Mohon tunggu...
Alexander Hendy
Alexander Hendy Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Art is not a mirror to hold up to society, but a hammer with which to shape it. - Leon Trotsky

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sosialisme Chile 1 : Fasisme Indonesia 0

4 Februari 2014   23:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:09 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di Indonesia, Soeharto memang lengser namun sistemnya bertahan bahkan menjadi lebih kuat. Salah satu jenderal di bawah pemerintahan Soeharto kini menjabat sebagai Presiden negara ini. Dan beberapa dekade lalu dia adalah salah satu tokoh militer terkemuka di Timor Timur yang diduduki (oleh Indonesia), saat terjadi pembantaian paling mengerikan, saat terjadi genosida di mana sekitar 30% dari penduduk lokal meninggal dunia. Ayah mertuanya yang juga jenderal sesumbar bahwa setelah kudeta di tahun 1965, mereka, militer, berhasil membunuh sekitar 3 juta orang.

Di Chile, seperti juga di Argentina, sebagian besar pemimpin militer yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan kini ada di penjara, dipermalukan dan dihina.

Tentu saja, militer Indonesia dan Chili sudah melakukan pengkhianatan tingkat tinggi dengan menjual jasa mereka kepada kekuatan asing, dan bukannya membela rakyatnya sendiri, mereka berjuang untuk uang, dan melawan perempuan-perempuan dan anak-anak bangsanya sendiri yang tidak berdaya.

Di Indonesia, banyak yang menganggap bahwa salah satu jagal paling bengis di abad ke-20, dan penguasa paling korup sepanjang masa, Jenderal Soeharto, adalah pahlawan nasional! Di Chile, Jenderal Augusto Pinochet sekarang jelas dipandang sebagai penjahat oleh sebagian besar rakyat Chile.

Di Indonesia, antara 2 dan 3 juta orang dibunuh pada tahun 1965-1966. Di Chile, jumlahnya hanya 3-4 ribu orang. Bahkan bila dibandingkan dengan jumlah penduduk masing-masing negara pada waktu itu, perbedaan jumlah orang yang dibunuh masih amat luar biasa. Namun demikian, di Chile ada ratusan buku yang ditulis tentang masalah ini, puluhan film dibuat, dan topik ini terus menerus dibahas di koran, majalah dan program televisi – semua ini adalah bagian penting dari memori nasional. Tampaknya ada konsensus bahwa tanpa semua hal diatas, tidak akan ada masa depan.

Di Indonesia, yang ada bahkan penghentian informasi secara mutlak dan tutup mulut.

Penduduk Indonesia benar-benar percaya pada propaganda yang mereka terima selama beberapa dekade. Hal ini terlihat ketika ada upaya baru untuk menghidupkan kembali topik ini, yaitu pada pemutaran film dokumenter berjudul ‘Setelah 15 Tahun’ (mengacu pada jumlah tahun sejak Soeharto lengser), hanya ditonton oleh 5 orang saja di sebuah bioskop besar di Jakarta… Dan ini terjadi pada suatu Sabtu sore.

Sabtu sore di Santiago, Chile adalah saat ketika seluruh kota bersiap-siap untuk melewatkan malam yang sangat panjang. Puluhan teater siap menawarkan berbagai jenis pertunjukan, mulai dari pertunjukan klasik sampai yang avant-garde. Klub-klub malam juga sedang mempersiapkan pentas untuk band-band paling anyar yang datang dari berbagai tempat di seluruh Amerika Latin. Musik yang bisa kita nikmati mulai dari opera dan simfoni, sampai ke balada, salsa dan cumbia. Bioskop yang tersebar di seluruh pelosok kota pun menyajikan film-film yang baru dirilis, mulai dari film-film Asia, ataupun film seni dari Amerika Latin dan Eropa.

Memang ada beberapa yang mengikuti ideologi ‘seni untuk seni’, tapi lebih banyak yang sangat politis, untuk membentuk karakter bangsa dan membicarakan isu-isu penting, termasuk masa lalu.

Obsesi yang sama terhadap segala sesuatu yang bersifat budaya dan pengetahuan ini normal buat kota-kota di ‘kerucut Selatan’, termasuk Buenos Aires, Sao Paulo dan Montevideo. Anda tahu maka anda ada. Agar dapat memahami dunia maka perlu bebas, mandiri, dan hidup. Pengetahuan sangat dihargai; bahkan sangat dihormati.

Sekitar 15 ribu kilometer ke arah Barat dari Chile, hampir tidak ada yang bisa dilakukan di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Surabaya atau Medan pada Sabtu malam. Tentu saja banyak restoran disana dan ada beberapa mulipleks yang memutar film-film Hollywood yang berkualitas rendahan. Tetapi tidak ada bioskop yang khusus memutar film seni, tidak ada panggung teater permanen (mungkin hanya menampilkan satu pertunjukan teater setiap bulannya di kota sebesar Jakarta yang mempunyai 12 juta penduduk). Memang ada juga konser-konser yang diselenggarakan oleh pusat-pusat kebudayaan Eropa tapi tidak sering, atau konser yang dikhususkan untuk para ‘elit’ di ruang-ruang pertunjukan pribadi yang tidak mudah dicapai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun