Tubuh atasku terhempas ke atas meja. Kurasakan lemas yang luarbiasa. Aku berusaha untuk terus tersadar. Shania menggotong tubuhku ke atas meja. Ia lalu menelanjangiku. Aku terbaring layaknya hidangan kalkun panggang di hari thankgiving. Kulirik lagi Shania, ia memakaikan jubah hitam ketubuhnya dengan kalung-kalung yang tak jelas kulihat rupanya. Yang kuyakini dikedua tangannya tergenggam sepasang belati emas. Kini Shania terlihat seperti layaknya paranormal-paranormal sebelumnya yang pernah datang ke rumah ini.Â
"Apa yang kau lakukan?" Aku menjerit.
"Meracunimu untuk ritual. Malam ini aku akan memusnahkanmu," jawabnya datar.
"Kau.. Kau.." Aku tercekat. Lidahku seolah-olah menyumpal masuk ke tenggorokan. Aku terbatuk sejadi-jadinya.
"Kau sebetulnya bukan roh yang kuat. Hanya paranormal-paranormal itu saja yang bodoh. Aku datang seperti seorang kawan dan kau terlena. Kini apa dayamu?" Ucap Shania dengan nada tinggi.Â
Aku tak mampu berbicara lagi. Shania kini telah berdiri disisi kanan meja. Ia mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya. Masih kulihat sisi tajam sepasang belati itu berkilauan terbias sinar lampu-lampu.Â
"BRUUUKK!!!"Â
Shania terhempas jatuh kelantai. Adikku Sabila tiba-tiba saja melesat cepat menembus jendela lalu menghantam tubuh Shania. Sabila lalu meyentuh dadaku dengan kedua telapak tangannya. Kurasakan sejumlah aliran energi membuat tubuhku semakin membaik tiap detiknya.Â
Kulihat Shania tak berdaya. Sisi kiri kepalanya penuh aliran darah. Kuraih jubahnya. Kutelanjangi dia. Kuangkat tubuhnya ke atas meja persis seperti apa yang ia lakukan terhadapku.Â
Shania menjerit, meronta lalu meludahiku. Tak kuabaikan sumpah serapahnya. Kuyakinkan Sabila memeganginya kedua kakinya dengan kuat.Â
"Selamat jalan Shania." Sapaku, sebelum kucengkeram leher putihnya. Lebih kuat dan lebih kuat lagi hingga bibir merahnya kini membiru. Kurasakan rohnya menggelepar, berhamburan, lalu terbang menembus langit-langit.Â