"Eh mas, tolong tutup jendelanya!" Ujar bapak berkumis tebal, salah satu dari gerombolan yang duduk di hadapanku menyuruh lelaki itu.Â
Aku hanya berpikir karena mereka sudah paruh baya jadi rentan bila terkena angin pagi yang dingin.
"Mas, buka lagi jendelanya, sedikit aja!" Bapak berkumis kembali meminta.
"Iya." Lelaki botak tiga senti hanya mengangguk. Dia menggeser kaca seakan sangat sulit hingga salah satu tangannya mental mengenai kepalaku. Rasanya seperti ditoyor dari belakang.
"Aduh." Aku mulai tidak nyaman.
Lima detik kemudian, "Duh, gimana nih... tolong dek, tolongin. Tangan saya kejepit!" Lelaki botak tiba-tiba merintih. Matanya hampir keluar.
Bapak berkumis berteriak kepadaku, "Dek tolongin orang di sebelahmu!" Pun, dengan gerombolannya yang membuat suasana makin heboh, "Ya ampun, dek cepat tolongin daripada dia harus ke rumah sakit. Bahaya!"
Lelaki botak menunjukkan ekspresi kesakitannya makin menjadi-jadi. Dua murid perempuan yang aku bahas di awalpun terlihat ketakutan. Angkot menjadi ramai tak terkendali. Aku ikut tegang. Tapi, masih dapat mengontrol pernafasan dengan baik.
Aku yang memiliki daya pikir lelet merasa beruntung karena memiliki waktu untuk merangkai fakta demi fakta yang terjadi. Pertama, mengapa lelaki botak itu memilih duduk di sampingku, padahal masih ada kursi lain yang lowong sebelum gerombolan bapak-bapak itu naik bersamaan. Kedua, ganjil rasanya melihat bapak usia 40-an berduyun-duyun secara mendadak memenuhi kendaraan umum, mereka bisa saja membagi formasi untuk naik angkutan selanjutnya. Ketiga, bukan hanya aku yang ada di samping lelaki botak itu, tapi ada bapak-bapak lain, kenapa harus meminta bantuanku saja? Aneh.
Aku melirik satu persatu antara lelaki botak yang sedang kesakitan beserta tangannya yang 'katanya' terjepit padahal aku tahu tidak mungkin. Lalu, aku menyipit pada bapak-bapak yang tiada henti memprovokasi agar aku membantu lelaki itu. Aku dapati mereka juga memerhatikan tasku. Nah, terjawab sudah.Â
"Kalian mau ngambil tas saya? Memang kalian kira apa saja isinya?" Aku berbicara dengan jutek. Keributan langsung hilang. Aku lanjut membuka tasku dan menjejalkan isinya satu per satu kepada penumpang yang mencurigakan, "...nih, saya bawa jas hujan. Mau? Botol minum satu liter mau juga? Gak punya uang ya untuk beli? Oh, kalian butuh alat tulis untuk belajar? Pantas, di usia kalian sekarang ini masih gagal untuk mengelabui seorang anak ingusan seperti saya."