Mohon tunggu...
deni karsana
deni karsana Mohon Tunggu... Editor - Peneliti yang berminat dibidang bahasa dan sastra, bekerja di Badan Riset dan Inovasi Nasional

Peneliti (ASN di BRIN)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membersamai Literasi dalam Pendidikan

7 Mei 2022   14:26 Diperbarui: 7 Mei 2022   14:32 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN

Literasi merupakan seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Istilah literasi sudah mulai digunakan dalam skala yang lebih luas tetapi tetap merujuk pada kemampuan atau kompetensi dasar literasi, yakni kemampuan membaca serta menulis. Intinya, hal yang paling penting dari istilah literasi adalah bebas buta aksara supaya bisa memahami semua konsep secara fungsional, sedangkan cara untuk mendapatkan kemampuan literasi ini adalah dengan melalui pendidikan.             Literasi ini begitu penting di dalam kehidupan manusia terlebih manusia-manusia yang hidup di zaman yang diwarnai kecanggihan teknologi saat ini. Literasi ini sangat diperlukan dalam segala lini kehidupan manusia karena kemampuan literasi ini bisa menjadi kunci manusia untuk berproses menjadi manusia yang lebih berpengetahuan dan berperadaban.   

Tak dipungkiri bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dalam literasi. Menghadapi perubahan dunia, perlu upaya. Agar sanggup unggul dalam partisipasi dan kiprah di tengah globalisasi dan regionalisasi pada abad ke-21, pada pendidikan nasional kita perlu berfokus atau berporos pada tiga hal pokok, yaitu literasi dasar, kompetensi, dan kualitas karakater. Literasi dasar yang perlu dijadikan poros pendidikan kita adalah (1) literasi baca-tulis, (2) literasi numerasi, (3) literasi sains, (4) literasi digital, (5) literasi finansial, serta (6) literasi budaya dan kewargaan. Kemudian kompetensi yang perlu menjadi fokus pendidikan kita meliputi berpikir kritis untuk memecahkan masalah, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi. Selanjutnya, karakter utama yang perlu menjadi poros pendidikan kita meliputi karakter yang religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.

Literasi memperkuat kemampuan individu, keluarga, dan masyarakat untuk mengakses kesehatan, pendidikan, serta ekonomi dan politik. Dalam konteks kekinian, literasi melingkupi ilmu pengetahuan dan teknologi, keuangan, budaya dan kewargaan, kekritisan pikiran, dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia harus menguasai literasi yang dibutuhkan untuk dijadikan bekal mencapai dan menjalani kehidupan yang berkualitas, baik masa kini maupun masa yang akan datang.

Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud telah berupaya keras  untuk meningkatkan dan memajukan rakyat Indonesia dengan mewujudkan suatu gerakan literasi. Gerakan literasi ini diupayakan tidak hanya di sekolah, tetapi juga di keluarga dan masyarakat. Berbagai cara untuk menjadikan literasi sebagai suatu budaya agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju tidak hanya bercokol pada kedudukan sebagai negara berkembang. Pengetahuan yang diperoleh melalui membaca dan menulis yang bermanfaat bagi setiap individu dan kemajuan bangsa.

Perkembangan teknologi yang begitu pesat di era Revolusi Industri 4.0 memerlukan tambahan penguasaan literasi, yakni literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Literasi baru di era Revolusi Industri 4.0 ini mendorong implementasi untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat (lifelong learner), agar mampu beradaptasi dan berkembang dengan baik dalam menghadapi tantangan global di era Revolusi Industri 4.0 dan era selanjutnya.

PEMBAHASAN

Saat ini sedang pada Revolusi Industri 4.0, di mana dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kualitas literasi yang tinggi. Apakah kita sudah siap? Selama ini kebanyakan dari kita hanya memaknai literasi sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis saja. Sebenarnya literasi merupakan sebuah konsep yang memiliki makna kompleks dan dinamis yang terus didefinisikan secara beragam dari sudut pandang yang berbeda-beda. Makna literasi saat ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan beberapa waktu silam. Seperti yang dinyatakan oleh The International Reading Association (IRA) bahwa literasi yang digunakan oleh pemelajar saat ini jauh berbeda dari yang digunakan oleh orang tua mereka, bahkan dari pemelajar sebelum mereka.

Kita harus membenahi diri guna meningkatkan kualitas literasi menjadi lebih tinggi hingga bisa sejajar dengan negara-negara maju di dunia. Jika kita kembali melihat data-data yang ada tentang kualitas literasi kita tersebut  maka tentu saja kita akan akan timbul beberapa pertanyaan, seperti: Apa yang terjadi pada masyarakat Indonesia terkait dengan literasi? Mengapa kita tertinggal jauh dari negara-negara lainnya? Usaha apa yang harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan kita? Makna literasi yang sesuai dengan abad ke 21 dan dalam menghadapi era Revolusi Industri 4.0 adalah kemampuan menggunakan teknologi untuk mengumpulkan dan mengomunikasikan informasi (Pilgrim dan Martinez, 2013:60).

The Program for International Student Assessment (PISA) mendefinisikan literasi sebagai kapasitas seseorang untuk mengerti, menggunakan, dan merefleksi teks berupa tulisan, guna mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan dan potensi seseorang dan untuk dapat berpartisipasi di dalam masyarakat. Dengan dua pengertian tersebut, sangat jelas bahwa literasi sendiri sudah tidak didefinisikan terbatas hanya pada kemampuan untuk membaca dan menulis saja.

Literasi dan Keluarga

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan tingkat literasi kita tertinggal jauh dari negara-negara maju di  dunia. Salah satu diantaranya dan yang paling mendasar adalah kegiatan membaca belum menjadi kebiasaan yang seharusnya sudah ditanamkan sejak sedini mungkin. Faktor ini merupakan faktor yang paling mendasar dan juga terpenting. Kegiatan literasi harus di mulai dari lingkungan terkecil.

Lingkungan keluarga dimana anak dari sedini mungkin mengenal literasi.Orang tua memegang peranan yang sangat penting karena berperan sebagai role model. Memberikan contoh dengan melakukan kegiatan membaca sebagai kebiasaan yang dilakukan terus-menerus. Namun inilah yang menjadi PR kita bersama.Tidak semua keluarga dapat menjadi lingkungan pertama untuk menumbuhkan sekaligus meningkatkan budaya literasi.

Orangtua, terutama ibu, sebenarnya sudah dituntut untuk menanamkan budaya literasi terhadap anak-anaknya. Sejak hamil, ibu mendengarkan bayi dalam kandungan dengan lagu-lagu (klasik atau instrumen) atau kalam ilahi (surat dalam Alquran, seperti: Surat Yusuf dan Maryam). Mendongengkan atau membaca cerita sewaktu anak mau tidur.

Kemajuan zaman, terutama perkembangan digital, membuat orangtua pun harus berubah. Penggunaan tablet atau gawai menjadi hal yang lumrah saat ini. Perangkat digital perlu dimaksimalkan untuk literasi. Pemberian alat digital, yakni gawai terhadap anak perlu juga diawasi. Dunia digital tidak selamanya berisikan informasi yang baik, terkadang informasi negatif pun hadir.  Penggunaan  internet (perlu internet positif)  dan media sosial (seperti; program WhatsApp, instagram, twitter,  dan lain-lain) perlu pengingatan dan pengawasan dari orang tua.  Pentingnya menyaring berita yang masuk dalam media sosial, terutama berita hoaks. Berita yang belum tentu kebenarannya. Perlunya cek dan ricek sebuah berita.

Literasi dan Sekolah

 Setelah lingkungan keluarga, yang berikutnya adalah lingkungan sekolah. Literasi dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kita menyadari bahwa ketersediaan fasilitas pendidikan di Indonesia belum merata. Masih banyak daerah di Indonesia yang sarana dan prasana sekolahnya masih sangat minim dalam hal kualitas dan juga kuantitas. Seperti gedung sekolah yang belum layak, tidak tersedianya perpustakaan sekolah, kurangnya buku pelajaran, bahkan kurangnya tenaga pengajar.Tentu saja hal-hal ini yang menyebabkan terhambatnya peningkatan kualitas literasi di Indonesia di samping beberapa hal lainnya.

Perkembangan dan percepatan gerakan literasi di Indonesia dilakukan untuk menumbuhkan generasi unggul serta membanggakan bagi bangsa dan negara. Hal ini didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 21 tahun 2015 tentang Pembentukan Generasi Muda Cerdas, Amanah, Pintar, dan Berilmu.

Perkembangan teknologi informasi memungkinkan pembelajaran literasi menggunakan media digital menjadi semakin beragam. Jika dulu guru  dan siswa menggunakan  media seperti televis, VCD, dan power point untuk mendukung proses pembelajaran, kini  media itu diperluas dengan penggunaan internet, seperti: Youtube, Facebook, dan Instagram. Guru dapat memanfaatkan media digital itu menyampakian materi pelajaran dengan  menarik da interaktif. Sebaliknya, siswa menikmati pelajaran dengan tampilan atraktif yang dipadu dengan suara dan animasi yang dapat melambungkan imajinasi (Antoro, 2019:60).

Saat ini, kegiatan belajar di sekolah tidak terlepas dari dunia digital, terlebih hadirnya masa pandemi Covid-19  yang mendunia, mau tidak mau berhadapan dengan teknologi digital. Dengan demikian perlu melek literasi digital.  Literasi digital merupakan suatu keterampilan hidup yang tidak hanya melibatkan keterampilan menggunakan perangkat teknologi, informasi tetapi juga keterampilan individu untuk bersosialisasi, dan memiliki sikap berpikir kritis, sebagai salah satu kompetensi digital. Literasi digital akan menciptakan masyarakat yang kritis dan kreatif. Mereka tidak akan menjadi korban hoaks dan kehidupan sosial budaya masyarakat menjadi aman.

Dalam menanamkan literasi digital dalam sekolah, siswa harus ada peningkatan keterampilan, guru perlu adanya peningkatan pengetahuan serta kreativitasnya dalam proses pembelajaran literasi digital, serta kepala sekolah harus memberikan fasilitas warga sekolah dalam mengembangkan literasi digital sekolah. Puspito (2017) Gerakan literasi digital sekolah sekarang sudah mulai berubah dari literasi baca tulis secara manual dengan penggunaan media cetak beralih ke media digital yang biasa disebut literasi digital. Contohnya para guru menyediakan grup whatsapp untuk berdiskusi mengenai pelajaran disekolah, perpustakaan menyediakan digital library yang mendukung siswa untuk membaca buku secara digital.

Gerakan literasi digital tidak hanya kemampuan dalam penggunaan internet dalam rangka mencari hiburan atau informasi. Literasi digital merupakan salah satu alat agar dapat membentuk keterampilan siswa dalam berfikir kritis, analitis, dan kreatif. Implementasi literasi digital dalam sekolah merupakan suatu hal yang penting, agar semua orang dapat mencapai kesadaran untuk indikasi kemajuan bangsa.

Literasi digital menjadi pedoman untuk menunjang pembelajaran dengan media digital. Dengan sumber digital siswa tidak hanya dapat berfokus pada pemahaman materi tetapi mereka juga bisa berpikir kreatif dalam memanfaatkan teknologi. Untuk itu, literasi digital diperlukan dalam pengembangan cara berpikir kritis siswa.

Literasi dan Masyarakat

Pemerintah Indonesia sendiri sejak lama sudah melakukan berbagai usaha guna meningkatkan kualitas literasi masyarakat Indonesia.Salah satunya yaitu dengan menetapkan tanggal 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional. Penetapan ini sudah berlangsung sejak tahun 2002 oleh Menteri Pendidikan yang saat itu diemban oleh Abdul Malik Fadjar. Tujuan ditetapkannya Hari Buku Nasional adalah untuk memberantas buta huruf serta memunculkan gaya hidup membaca buku di kalangan masyarakat Indonesia. Hari Buku Nasional sangat erat kaitannya dengan minat membaca. Jadi sebetulnya istilah literasi sendiri bukanlah hal yang baru bagi kita semua.Sudah lama ada usaha dari pemerintah untuk memunculkan minat baca masyarakat Indonesia.

Gerakan Literasi Masyarakat adalah program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menjadi bagian dari Gerakan Literasi Nasional. Gerakan Literasi Masyarakat ini dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Ditjen PAUD Dikmas) sebagai tindak lanjut dari program pemberantasan buta aksara yang mendapatkan penghargaan UNESCO pada tahun 2012. Setelah itu, Kemendikbud meluncurkan program Gerakan Indonesia Membaca (GIM) pada tahun 2015.

