Satu hal lain yang butuh untuk dicermati di sini adalah penyebutan orang-orang Jambi (men of Djambi) dan Ku-kang (Palembang) yang disebutkan secara terpisah. Dalam artian, tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa orang-orang ini adalah orang-orang San-bo-tsai, yang telah berganti nama menjadi Ku-kang, yang berasal dari Jambi. Jika pada saat itu orang-orang ini masih dikenali sebagai orang-orang dari kerajaan San-bo-tsai, yang pada awalnya Palembang termasuk ke dalam wilayahnya, orang-orang ini seharusnya dikenali sebagai “orang-orang Ku-kang yang berasal dari Jambi” - dan bukan semata-mata sebagai orang Jambi. Namun, keterangan meester Groeneveldt sendiri semata menyatakan bahwa “orang-orang Jambi” ini memiliki ibu kota mereka sendiri (their own capital – hal. 76).
Ketiadaan keterangan yang menghubungkan orang-orang Jambi dengan Palembang (Ku-kang) ini, pada masa itu, sesungguhnya mengindikasikan bahwa Jambi dan Palembang, yang tadinya berada di bawah kekuasaan kerajaan yang sama, pada akhirnya terpisah dan menjadi dua wilayah yang independen (tersendiri). Hal ini disebabkan, jika Jambi saat itu masih dikenali sebagai bagian dari kerajaan San-bo-tsai (Ku-kang) yang telah berpindah ibu kota ke Palembang, orang-orang ini pasti disebutkan masih berasal dari kerajaan yang sama. Dengan alasan inilah, kemungkinan itu hadir, bahwa pada titik ini dalam penceritaan sejarah tersebut, atau katakanlah pada sekitar tahun 1618, Jambi telah sepenuhnya berpisah dari Palembang - atau sebaliknya, Palembang telah berpisah dari Jambi. Dan untuk itu, orang-orang Jambi tidak lagi dikenali sebagai orang-orang yang sama dengan orang-orang Ku-kang yang, pada titik ini dalam sejarah, telah semata diidentikkan dengan Palembang.
Entah kapan tepatnya perpisahan ini terjadi. Yang pasti, pada tahun 1405-1406, kekaisaran Cina masih berhubungan dengan orang-orang San-bo-tsai dengan mengundang pemimpin-pemimpinnya, yaitu Liang Tau-ming dan Ch’ên Tsu-i. Dan, berbeda dari kesimpulan meester Groeneveldt, keberadaan dua pemimpin di San-bo-tsai yang telah berganti nama menjadi Ku-kang ini sebenarnya tidak secara jelas menunjukkan bahwa San-bo-tsai dan Ku-kang adalah dua wilayah yang berbeda - sebagaimana yang telah dibahas pada artikel sebelumnya. Hal ini bisa jadi menunjukkan bahwa memang terdapat dua pemimpin orang-orang di Cina yang ada di San-bo-tsai: Liang Tau-ming sebagai pemimpin (master) orang-orang Cina yang dikatakan menguasai sebagian wilayah kerajaan San-bo-tsai (tidak disebutkan secara jelas di mana dan wilayah mana saja tepatnya yang beliau kuasai), sedangkan Ch’ên Tsu-i dikatakan sebagai pemimpin (chief) di Ku-kang - yang mengarah pada posisi beliau sebagai pemimpin di ibu kota pada saat itu.
Sedikit catatan, pada suatu peristiwa di tahun 1407 diceritakan bahwa Ch’ên Tsu-i berencana merampok laksamana Cheng Ho (Zheng He). Namun, aksi ini digagalkan berkat laporan dari seseorang bernama Shih Chin-ch’ing. Orang ini, lalu kemudian, diangkat menjadi pemimpin orang-orang di Ku-kang. Dalam narasi ini, terdapat keterangan yang menyatakan bahwa wilayah kepemimpinan Shih Chin-ch’ing tidaklah luas dan tidak dapat disandingkan dengan wilayah kerajaan San-bo-tsai yang lama. Namun, apakah pada masa ini ibu kota telah berpindah dari Jambi ke Palembang? Sayangnya, masih sulit untuk menentukan hal tersebut pada saat ini. Yang pasti, penceritaan ini menunjukkan bahwa Jambi dan Palembang, pada saat itu, masih berada di bawah kerajaan yang sama - yaitu kerajaan San-bo-tsai yang telah berganti nama menjadi Ku-kang.
Sekali lagi, entah kapan tepatnya perpisahan itu terjadi. Yang jelas, kita tahu bahwa disintegrasi ini telah terjadi selama lebih dari 406 tahun (2024-1618), tetapi kurang dari 617 tahun (2024-1407). Karenanya, ada jeda sekitar 211 tahun di antara kedua peristiwa tersebut (1405-1618). Dengan perhitungan ini, kemungkinannya, perpisahan (disintegrasi) Jambi dan Palembang, yang juga sekaligus menandakan runtuhnya kerajaan San-bo-tsai secara menyeluruh, terjadi selama kurun waktu tersebut. Setidaknya, kita tahu pada tahun 1618, orang-orang dari Jambi tidak lagi teridentifikasi sebagai orang-orang San-bo-tsai yang saat itu telah berganti nama menjadi Ku-kang dan beribukota di Palembang.
Dari penjelasan-penjelasan yang telah diberikan, kita dapat melihat bahwa keterangan tentang catatan sejarah Cina sebetulnya selalu mengarah ke Jambi - khususnya sebagai ibu kota lama. Dari mulai penyebutan tentang Raja Jambi, perpindahan ibu kota ke Palembang, hingga keterangan tentang orang-orang Jambi yang berdagang di Ku-kang, catatan sejarah Cina dari mulai dinasti Sung (Song; 960-279) hingga catatan Tung Hsi Yang Káu - Buku III (1618) selalu bercerita tentang Jambi. Lalu, jika pada dasarnya (ibu kota lama) kerajaan San-bo-tsai menurut catatan sejarah Cina itu sendiri selalu mengarah ke Jambi, mengapa tradisi pemahaman Cina pada akhirnya mengidentikkan San-bo-tsai (Ku-kang) semata sebagai Palembang - sebagaimana yang dinyatakan oleh meester Groeneveldt (hal. 60) dan juga sensei Takakusu (hal. xliv) dalam buku mereka?
Tiga Alasan Kesalahpahaman Letak San-bo-tsai
Ada setidaknya tiga alasan sederhana mengapa kesalahan identifikasi terkait "letak" ini terjadi. Yang pertama, harus diingat bahwa catatan-catatan sejarah dinasti-dinasti di Cina ini sebetulnya berjarak ratusan tahun jauhnya. Hal ini belum ditambah adanya "jeda" (catatan-catatan yang bisa dibilang hilang, belum ditemukan, atau belum dipelajari lebih jauh) di antara catatan-catatan yang ada. Hal ini tercermin dari pernyataan meester Groeneveldt pada catatan akhir beliau tentang kerajaan Kan-da-li; di mana nama kerajaan di pesisir timur Sumatra ini sebetulnya menghilang dalam catatan sejarah Cina dan baru ditemukan kembali pada akhir abad ke-10 dengan nama yang berbeda (hal. 62). Keadaan ini jelas mempersulit proses identifikasi yang dilakukan oleh sejarawan-sejarawan Cina.
Yang kedua, pergantian nama serta perpindahan ibu kota kerajaan San-bo-tsai, sebagaimana yang telah didemonstrasikan (ditunjukkan) dalam tulisan-tulisan ini, kemungkinan turut memperumit "proses" identifikasi yang dilakukan oleh para sejarawan Cina - yang pada akhirnya juga turut mempengaruhi para peneliti modern, seperti meester Groeneveldt, sensei Takakusu, dan monsieur Cœdès. Hal ini belum ditambah kemiripan topografi antara Jambi dan Palembang.
Keduanya, semisal, sama-sama berada di wilayah pertigaan antara Selat Malaka, Laut Tiongkok Selatan, dan Laut Jawa. Keduanya sama-sama dilalui aliran sungai-sungai terbesar (terpanjang) di Sumatra: sungai Batang Hari di Jambi dan sungai Musi di Palembang. Dan, aliran sungai-sungai ini sama-sama bermuara di pesisir timur Sumatra. Letak keduanya, dari muara sungai-sungai tersebut, juga sama-sama cukup jauh dari muara sungai - sebagaimana yang mungkin bisa ditunjukkan pada peta-peta dibawah ini: