Aku melangkah pelan memasuki teras rumah Kia. Pintu rumahnya terbuka lebar. Bagaikan deja vu, aku melihat wajah Kia yang sayu menoleh ke arahku. Dia berdiri, langsung memelukku. Terasa air matanya merembes di pundakku. Akupun ikut menangis.
Pertama kali aku mendapat pelukan hangat seorang sahabat. Aku menyesal baru menemuinya hari itu. Andai aku dapat hadir di sampingnya saat mimpi buruk Kia terjadi.Â
Aku dan Denis duduk terdiam mendengarkan Kia bercerita tentang hari terakhir bersama orang tuanya. Sesekali menangis, lalu tersenyum seolah keikhlasan sudah ditunaikannya.
Mungkin tiga atau empat jam aku berada di rumah Kia, membantu menyiapkan makan siang bersama, dan merapikan barang-barang peninggalan orang tuanya. Lalu, terdengar derap langkah kaki masuk.
"Kia!" Tata datang, suaranya bergetar. Dia berpakaian casual dan hanya memakai mules.
"Kayaknya Tata baru landing." Denis berbisik padaku.
Kia diam di tempatnya berdiri, mungkin tidak sanggup melangkah. Nafasnya semakin berat, dia menangis lagi. Lebih besar dari tangisan sebelumnya. Seluruh rintihan ditumpahkan saat Tata memeluknya erat.Â
Di balik suara Kia yang sengau, aku mendengar sepasang kata 'aku menunggumu'
Kata yang tidak Kia ucapkan padaku. Aku berdiri gamang, Denis yang sedari awal di sampingku berganti posisi, mematung di hadapanku menghalangi pemandangan pilu. Pilu untuk siapa? Pilu bagi siapa?Â
Beranjak dari masa itu, satu tahun kemudian, 2021 menjadi awal baru. Awal yang memutar keadaanku 180 derajat.
Aku menyadari kapasitasku sebagai mahasiswa tingkat akhir berat sekali. Judulku baru diterima saat yang lain sudah seminar proposal. Aku terkendala oleh kurangnya bahan penelitian, dosen pembimbing yang menyebalkan dan teman-teman yang kompetitif.Â