Berdasarkan UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 26 ayat (4), disebutkan bahwa satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Program Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dimulai sejak tahun 1992/1993. Kehadirannya merupakan pembaharuan dari Taman Pustaka Rakyat (TPR) yang didirikan oleh Pendidikan Masyarakat pada tahun 1950-an. Program TBM ini bertujuan untuk meningkatkan minat baca dan budaya baca masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan TBM sangat penting sebagai sarana belajar masyarakat.

TBM merupakan sebuah lembaga yang menyediakan bahan bacaan yang dibutuhkan oleh masyarakat sebagai tempat penyelenggaraan pembinaan kemampuan membaca dan belajar. Selain itu, TBM juga merupakan tempat yang digunakan untuk mendapatkan informasi bagi masyarakat, khususnya yang bersumber dari bahan pustaka. Bahan pustaka itu sendiri merupakan semua jenis bahan bacaan dalam berbagai bentuk media.

TBM sebagai sumber informasi sangat berperan penting dalam menciptakan masyarakat yang literasi karena berfungsi sebagai sumber informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Selanjutnya, sebuah TBM hendaknya mampu menarik minat masyarakat agar mau datang ke TBM tersebut dengan berbagai cara dan pendekatan, hal ini tentu saja sangat membantu dalam mengubah masyarakat di sekitar TBM menjadi masyarakat yang melek informasi atau yang biasa disebut masyarakat literasi informasi.

Literasi dan BIPA

Bahasa Indonesia telah diajarkan kepada orang asing, baik di dalam maupun di luar negeri. Sampai saat ini tercatat tidak kurang dari 45 lembaga yang telah mengajarkan bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) melalui kursus atau lembaga bahasa dan perguruan tinggi.

Selanjutnya, untuk di luar negeri, pengajaran BIPA telah dilakukan oleh 36 negara di dunia dengan jumlah lembaga bahasa terdiri dari 130 lembaga, terdiri dari perguruan tinggi, pusat kebudayaan asing, KBRI, dan lembaga kursus. Adapun pengelolaan lembaga-lembaga pengajaran BIPA tersebut dipayungi oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang bertanggung jawab untuk membina, mengembangkan serta memfasilitasi lembaga-lembaga dimaksud sesuai dengan ciri dan  karakteristiknya masing-masing.Program tersebut ditujukan agar pengajaran BIPA dapat terus tumbuh dan berkembang sehingga bermuara pada bahasa Indonesia menjadi bahasa pergaulan antarbangsa dan antarnegara. Tujuan tersebut merupakan pengejawantahan dari visi BIPA, yaitu terlaksananya Pengajaran BIPA yang mampu meningkatkan citra Indonesia yang positif di dunia internasional dalam rangka menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa perhubungan luas pada tingkat antarbangsa (Adryansyah, 2012).

Sejak digagasnya program internasionalisasi penggunaan bahasa Indonesia yang disambut baik oleh pemerintah, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan (PPSDK), sekarang Pustanda, mengeluarkan kebijakan untuk mengadakan program pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di berbagai negara. Dalam hal ini, pengajar dalam program BIPA dituntut untuk mampu menyusun perangkat pembelajaran melalui tahapan yang sistematis.

Persebaran pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) yang dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan bahasa kini telah menjangkau  47 negara dengan lebih dari 142000 pemelajar aktif yang difasilitasi 328 lembaga pemerintah ataupun mandiri. Jumlah in belum termasuk alumni pemelajar BIPA da penerima beasiswa RI, baik melalui  kemendikbudristek, Kemenlu, maupun lembaga lainnya (Aziz, 2022).

Tak dipungkiri bahwa banyak orang asing yang tertarik untuk mempelajari bahasa Indonesia untuk mencapai berbagai tujuan, baik tujuan pendidikan, sosial, politik,ekonomi dan bisnis, seni budaya maupun pariwisata. Berkaitan dengan tujuan pembelajaran BIPA yang beraneka ragam tersebut, muaranya adalah kemampuan komunikasi dalam bahasa kedua, yaitu bahasa Indonesia oleh para pemelajar.

Selain itu, pembelajar juga diharapkan dapat memahami kekayaan budaya Indonesia. Untuk itu, dalam pembelajaran BIPA, pengajar diharapkan memiliki daya literasi yang tinggi terhadap seluk-beluk bahasa dan budaya Indonesia sehingga dapat menginternalisasikan kepada pemelajar BIPA, baik yang dilaksanakan di dalam maupun luar negeri.

