Ada beberapa catatan yang menurut saya penting, setelah membaca novel karya Bagus ini, setidaknya dalam posisi saya sebagai orang yang aktif di dalam Ornop;
- Kepekaan: Melalui tokoh-tokohnya telah menunjukkan kepekaan mereka terhadap sendi-sendi kehidupan yang dilihatnya. Ini tergambarkan dari tokoh Farid misalnya dalam tiga peristiwa yang menunjukkan kebiasaan masyarakat Sumba memakai celana pendek dan membawa parang; tokoh Farid saat berinteraksi dengan anak yang menjual kelapa,
- Keingintahuan: keingintahuan sang tokoh untuk mengenali dan memahami nilai-nilai, ajaran dan upacara-upcara adat, dilakukan melalui dialog-dialog dengan beragam orang tanpa membatasi status sosial orang tersebut, menyaksikan atau hadir dalam peristiwa yang dimaksud. Sikap demikian akan memperkaya pemahaman dan penghayatan yang mendalam dibandingkan hanya mengandalkan pada bahan-bahan bacaan.
- Dokumentasi: Dokumentasi keseluruhan proses (yang dilandari dua point di atas, selain kegiatan-kegiatan yang sengaja dirancang) menjadi bagian penting. Ini dtunjukkan oleh tokoh Farid yang terbiasa membuat catatan harian. Pada tokoh lain, misalnya ditampilkan saat pertemuan lembaga yang kemudian memutuskan menolak gagasan/rencana kaum muda tersebut, tokoh Fatia menyatakan berdasarkan hasil pengamatan dan interaksinya selama tiga tahun, saat ditanya mana dokumennya, harus menyerah lantaran itu masih tersebar dari catatan-catatan lepas dan ingatan. Â Â
Ketiga catatan tersebut, menjadi bahan dasar untuk menyusun analisis situasi dan memudahkan penyusunan strategi dan langkah-langkah yang akan dijalankan bagi terciptanya perubahan yang lebih baik dalam kacamata masyarakat sendiri.
PENUTUP
Novel ini kental menampilkan realitas kehidupan masyarakat Marapu. Tokoh Farid, sepertinya menampilkan sosok penulisnya sendiri. Pilihan nama Farid, saya menduga juga sebagai bentuk penghormatan terhadap sahabat, senior dan guru yang telah menempa Bagus Yaugo Wicaksono saat mengawali masuk dunia Organisasi Non Pemerintah, yakni: (Almarhum) Mohammad Farid, seorang aktivis penting yang aktif mempromosikan hak-hak anak dan pernah menjadi anggota KOMNAS HAM. Nama itu pula yang pemikirannya dikutip dan ditampilkan dalam surat pengunduran diri ke Lembaga internasional dimana Farid bernaung.
Di luar alur penulisan yang belum sepenuhnya konsisten, terutama pada bagian tiga yang penuh dengan pemikiran-pemikiran tokoh Farid (kendati disiasati penyampaiannya sebagai presentasi Farid dalam diskusi) dapat meletihkan sang pembaca, apalagi yang belum pernah bersentuhan dengan isu hak HAM/Hak anak, secara umum, Bagus telah berhasil menyusun sebuah kisah yang padat dengan kompleksitas persoalan, melalui rangkaian-rangkaian yang mengalir lancar. Â Â
Tapi, dalam kesempatan ini, saya sampaikan rasa Bahagia atas pernikahan Farid dan Fatia... Eh, maaf, salah... Bung Bagus dan Mbak Icha..! Hal mana novel yang dipersembahkan oleh Bagus Yaugo Wicaksono untuk anak-anak di Bumi Marapu Sumba Barat ini, juga diperuntukkan kepada sang istri, sebagai hadiah pernikahan mereka.. Selamat dan doa kebahagiaan yang langgeng hidup dalam susah dan senang.
Selamat Bung Bagus Yaugo Wicaksono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H