Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Hidup seperti ngopi, ngeteh, nyoklat: manisnya sama, pahitnya beda-beda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 4): San-bo-tsai, Jambi, dan Disintegrasi Ku-kang (Palembang) saat Keruntuhan San-bo-tsai

6 April 2024   04:36 Diperbarui: 1 Juli 2024   01:09 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Letak Jambi dari arah muara sungai Batang Hari (warna biru) di pesisir Timur Sumatra - Dokpri

Terkait nama "Jambi", satu hal yang harus diingat di sini adalah: keraguan meester Groeneveldt sebetulnya merupakan pendapat beliau sendiri. Beliau tidak menyertakan bukti-bukti lebih jauh yang menunjukkan bahwa nama Jambi memang telah ada sebelum nama raja ini disebutkan dalam catatan sejarah Cina. Karenanya, pernyataan beliau sebenarnya tidak lebih dari sebuah "opini pribadi" yang butuh ditelusuri lebih jauh kebenarannya. Adapun, penggunaan nama raja yang pada akhirnya menjadi nama kerajaan sebetulnya bukanlah sesuatu yang tidak biasa, sebagaimana yang diungkapkan oleh monsieur Cœdès.

Ada beberapa nama-nama kerajaan lain yang, diduga, berasal dari nama raja-raja. Sayangnya, sebab mengumpulkan materi yang dibutuhkan tidaklah mudah, kita terpaksa membahas hal ini di kesempatan yang lain. Setidaknya, sampai sini, kita tahu bahwa meester Groeneveldt tidak sendirian dalam mengartikan nama "Chan-pi" sebagai "Jambi". Monsieur George Cœdès dalam bukunya juga mengidentifikasikan hal yang sama, hanya saja beliau menggunakan ejaan "Chan-pei" (Cœdès, 179).

Dalam catatan sejarah Cina yang diterjemahkan oleh meester Groeneveldt, Chan-pi (Jambi) beberapa kali disebutkan, salah satunya pada narasi (penceritaan) tentang perpindahan ibu kota lama dari San-bo-tsai ke Palembang atau Ku-kang (hal. 73). Dalam narasi yang dimulai satu halaman sebelumnya ini, terdapat penjelasan bahwa orang-orang dari kalangan (sosial) yang lebih rendah menyebut orang-orang dari kalangan yang lebih tinggi dengan sebutan “Chan-pi” - yang artinya sama dengan "penguasa negeri" (means the same as sovereign of the country). Kemudian, ada juga keterangan bahwa tempat di mana pemimpin pertama (first chief) mereka tinggal juga disebut “Chan-pi” (Jambi). Setelah penjelasan ini, barulah keterangan tentang perpindahan ibu kota itu disebutkan.

Keterangan tentang perpindahan ibu kota kerajaan San-bo-tsai ke Palembang - Dokpri
Keterangan tentang perpindahan ibu kota kerajaan San-bo-tsai ke Palembang - Dokpri

Jika kita menggunakan asumsi bahwa informasi yang diberikan saling berhubungan secara teratur, keterangan tentang “Chan-pi” (Jambi) tepat sebelum penjelasan tentang perpindahan ibu kota San-bo-tsai ke Ku-kang (Palembang) ini sesungguhnya akan membawa kita pada kesimpulan bahwa: ibu kota San-bo-tsai yang lama berada di “Jambi” (Chan-pi) itu sendiri. Jika kita berpikir secara logis bahwa informasi yang diberikan sebetulnya saling terhubung secara runut, tidak mungkin rasanya informasi tentang "Chan-pi" ini lepas konteks dari keterangan tentang perpindahan ibu kota San-bo-tsai yang diterangkan setelahnya. Mungkinkah catatan sejarah Cina ini menceritakan keterangan-keterangan yang terletak bersebelahan ini secara acak (random)?

Keterhubungan yang ada pun sebetulnya tidak lepas konteks dari awal nama "Chan-pi" disebutkan pada catatan sejarah dinasti Sung (Song). Dalam artian, dari awal penceritaan di mana nama Jambi ini disebutkan hingga titik ini, keterangan yang diberikan akan mengarah pada Jambi itu sendiri - dan bukan pada Palembang yang disebut-sebut sebagai ibu kota baru. Karenanya, jika kita susun informasi-informasi yang berkaitan ini secara teratur, ditambah dengan keterangan yang menjelaskan tentang perubahan nama dan perpindahan ibu kota sebagaimana yang telah penulis jelaskan dalam artikel-artikel sebelumnya, kita akan mendapatkan urutan kronologi peristiwa sebagai berikut:

  • Penyebutan nama “Chan-pi” yang disebut sebagai raja atau, setidaknya “gelar” raja, San-bo-tsai dalam catatan sejarah dinasti Sung (Song – 960-1279) saat menjelaskan tentang kerajaan ini (hal. 63)
  • Perubahan nama kerajaan San-bo-tsai menjadi Ku-kang (Sungai Tua) dan kekacauan yang terjadi pada kerajaan San-bo-tsai akibat finalisasi pendudukan Jawa pada sekitar tahun 1397 (hal. 71) - pada titik ini, belum ada keterangan terkait perpindahan ibu kota
  • Catatan sejarah Cina tentang peristiwa pada akhir pemerintahan kaisar Chia-ching (Jiajing) dari dinasti Ming, yang berkuasa pada tahun 1522-1566 (1521-1567), yang menyebutkan tentang “Chan-pi” (Jambi) sebagai nama tempat di mana pemimpin (chief – walau dari konteksnya sepertinya mengarah pada “raja”) pertama mereka tinggal (hal. 73). Setelah keterangan ini, barulah disebutkan bahwa ibu kota lama San-bo-tsai telah dipindah ke Palembang
  • Penyebutan “Palembang” (P'o-lin-pang) secara langsung sebagai nama lain dari Ku-kang dalam catatan shifu Ma Huan (Ying-yai Sheng-lan – 1416) yang mengindikasikan perpindahan ibu kota kerajaan San-bo-tsai kemungkinan terjadi sebelum kedatangan ini. Catatan shifu Ma Huan (sepertinya) juga dapat menjadi penanda di mana San-bo-tsai, yang tadinya merupakan kerajaan yang luas, pada akhirnya hanya semata diidentikkan dengan Palembang
  • Penyebutan “men of Djambi” (orang-orang Jambi) dalam narasi tentang kapal yang berlabuh di Ku-kang pada catatan Tung Hsi Yang K’au (1618) yang mengindikasikan telah terpisahnya Jambi dengan Palembang yang, pada awalnya, berada di bawah kekuasaan kerajaan yang sama

Narasi tentang Jambi yang diceritakan dalam catatan sejarah Cina sebetulnya sempat beralih ke Palembang pada catatan shifu Ma Huan, atau setelah perpindahan ibu kota. Karenanya, untuk mencapai suatu keteraturan, kita akan butuh untuk melewati catatan ini dan beralih pada catatan yang kembali membahas keterangan lanjutan tentang Jambi. Keterangan ini berada pada catatan terakhir yang diterjemahkan oleh meester Groeneveldt pada subbagian San-bo-tsai, yaitu: catatan Tung Hsi Yang Káu - Buku III yang bertarikh 1618 (hal. 75). Dalam catatan ini, terdapat keterangan yang menyebutkan tentang orang-orang Jambi (men of Djambi) yang melakukan perdagangan dengan cara bertukar barang (barter) di Palembang.

Keterangan tentang orang-orang Jambi yang melakukan pertukaran (barter) di Palembang - Dokpri
Keterangan tentang orang-orang Jambi yang melakukan pertukaran (barter) di Palembang - Dokpri

Men of Djambi

Orang-orang Jambi ini diterangkan melakukan perdagangan dengan cara menukar barang dengan “pepper” (secara harfiah merica/lada, walau bisa saja merujuk pada rempah-rempah secara umum), saat kapal bersandar di "Ku-kang" – yang saat ini sudah merujuk, semata, pada Palembang. Dalam keterangan akhir catatan ini turut diceritakan bahwa ibu kota kerajaan San-bo-tsai, yang tadinya merupakan kerajaan yang “kaya” (makmur), telah ditinggalkan dan hanya beberapa pedagang yang datang ke sana pada waktu catatan ini dibuat.

Keterangan ini, secara jelas, berhubungan dengan informasi yang menceritakan tentang perpindahan ibu kota. Karenanya secara logis, ibu kota yang dinyatakan telah ditinggalkan dalam keterangan tersebut akan membawa kita kembali pada "Jambi" sebagai ibu kota lama. Dari informasi yang tertera ini juga, kita dapat memahami bahwa pada saat inilah dalam sejarah, ibu kota baru atau Palembang telah menjadi tempat yang ramai - khususnya dalam hal perdagangan. Hal ini berkesesuaian dengan keterangan yang diberikan tentang kedatangan kapal di Ku-kang (Palembang), dan bahkan orang-orang yang berasal dari Jambi, untuk berdagang. Pertanyaannya, tentu: mengapa “orang-orang Jambi” (men of Djambi) yang disebutkan dalam penceritaan ini, jika orang-orang ini tidak ada hubungannya dengan ibu kota yang ditinggalkan?

Meester Groeneveldt dalam catatan kakinya mengungkapkan kebingungan beliau: “catatan ini tidak begitu jelas, Ku-kang adalah Palembang, tapi tiba-tiba penulis (catatan) itu menyebutkan ‘orang-orang Jambi’ tanpa mengatakan apakah mereka melakukan perdagangan (dengan sistem barter) ini di ibu kota mereka sendiri atau hanya di Palembang”. Dari pernyataan ini, kita dapat menangkap kebingungan beliau tentang penyebutan "orang-orang Jambi" yang (menurut beliau) disebutkan secara tiba-tiba, walau pertanyaan beliau sendiri mengarah pada “lokasi dagang”: apakah orang-orang dari Jambi ini hanya melakukan perdagangan di Ku-kang ataukah juga di ibu kota mereka sendiri? Kebingungan beliau tentang penyebutan "orang-orang Jambi", yang seakan-akan disebutkan secara tiba-tiba, ini sebetulnya telah dijawab oleh keterangan dalam catatan tersebut: sebab ibu kota San-bo-tsai yang dinyatakan telah ditinggalkan sesungguhnya adalah Jambi itu sendiri - dengan alasan inilah "orang-orang Jambi" turut diceritakan dalam catatan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun