PEMBUKA
28 Desember 2019. Seorang sahabat melamar seorang gadis di Bandung. Alhamdulillah, doa terbaik baginya untuk mengarungi kehidupan dengan penuh kebahagiaan. Calon istrinya, saya kerap mendengar dari sahabat say aini. Sebelumnya, di bulan November, saat di Jakarta dan keduanya juga berada di Jakarta (saat itu mereka tinggal di Sumba barat), gagal bertemu karena berbarengan dengan suatu acara.Â
8 Maret 2020. Saat berada di Jakarta, seorang sahabat meminta saya bermalam di kost-nya. Tentulah tak menolak. Di tengah perbincangan, ia membuka laptop, membuka sebuah dokumen, dan memperlihatkan ke saya. Sungguh terkejut hati, sama sekali tidak menyangka sahabat saya ini berminat pula pada fiksi, dan ia telah mencoba menulis novel. Sudah lebih dari 100 halaman! "Novel ini akan kupersembahkan kepada istri saat pernikahan," kata sahabatku itu.
18 Agustus 2020. Sahabat say aini melakukan akad nikah. Karena situasi Pandemi Covid 19, ia hanya mengabarkan berita gembira itu kepada para sahabatnya. "Nanti saat resepsi, kalau bisa hadir, ya, Mas,"
28 September 2020. Melalui komunikasi WA, sahabat ini meminta saya menulis kata pengantar untuk novelnya. Wow, kehormatan bagi saya. Tentu saja tak kuasa menolaknya. Dia kirimkan naskah yang sudah disetting dalam bentuk buku. 353 halaman. Isinya, dibandingkan draft awal yang pernah saya baca, jauh lebih baik.
27 November 2020. Saya awalnya sudah berencana untuk hadir di Bandung menghadiri resepsi sahabat saya ini. Sayang, secara mendadak, saya harus ke kota lain. Resepsi yang juga dijadikan acara launching novelnya, dan terbuka kemungkinan untuk mengikuti secara online melalui zoom, cilakanya lagi, saat waktu yang ditentukan, saya tengah melaju dari satu kabupaten ke kabupaten lain di Provinsi Bandar Lampung. Sungguh, saya merasa tidak enak hati dengan sahabat saya itu.
2 Desember 2020. Sekembali dari Palu, saya singgah ke Jakarta untuk menginap satu malam untuk selanjutnya Kembali ke Yogya. Sudah janjian ketemu sahabat saya ini, sayang, tiba di Jakarta agak malam, jadi janjian untuk keesokan harinya. Eh, ndilalah sejak malam hingga siang hujan tiada henti, dan sahabat saya ini tidak dapat dating ke tempat yang disepakati. "Kita bertemu di Yogya saja ya, Mas. Akhir bulan saya berencanan ke Yogya,"
13 Desember 2020. Sahabat saya mengabarkan telah berada di Yogya. Saya yang berencana pulang dari Semarang, terhambat karena menunggu hasil swab dulu. Alhamdulillah negative.
15 Desember 2020. Tiba di Yogya sekitar pukul 22.00, langsung menuju hotel tempat sahabat say aini menginap. Sempat berbincang sebentar di warung angkringan. Tapi belum nsempat bertemu istrinya. "Tubuhnya lagi tidak enak," kata sahabat saya itu. Maka berencana bertemu lagi menjelang kepulangannya.
17 Desember 2020. Akhirnya bisa bertemu dengan istri sahabat say aitu. Kita memang hanya sebentar berbincang di resto hotel. Tapi setidaknya sudah bertemu.
KISAH DALAM NOVELÂ
Pembuka di atas sengaja saya buat, karena saya penasaran untuk bertemu dengan istri sahabat saya ini, yang menurut saya telah banyak mengubah dirinya. Termasuk dalam hal ini, menjadi romantis, di tengah kegarangan sikapnya terhadap ketidak-adilan dan semangat membara membangun perubahan yang lebih baik bagi kehidupan.
Novel yang saya kisahkan di atas, yang menurut sahabat saya dipersembahkan untuk istrinya, keyakinan saya sesungguhnya berkisah tentang mereka pula yang sama-sama bekerja di satu NGO internasional di Sumba Barat, untuk isu anak-anak dari kelompok masyarakat adat di sana. Â Sahabat saya ini, Bagus Yaugo Wicaksono Namanya, hanya tersenyum saja saat diungkapkan hal itu.
"Membela Anak Bumi Marapu" itulah judul novelnya. Berdasarkan judulnya saja, sangat mudah bagi kita untuk mengetahui latar/setting-nya. Marapu, adalah agama lokal yang banyak dianut oleh masyarakat Sumba, yang hingga saat ini masih bertahan. Anak, bisa bermakna ganda. Anak dalam artian seluruh masyarakat yang berada di Sumba, atau anak dalam pengertian seseorang yang belum memasuki usia dewasa. Dalam konteks novel ini, anak yang dimaksud adalah anak dalam pengertian berdasarkan usia. Jadi, ini adalah kisah upaya membela kepentingan anak-anak di bumi Marapu di Pulau Sumba. Membela dari (masalah) apa dan bagaimana? Â Itu pertanyaan yang mengemuka dalam kepala.
Novel ini mengisahkan tentang dua anak muda yang gelisah dengan latar belakang yang berbeda. Fatia, perempuan muda yang energik dari lulusan sebuah perguruan tinggi terkemuka, bekerja di sebuah perusahaan yang memiliki prestise bagus, namun tidak merasakan kepuasan dan kebahagiaan, lalu memilih untuk bekerja di daerah terpencil. Lalu, Farid, yang hatinya tengah hancur akibat putusnya hubungan dengan seorang perempuan, dengan niat melarikan diri dari situasinya untuk pergi sejauh mungkin, sampai merasakan ketenangan batin. Keduanya bekerja di satu Lembaga internasional yang memiliki kantor program di Sumba. Lembaga yang bekerja pada isu pemenuhan hak dan perlindungan anak.
Fatia hadir lebih awal, disusul Farid tujuh bulan kemudian. Kedua orang muda ini, bersama personil lembaga yang juga masih muda: Debi, dan Selwin, memiliki obsesi tentang perubahan social dan idealisme yang kuat. Secara informal mereka sering berdiskusi tentang pengalaman di lapangan, yang kemudian dijadikan sebagai agenda rutin, dan orang yang berminat semakin meluas. Pergulatan dengan anak dan masyarakat, menjadi tema utama. Informasi, hasil pengamatan, data yang diperoleh, dijadikan sebagai bahan dasar untuk mengidentifikasi berbagai persoalan, mengkodifikasi, menganalisis dan  mengembangkan strategi dan taktik bagi terciptanya perubahan sosial yang bermakna.
Perubahan sosial haruslah berbasis pada situasi sosial dan budaya masyarakat setempat. Mereka berhati-hati saat mengkaji nilai-nilai, adat-istiadat budaya dan agama lokal yang dianut, agar tidak terjebak pada pandangan umum dari luar, seperti bahwa kemiskinan yang diderita lantaran upacara-upacara adat yang memerlukan biaya tinggi, sehingga mengakibatkan misalnya pengabaian pada upaya menjaga keberlangsungan Pendidikan formal anak. Kesimpulan mereka, semua diakibatkan oleh masalah struktural. Karenanya, tawaran perjuangan adalah pemenuhan hak anak adat berbasiskan pada  nilai-nilai setempat. Gerakan yang bergulir dan mendapatkan respon positif dari berbagai kelompok masyarakat adat.
Gerakan ini mendapatkan reaksi dari pemerintah yang gusar atas gerakan tersebut. Pemerintah mulai melakukan tekanan terhadap lembaga internasional yang menaungi kaum muda tersebut. Di dalam situasi tersebut, terjadi intrik untuk melemahkan gerakan dengan mendiskreditkan Fatia dan Farid yang memiliki hubungan khusus yang dinilai meresahkan para pekerja lainnya. Hal ini dilaporkan ke kantor pusat tanpa sepengetahuan manager dan kepala kantor. Farid dan Fatia mendapatkan teguran, yang kemudian mendorong Farid untuk mengajukan surat pengunduran diri dari lembaga tersebut, dengan komitmen tetap bekerja secara mandiri Bersama organisasi adat, sampai satu titik tertentu dia akan Kembali ke Jakarta.
Tentang dua pertanyaan di atas, maka kita dapat menyatakan bahwa tema dari novel ini adalah membela hak-hak anak dari masyarakat adat, dan upaya yang dilakukan adalah memperjuangkan pemenuhan hak dan perlindungan anak yang tetap berpijak pada budaya setempat. Sederhana untuk dituliskan, sangat kompleks dan penuh tantangan di dalam kenyataannya.
BERANJAK DARI REALITAS, BERPIKIR DAN BERTINDAKÂ
Novel ini mencerminkan realitas yang terjadi di salah satu kelompok masyarakat adat yang memiliki keyakinan/agama lokal di Sumba, yakni Marapu. Kendati sudah ada beberapa novel yang berpijak pada persoalan adat istiadat, kecenderungannya adalah melakukan perlawanan karena dinilai sudah tidak sesuai dengan zaman yang terus bergerak. Dengan kata lain, adat-istiadat tersebut dipertentangkan dengan dunia modern. Novel ini berkebalikan, melihat dari kepentingan kelompok masyarakat adat sendiri yang selama ini banyak terabaikan, terstigma dan terdiskriminasi. Program pembangunan atau upaya pemberdayaan baik dari pemerintah ataupun dari kelompok masyarakat sipil, utamanya kalangan organisasi non pemerintah dinilai gagal dan tidak tepat sasaran, lantaran tidak berbasis pada kondisi sosial-budaya masyarakat adat sendiri. Semua cenderung memasukkan (atau bahkan memaksakan) pemikiran dan nilai-nilai dari luar.
Kaum muda yang ditampilkan dalam novel ini, Â dengan latar belakang pendidikan yang memadai, berupa mengenali, memahami dan mendalami sendi-sendi kehidupan masyarakat adat, utamanya yang menjadi fokus adalah nilai-nilai, ajaran, ataupun pandangan terhadap anak. Pengamatan, informasi dari dialog-dialog dengan anak dan masyarakat serta bahan bacaan, Â atas kehidupan sehari-hari tentang konstruksi bangunan rumah, penampilan anak lelaki, pembagian kerja antara anak laki-laki dan perempuan serta peranan mereka di dalam upacara-upacara adat, tatanan kehidupan dan hukum adat yang berlaku, dilihat secara menyeluruh sebagai satu kesatuan. Sebagai pembaca, kita tidak diperlihatkan situasi yang hitam-putih, melainkan dinamika kehidupan yang kompleks.
Kaum muda, yang sebagian besar bukan berasal dari Sumba, dengan referensi kehidupan modern, berusaha keras untuk tidak terjebak dalam stereotype terhadap kelompok masyarakat adat yang cenderung buruk. Farid, lulusan paska sarjana ilmu politik, berpijak pada pemikiran dan pandangan tentang Hak Asasi Manusia secara umum dan Hak Anak secara khusus. Ketentuan tentang kelompok masyarakat adat, atau anak dari masyarakat adat yang merupakan salah satu yang diidentifikasi sebagai  kelompok anak yang membutuhkan perlindungan khusus, menjadi perhatian dan titik pijak di dalam upaya mengembangkan perubahan sosial yang bermakna bagi anak dan masyarakat sendiri.  Â
Seperti kita ketahui, kelompok masyarakat adat, selama ini senantiasa menjadi korban pembangunan, terstigma, terdiskriminasi, dan termarjinalisasi. Farid, tokoh utama dalam novel ini, menggugat proses pembangunan, utamanya akses dan konten Pendidikan serta layanan sosial lainnya yang tidak menyentuh secara subtansi bagi kehidupan masyarakat Sumba. Ia meletakkan berbagai sendi kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai kebijaksanaan lokal yang patut dijaga dan dikembangkan.Â
Budaya, adat-istiadat harus ditempatkan sebagai elan masyarakat yang berkembang seiring perubahan zaman, tidak dijadikan semata sebagai artefak yang sekedar dilestarikan dan menjadi beku. Pembangunan bagi mereka, bukan menjadikan mereka sebagai orang asing di tanah mereka sendiri. Jadi, dalam novel ini, dengan menggunakan kerangka universal, mendorong perubahan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai atau budaya yang ada dalam masyarakat tersebut. Dan ini sebuah perjuangan berat lantaran model pembangunan -- yang walaupun sejak reformasi telah mengalami perubahan dibanding rejim sebelumnya - Â tetap saja terpusat dan menyama ratakan program di seluruh wilayah.
