengan hiasan yang tidak tanggung-tanggung cuy, bener-bener definisi "menghias" mulai dari menata bunga hias di teras rumah, membuat pagar-pagar bambu, lampu-lampu merah putih dan masih banyak lainnya.Â
Sekali lagi jika bertanya dari mana anggarannya? Sure, anggaran swadaya masyarakat murni! Minggu pertama bulan Agustus habis untuk menghias dan mempercantik lingkungan. Minggu kedua mulai diadakan lomba-lomba mulai kanak-kanak, remaja, ibu-ibu sampai kakek nenek yang diinisiasi oleh pemuda-pemudi di tingkat RT. Tidak mungkin diceritakan secara detail karena lomba-lomba ini buanyak sekali dan tentu saja tidak cukup hanya sehari dua hari.Â
Di tempat kami, margi desa atau giat desa tidak dilaksanakan tepat tanggal 17 Agustus karena dibersamai dengan acara "Ruwat Bumi". Nah acara semacam ini tentu berdasarkan hitung-hitungan semacam itulah, hingga disepakati rangkaian ruwat bumi dilaksanakan tanggal 10 Agustus lebih cepat 7 hari dari acara puncak 17 Agustus.Â
Acara Ruwat Bumi diselenggarakan oleh Pemerintah Desa dan seluruh masyarakat wajib untuk hadir dan berpartisipasi. Dimulai dengan arak-arakan gunungan hasil bumi desa, dilanjutkan dengan menari massal oleh pemda-pemudi (tarian dirahasiakan).
Karena termasuk desa yang gemuk, maka setiap acara margi desa harus diselenggarakan di Lapangan yang proper untuk dapat menampung seluruh masyarakat. Setiap RT wajib membawa tumpeng dalam acara Ruwat Bumi. Bayangkan jika dalam satu desa terdapat 16 RT atau mungkin lebih.Â
Ya, sebanyak itu pula masyarakat yang berpartisipasi. Tumpeng yang dibawa akan dilombakan dan dinilai terlebih dahulu. Kemudian ada yang memimpin doa untuk dilanjutkan dengan syukuran dan makan tumpeng berjamaah. Acara puncak dari Ruwat Bumi adalah rebutan gunungan dan Wayangan Ruwat Bumi.Â
Ruwat Bumi ini bermakna menjaga bumi. Tentu sebagai wujud terimakasih dan syukur warga desa terhadap hasil tanah dari bumi tercinta. Mengembalikan hak atas tanah di desa kami dengan memberikan serangkaian kebahagiaan dan doa-doa yang dimaksudkan agar Ruwatan ini diterima dan terus menjadi berkah untuk seluruh masyarakat.
Puncak 17 Agustus dimulai dengan malam 17 Agustus yang dilakukan "Tirakatan", diselenggarakan di tiap-tiap RT. Tirakatan ini seperti kenduren  untuk negeri, mendoakan pahlawan-pahlawan yang telah gugur dan syukur atas negeri yang semoga terus damai dan aman. Acara semacam ini selalu di nanti karena menjadi ajang berkumpul dan bertegur sapa.Â
Tirakatan menjadi acara yang sakral. Tidak banyak yang dapat disampaikan saking haru nya dan begitu kami mencintai negeri ini. Begitu besar harapan kami masyarakat di pedesaan untuk Indonesia untuk kesejahteraan di seluruh lapisan masyarakat.
Berbeda dari tahun sebelumnya, serangkaian acara 17 Agustus tahun ini diadakan Open Tournamen Volley Ball Cup I 2024. Acara yang cukup bergengsi. Selain itu, diadakan juga acara sholawatan, gelar budaya kuda lumping dan hiburan-hiburan lain. Jujur aja, kaya ga sanggup untuk bisa mengikuti penuh acara demi acara hingga selesai.Â
Selain acara yang sangat banyak dan rangkaian yang panjang dan tidak usai-usai. Ini baru acara di satu desa, belum di desa-desa yang lain yang bisa dipastikan tidak kalah menyala. Beranjak dari acara-acara di desa, tingkat Kecamatan juga pasti tidak mau kalah untuk bisa menyelenggarakan kegiatan semarak 17 Agustus.Â
Acara dimulai dengan jalan santai untuk umum, kemudian pawai TK/RA/KB/PAUD se kecamatan dan ini menjadi acara baru ditahun ini. Bagaimana tidak kami mencintai Indonesia dengan cinta yang begitu besar. Jika tidak sejak dini kami disertakan dalam seamrak-semarak merayakan kemerdekaan Republik Indonesia ini. Begitulah ide-ide memupuk nasionalis untuk membentuk generasi emas Indonesia 2024. Indah sekali bukan? Pawai ini diikuti anak-anak kecil aka bocil-bocil yang menggemaskan dengan beragam kostum.
Puncaknya adalah HUT hari jadi Kota kami yang acaranya juga diselenggarakan di bulan Agustus. Ada arak-arakan delman dari Kabupaten lama ke kapubaten baru. Yang kebetulan, desa kami berada dekat dengan kapubaten lama yang menjadi titik start acara arak-arakan. Sungguh sajian kebahagiaan yang sangat lengkap. Masihkah ragu menjadi warga Indonesia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H