Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Hidup seperti ngopi, ngeteh, nyoklat: manisnya sama, pahitnya beda-beda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 6): Dari India ke Jawa Timur, Sribhoja (Sribhoga) yang Terlupakan

25 Agustus 2024   09:31 Diperbarui: 27 Agustus 2024   04:23 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama yang dihubungkan oleh monsieur Cœdès dengan San-bo-tsai atau San Fo-ch’i atau Shih-li-fo-shih adalah nama Sribuza atau Sarbaza (hal. 131). Dan, beliau menghubungkan nama ini langsung dengan Sriwijaya (hal. 320) tanpa menghubungkan nama ini dengan Sribhoga (Sribhoja).

Sedikit catatan, dalam penyebutannya, Sribuza atau Sarbaza sebetulnya memiliki “konteks” yang berbeda dengan Sribhoga – walau belum tentu keduanya merupakan nama yang berbeda. Sribhoga yang disebutkan oleh sensei Takakusu adalah nama yang didapatkan dari catatan biksu I-tsing (Yijing) yang ditulis pada abad ke-7, sedangkan nama Sarbaza atau Sribuza didapatkan dari catatan para pelaut Arab-Persia (Arabo-Persians) pada abad ke-10 (meester Groeneveldt menyebut abad ke-9, hal. 62). Karenanya, ada jeda sekitar 3 abad di mana dua nama ini disebutkan.

Di dalam buku Chau Ju-kua: on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries (1911) yang diterjemahkan dari buku Chu-fan-chi karya bapak Chau Ju-kua, para penerjemahnya, yaitu Herr. Friedrich Hirth dan Mr. William Woodville (WW) Rockhill, memberikan penjelasan dalam catatan kaki terkait masalah ini. 

Dasar penjelasan yang diberikan oleh Herr. Hirth dan Mr. Woodville sebetulnya masih sama dengan keterangan yang diberikan oleh meester Groeneveldt, Takakusu sensei, dan monsieur Cœdès bahwa nama Shih-li-fo-shih (Shi-li-fo-shi) adalah nama (atau, kemungkinannya, ejaan) terdahulu dari San-fo-ch'i atau San-bo-tsai. Nama “Shi-li-fo-shi” (Shih-li-fo-shih) inilah yang ditemukan dalam catatan biksu I-tsing (Yijing).

Namun berbeda dengan monsieur Cœdès, Herr. Hirth dan Mr. Woodville tidak menghubungkan nama ini dengan “Sriwijaya”, tetapi dengan nama lain yang juga berasal dari India (Sanskerta), yaitu Sribhoja (çrī-Bhoja) dan Bhoja (Bhõja): Shih-li-fo-shih/San-fo-ts’i (San Fo-ch’i)/San-bo-tsai dihubungkan dengan nama “Sribhoja” (çrī-Bhoja), sedangkan kependekan nama-nama ini, yaitu Fo-shi/Fo-ts’i (Bo-tsai), dihubungkan dengan nama “Bhoja” (Bhõja) (hal. 63). Dan, masih menurut Herr. Hirth dan Mr. Woodville, nama “Sribhoja” inilah yang menjadi nama asli dari “Serboza” (Sarbaza atau Sribuza). Jadi, jika monsieur Cœdès menghubungkan nama Sribuza (Sarbaza/Serboza) dengan Sriwijawa, Herr. Hirth dan Mr. Woodville menghubungkan nama ini dengan nama Sribhoja.

Catatan kaki Herr. Hirth dan Mr. Woodville (Dokpri)
Catatan kaki Herr. Hirth dan Mr. Woodville (Dokpri)

Jika kita melihat ke dalam catatan kaki Herr. Hirth dan Mr. Woodville, keduanya justru menghubungkan nama-nama tersebut dengan "Minangkabau" (Menang-kabau) yang (sekarang) identik dengan wilayah Sumatera Barat. Apakah, lalu, Sriwijaya ada hubungan dengan orang-orang Minangkabau

Pada titik ini, pertanyaan ini mungkin terdengar sangat lucu, sebab dalam benak orang Indonesia Sriwijaya tidak bisa dilepaskan dari Palembang di Sumatera Selatan - mungkin sebagaimana "lucu"-nya keterangan penulis yang menyatakan bahwa: narasi sejarah "Sriwijaya" dalam catatan sejarah Cina, pada awalnya, sebetulnya selalu mengarah ke Jambi dan bukan Palembang.

Menariknya, narasi kerajaan yang dikenal dengan "Sriwijaya" dalam catatan sejarah Cina sebetulnya masih terhubung dengan orang-orang di wilayah Sumatera Barat. Karenanya, pernyataan Herr. Hirth dan Mr. Woodville sesungguhnya bukan tanpa dasar. Tetapi, untuk melihat hubungan ini, kita harus menempuh suatu metode yang teratur dan tidak semata menghubungkan secara serampangan

Hal ini disebabkan, tanpa keteraturan, maka yang terjadi hanyalah kekacauan demi kekacauan; bukannya menguraikan benang yang kusut, justru benangnya akan semakin kusut. Inilah yang sejatinya terjadi pada metode yang digunakan oleh monsieur Cœdès dalam menghubungkan antara "Sribuza" dengan "Srivijaya" (Sriwijaya) - walau mungkin bukan salah beliau, sebab menurut beliau sendiri, hubungan ini beliau dapatkan dari keterangan monsieur Jean Sauvaget.

Ada satu kelemahan kecil (yang sebetulnya cukup fatal) dalam menghubungkan antara "Sribuza" dengan "Sriwijaya", jika dibandingkan dengan menghubungkan antara "Sribuza" dengan "Sribhoga" (Sribhoja) - nama yang dihubungkan oleh Takakusu sensei dengan “Shih-li-fo-shih” pada catatan biksu  I-tsing (Yijing). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun