[caption caption="favim.com"][/caption]
Aku senang, sungguh. Akhirnya rumah milik Natan dan Mary menemukan calon pembeli. Asal tahu saja, Rumah bergaya french country itu sudah 12 tahun tak berpenghuni. Bukan karena tak menarik atau harganya yang mahal, tapi gara-gara cerita kelam yang senantiasa melekat pada sisi-sisinya. Termasuk cerita yang paling dipercayai warga tentang penampakan hantu gadis bertopi fedora hitam.Â
Pagi tadi Natan dan Mary memintaku turut membantu merapikan isi rumah. Natan dan Mary adalah pasangan pemilik rumah ini. Kami mengganti semua perabotan lama dan yang sudah rusak dengan yang baru. Aku juga meminta Natan mengerahkan petugas kebersihan untuk merapikan pekarangannya yang cukup luas. Rumput-rumput yang tumbuh secara liar diratakan. Pohon-pohon kecil yang berdiri bersilangan ditebang lalu dibuang. Apa yang kami lakukan lumayan berhasil. Rumah ini tampak lebih bersih dan terang. Kami memang harus buru-buru merapikannya karena calon pembeli akan datang melihat-lihat esok lusa.Â
Disekitar sini udaranya sejuk. Banyak pohon-pohon rindang tumbuh menjulang. Burung-burung bersukaria mendirikan sarang. Tapi tahukah kamu? Dulu mereka tak pernah bersuara. Ya, burung-burung itu. Tak ada satupun kicauan yang keluar dari mulut-mulut lancip mereka meski silau mentari pagi begitu hangat menelisik sisi dedaunan. Meskipun angin telah berhembus pelan mengharap sebuah perayaan atau nyanyian. Mereka memilih diam. Takut bersaksi atas sebuah kekuatan hitam.Â
Tapi kini semuanya sudah jauh berbeda. Segerombolan burung gereja berdendang bak paduan suara. Masing-masing mereka bersahut-sahutan mencari perhatian pipit betina. Anginpun berhembus bak maestro lagu-lagu klasik. Jelas saja rumput-rumput kini bergoyang, riang, lantas menari-nari.Â
Seminggu yang lalu rumah ini disterilkan. Si hantu gadis bertopi fedora hitam kini tak akan pernah lagi kelihatan. Semuanya berawal saat Natan dan Mary mengundang Shania untuk jamuan makan malam. Shania adalah sahabat mereka yang sekaligus seorang paranormal. Saat itu kudengar obrolan mereka selepas makan siang. Sebenarnya aku ingin menanyakan langsung pada mereka perihal kedatangan Shania. Tapi aku lebih suka menebak-nebak. Dan aku rasa ini tak terlalu sulit. Pasti mereka akan meminta bantuan Shania untuk menyingkirkan si gadis fedora hitam.Â
Natan dan Mary sendiri sebenarnya tak pernah percaya rumah itu berhantu. Ia memanggil seorang cenayang hanya demi menumbuhkan minat pembeli. Sekaligus tentu untuk membuat para warga melupakan cerita hantu yang menurut mereka sangat konyol. Meski banyak kesaksian yang meyakinkan bahwa sosok itu benar-benar ada.Â
Dihari pertamanya, Shania hanya mengitari pekarangan rumah. Dari pengamatanku, usianya mungkin mendekati kepala tiga. Penampilan dan tutur katanya terkesan jauh dari seorang paranormal. Wajahnya putih bersih, bulu matanya lentik, bibirnya merah menyala. Cantik sekali. Dirinya jauh berbeda dari gaya khas cenayang murahan yang kerap wara-wiri di acara TV.Â
Tak ada ritual. Atau mungkin belum saatnya. Pagi ini Shania hanya melihat-lihat sambil sesekali pandangannya menerawang kelangit. Mungkin ia tertarik dengan pohon-pohon besar yang tumbuh berkeliling bagai pagar raksasa mengitari sebuah kastil. Natan dan Mary tampak memandunya sembari terus bercerita perihal hantu yang ditakuti orang-orang.Â
Melihat kepribadian Shania, aku lama-lama tertarik padanya. Kata penduduk sekitar, Shania sangat ramah namun sedikit pendiam. Setelah dua hari tinggal di sini, banyak pemuda yang mulai mencoba mencuri hatinya. Termasuk Bardon, seorang teknisi tampan yang terkenal suka main wanita. Aku harus menunggu dan mencari waktu yang tepat untuk berkenalan dengan Shania. Aku beruntung karena Shania justru tak menginap di rumah tinggal Natan dan Mary. Ia memilih tinggal di rumah berhantu itu. Kebetulan aku dan adikku sering bermain dan memancing di kolam tak jauh dari sana. Mungkin akan ada kesempatan untuk berbincang-bincang dengannya.Â
Aku bukannya tak pernah bertemu langsung dengan Shania. Pernah suatu ketika aku berpapasan dengannya jelang senja, saat pancing adikku ketinggalan di kolam. Yang saat itu kusadari, Shania punya sorot mata yang amat tajam dibalik wajah cantiknya. Aku mengangguk dan memberi senyum dan ia hanya nembalasnya sedikit. Ya sedikit saja bibir tipisnya itu melengkung. Tapi sungguh, ketika diterpa kemilau senja, Shania berkali-kali lipat tampak lebih mempesona. Lebih dari senja itu sendiri.Â