Organisasi non pemerintah (Ornop), selama ini dikenal memiliki kekuatan bekerja di tingkat akar rumput. Para aktivisnya berjiwa idealis, semangat dan memiliki obsesi perubahan dengan kerja keras yang tak jarang tidak mengenal waktu/jam kerja, belajar dan bekerja bersama masyarakat mewujudkan perubahan bersama. Kedekatan dengan akar rumput, mengenali dan memahami, tidak berperan sebagai hero yang tahu segala-galanya dan bisa melakukan apa-apa, cenderung memfasilitasi, sehingga rencana-rencana pembangunan berpijak pada realitas sesungguhnya. Itu gambaran Gerakan Ornop pada masa silam. Masihkah tetap dengan kekuatan tersebut? Â Atau telah mengalami perubahan, tergerus atau terseret dalam pusaran berbeda yang sesungguhnya menghilangkan kekuatan/posisi Ornop sendiri?
Pada novel tersebut, saat gerakan orang muda ini yang berhasil meyakinkan berbagai kelompok masyarakat adat untuk memperjuangkan hak-hak anak masyarakat adat yang berpijak pada nilai dan ajaran mereka sendiri, mendapatkan reaksi kemarahan aparat pemerintah yang kemudian melakukan tekanan kepada pimpinan Ornop, - di luar intrik internal yang juga terjadi - Â keputusan lembaga adalah menghindari konfrontatif dengan pemerintah, yang berarti mengalahkan kepentingan berbagai kelompok masyarakat adat yang mulai terorganisir.Â
Sebagai kisah perjuangan kaum muda untuk mewujudkan idealismenya, karakter-karakter yang dimunculkan atas tokoh-tokohnya, tidak hitam putih. Para tokoh ditampilkan sempurna sebagai manusia atas ketidaksempurnaannya. Tokoh Farid, misalnya, ditampilkan, walau tidak vulgar, sebagai sosok yang kerap mengkonsumsi minuman keras sebagai pelarian dari persoalan pribadi, namun tidak terjebak di dalam "dunia lain"nya, karena saat bekerja ia fokus pada hal apa yang harus dilakukan, termasuk mewujudkan obsesi perjuangannya.Â
Atau Fatia yang ditampilkan sebagai perempuan muda energik, cerdas, pekerja keras, dan sosok yang berani, toh tetap manusiawi saat ia merasa kesal memotret pemandangan yang gagal tertangkap dengan baik sehingga ia mengeluhkan tidak ada bahan untuk mengupdate akun media sosialnya. Kisah cinta yang terbangun antara Farid dan Fatia, kita hanya dapat menangkap dari dialog-dialog yang membahas tentang teguran dari kantor pusat. Tidak ada bagian yang menampilkan, misalnya kencan, rayuan, ataupun pernyataan cinta. Pun akhir kisah mereka juga menggantung...
Memang, sebuah karya fiksi tidak berangkat dari ruang kosong. Posisi pengarang turut menentukan isi dan arah sebuah novel yang berupa perenungan atau refleksi, perlawanan terhadap sesuatu, gagasan tentang perubahan kehidupan dan sebagainya. Demikian halnya dengan bagus Yaugo Wicaksono, pengarang novel ini, di mana kehidupannya juga berada dalam Gerakan Organisasi Non Pemerintah, setidaknya sejak tahun 2006.
Pengalaman saya puluhan tahun bergerak pada isu anak, membaca novel ini memberikan pencerahan, sekaligus membangkitkan harapan tentang strategi dan Langkah-langkah yang dapat dilakukan terutama dalam upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak tanpa mengabaikan realitas sesungguhnya dan tetap berpijak pada akar budaya dan kekuatan masyarakat setempat. Juga keyakinan terhadap kaum muda yang memiliki potensi tinggi sebagai aktivis Organisasi Non Pemerintah yang tetap memiliki idealism dan semangat kerja keras bagi perubahan kaum miskin/marjinal.
Ada beberapa catatan yang menurut saya penting, setelah membaca novel karya Bagus ini, setidaknya dalam posisi saya sebagai orang yang aktif di dalam Ornop;
- Kepekaan: Melalui tokoh-tokohnya telah menunjukkan kepekaan mereka terhadap sendi-sendi kehidupan yang dilihatnya. Ini tergambarkan dari tokoh Farid misalnya dalam tiga peristiwa yang menunjukkan kebiasaan masyarakat Sumba memakai celana pendek dan membawa parang; tokoh Farid saat berinteraksi dengan anak yang menjual kelapa,
- Keingintahuan: keingintahuan sang tokoh untuk mengenali dan memahami nilai-nilai, ajaran dan upacara-upcara adat, dilakukan melalui dialog-dialog dengan beragam orang tanpa membatasi status sosial orang tersebut, menyaksikan atau hadir dalam peristiwa yang dimaksud. Sikap demikian akan memperkaya pemahaman dan penghayatan yang mendalam dibandingkan hanya mengandalkan pada bahan-bahan bacaan.
- Dokumentasi: Dokumentasi keseluruhan proses (yang dilandari dua point di atas, selain kegiatan-kegiatan yang sengaja dirancang) menjadi bagian penting. Ini dtunjukkan oleh tokoh Farid yang terbiasa membuat catatan harian. Pada tokoh lain, misalnya ditampilkan saat pertemuan lembaga yang kemudian memutuskan menolak gagasan/rencana kaum muda tersebut, tokoh Fatia menyatakan berdasarkan hasil pengamatan dan interaksinya selama tiga tahun, saat ditanya mana dokumennya, harus menyerah lantaran itu masih tersebar dari catatan-catatan lepas dan ingatan. Â Â
Ketiga catatan tersebut, menjadi bahan dasar untuk menyusun analisis situasi dan memudahkan penyusunan strategi dan langkah-langkah yang akan dijalankan bagi terciptanya perubahan yang lebih baik dalam kacamata masyarakat sendiri.
PENUTUP
Novel ini kental menampilkan realitas kehidupan masyarakat Marapu. Tokoh Farid, sepertinya menampilkan sosok penulisnya sendiri. Pilihan nama Farid, saya menduga juga sebagai bentuk penghormatan terhadap sahabat, senior dan guru yang telah menempa Bagus Yaugo Wicaksono saat mengawali masuk dunia Organisasi Non Pemerintah, yakni: (Almarhum) Mohammad Farid, seorang aktivis penting yang aktif mempromosikan hak-hak anak dan pernah menjadi anggota KOMNAS HAM. Nama itu pula yang pemikirannya dikutip dan ditampilkan dalam surat pengunduran diri ke Lembaga internasional dimana Farid bernaung.
Di luar alur penulisan yang belum sepenuhnya konsisten, terutama pada bagian tiga yang penuh dengan pemikiran-pemikiran tokoh Farid (kendati disiasati penyampaiannya sebagai presentasi Farid dalam diskusi) dapat meletihkan sang pembaca, apalagi yang belum pernah bersentuhan dengan isu hak HAM/Hak anak, secara umum, Bagus telah berhasil menyusun sebuah kisah yang padat dengan kompleksitas persoalan, melalui rangkaian-rangkaian yang mengalir lancar. Â Â
Tapi, dalam kesempatan ini, saya sampaikan rasa Bahagia atas pernikahan Farid dan Fatia... Eh, maaf, salah... Bung Bagus dan Mbak Icha..! Hal mana novel yang dipersembahkan oleh Bagus Yaugo Wicaksono untuk anak-anak di Bumi Marapu Sumba Barat ini, juga diperuntukkan kepada sang istri, sebagai hadiah pernikahan mereka.. Selamat dan doa kebahagiaan yang langgeng hidup dalam susah dan senang.
Selamat Bung Bagus Yaugo Wicaksono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H