"Natan dan Mary? Mereka ke lantai atas. Aku akan mengerjakan seseuatu di sana. Kau ikut saja dengan kami. Tidak apa-apa." Shania kembali tersenyum kemudian berpaling dan melangkahkan kakinya menuju tangga. Aku mengikutinya dari belakang sembari terus berharap Shania menanyai namaku.Â
Rumah ini berlantai tiga. Seluruh temboknya bewarna abu-abu muda. Ditiap sudut ruangan pasti ditemui perabotan antik yang menguatkan kesan klasik desainnya. Shania terus mengitari lantai demi lantai tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya. Akupun tak berani bertanya atau memulai berbincang. Entah apa yang membuatku seakan utuh takluk padanya.Â
Sesampainya dilantai atas Shania menarik nafas panjang. Entah apa pula yang sedang ia pikirkan. Pandangannya menembus tirai kaca jauh ke tengah-tengah malam. Sementara Natan dan Mary tampak sibuk menggelar sebuah meja. Menutupnya dengan kain hitam sebagai alas dan beberapa buah lilin berwarna merah. Mungkin untuk keperluan ritual.Â
"Wah pemandangan di atas sini bagus juga ya," bisik Shania padaku. Aku hanya bisa mengangguk tanpa tahu harus berkomentar apa. Kulihat ke luar jendela, tak ada yang menarik kecuali bulan yang penuh membulat.Â
"Duduklah," pinta Shania sembari menarik salah satu bangku mempersilahkanku. Meja itu tak terlalu besar tapi juga tak terlalu kecil. Mirip meja untuk jamuan dengan 10 orang tamu. Setelah kuteliti, Alasnya kainnya tak sepenuhnya hitam. Ada corak keemasan dengan empat belas lilin menyala.Â
Shania memintaku untuk menunggu sebentar. Ia mendekati Natan dan Mary. Entah apa yang mereka bicarakan. Sekilas kulihat Natan dan Mary melirik kearah dudukku. Ah, apa mereka kesal karena aku datang tiba-tiba? Tak lama, merekapun turun ke bawah lalu meninggalkan kami saja rumah ini.
"Kemana mereka? Apa mereka tidak ikut menyaksikan ritual? Tanyaku.
" Oh. Ritualnya dibatalkan. Malam ini aku ingin mengobrol denganmu. Aku sudah bicarakan dengan mereka. Tak apa-apa."
Aku sedikit heran meski sebenarnya hatiku senang bisa berduaan dengan Shania.
"Tunggulah, aku ambilkan minuman," lanjutnya.
Tak lama Shania kembali dengan secangkir minuman. Kutebak saja itu wine lagi pula aku tidak peduli. Kuteguk setengahnya, ah ini bukan wine. Aku tak tahu tapi rasanya lumayan.