Hal yang menjadi fokus utama adalah membekali pengetahuan dan pengalaman kebahasaan bagi pemelajar dengan memaksimalkan potensi diri dari tiap individu. Pengetahuan – pengetahuan diserap dari berbagai sumber, cetak atau data elektronik, manual atau digital, sebagai efek dari revolusi industri terkini yang turut berpengaruh pada digitalisasi pembelajaran BIPA.

Menurut  Surandhani  (2017) dalam Anggaira (2019), untuk dapat memfasilitasi para pemelajar BIPA dalam memaksimalkan potensi diri dalam menghadapi digitalisasi literasi atau literasi baru, dibutuhkan seorang pengajar BIPA yang mumpuni (berkompeten) di bidangnya. Oleh karena itu, seorang pengajar dalam bidang BIPA yang profesional para pengajar BIPA dituntut: (1) menguasai pemahaman bahasa Indonesia yang baik, (2) menguasai bahasa Inggris/bahasa asing lainnya, (3) memiliki pengetahuan mengenai seni dan budaya Indonesia, (4) menguasai berbagai model, metode dan teknis pengajaran Bahasa Indonesia pada umumnya dan BIPA pada khususnya, (5) terampil dalam menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berbasis alat elektronik/digital dan berbagai sumber media pembelajaran lainnya, (6) mengenal dan mengetahui budaya pembelajar asing, (7) mampu memadukan kegiatan BIPA dengan pemahaman silang lintas budaya (Cross Cultural Understanding), (8)memiliki kemauan yang kuat untuk terus menggali dan memperbaharui pengetahuan ke-BIPAan melalui serangkaian pelatihan danpenelitian, (9) tergabung dalam organisasi pengajar BIPA profesional, dan (10) selalu terbuka pada wawasan terbarukan yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya yang terus bergerak secara dinamis mengikuti arus perkembangan zaman.

Terkait dengan digitalisasi daya literasi, pengajar BIPA dapat mengoptimalkan pada penggunaan teknologi informasi dan komunikasi berbasis digital dan membuka diri terhadap wawasan baru-terbarukan mengenai ilmu pengetahuan, teknologi, seni-budaya, dan bergerak dinamis mengikuti arus modernisasi dan globalisasi.

Penutup

Upaya membersamai literasi dalam pendidikan pada berbagai lini adalah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu upaya kerja keras semua pihak yang terlibat. Literasi yang dilaksanakan baik pada lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat maupun BIPA perlu terus menerus ditingkatkan, terlebih menghadapi perubahan zaman, yakni adanya revolusi industri, yang serba digital saat ini. Peningkatan diri dengan cara beradaptasi, mau mengembangkan diri dan berinovasi pada pelaku atau penggiat, seperti: orangtua, guru, kepala sekolah, dosen, mahasiswa, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, dan penggiat literasi (aktivis sosial) dalam dunia literasi.

Daftar Pustaka

Adryansyah.(2012). "Profil BIPA Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa".Artikel (daring), 06/25/2012, diunduh pada Desember 2018.

Antoro, Bily. 2019. Modul Literasi Baca-Tulis di Sekolah. Jakarta: Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud.

Azis, E Aminudin.  “Bahasa Indonesia di Panggung Dunia” dalam harian Kompas, 20 April 2022. Jakarta.

Kemendikbud. 2017. Materi Pendukung  Literasi Baca Tulis. Gerakan Literasi Nasional.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.  2016. Pedoman Gerakan Literasi Nsional Literasi Bangsa. 

Anggaira, Aria Septi.  2019. “Literasi terkini dalam Pembelajaran Bipa pada Era Revolusi Digital” Dalam Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Program Pascasarjana Pendidikan Universitas PGRI Palembang.

Pilgrim, Jodi & Martinez, Elda.(2013). "Defining Literacy in the 21st Century: A Guide to Terminology and Skills". Journal Of Literacy Education, Volume 1, Issue, 1.Texas

* Tulisan ini dipresentasikan pada kegiatan Seminar  Hari Pendidikan Nasional ,  25 April 2022 di Hotel Santika Palu yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Sualwesi Tengah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun