Mohon tunggu...
Sinensis Jyotio
Sinensis Jyotio Mohon Tunggu... mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secangkir Kopi Pahit Tanpa Tangan

24 Oktober 2018   22:22 Diperbarui: 24 Oktober 2018   23:02 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Blarrrr" terdenger suara petir bersahutan diantara awan kelabu. Hari itu Narenda sedang semangat-semangatnya untuk hunting foto landscape. Namun apa daya melihat derasnya air hujan. Untung saja ada sebuah cafe, sehingga dia berteduh dan menghangatkan badan dengan secangkir kopi.

Suasana cafe cukup sepi, maklum dengan hujan sederas itu pasti tidak banyak yang datang. Namun ada yang cukup menarik perhatian Narenda. Ia seperti berada di dunia lain, tampak pelayan datang dengan kaki palsunya menghampiri Narenda dengan senyum hangat.

"Mau pesan apa mas?" sapa pelayan itu dengan ramah sambil mengulurkan buku menu.

"Saya pesan kopi arabica saja mas, tapi tanpa gula" jawab Narenda dengan senyum.

Ia mendapat pemandangan yang tak biasa, setelah pelayan cafe itu menyerahkan kertas pesanannya pada sang juru racik. Bukan karena barista itu tampan, tetapi ia tidak mempunyai tangan namun dengan gesit dia meramu kopi pesanannya. Meskipun beberapa di cafe itu tidak semua penyandang disabilitas, namun pemandangan baru ini menarik perhatiannya.

"Ini mas monggo dicoba kopinya" sapa seorang perempuan yang menyajikan kopi panas didepannya.

"Terima kasih mbak" Narendra membalasnya dengan senyum hangat.

Ia terus memperhatikan perempuan yang menyajikan kopinya dengan tangan kanan palsunya. Seumur hidup dia baru mampir kesebuah cafe yang isinya banyak orang disabilitasnya. Narendra mencicip kopi didepannya, terasa pait namun ada rasa lembut karena kopi disaring dengan benar. Niat kini berubah, dia tersentuh dengan keramahan dan rasa dari kopi yang disajikan ini.

"Anu...boleh saya tanya siapa manager disini?" tanya Narendra pada salah satu seorang pelayan.

"Loh kopinya kurang enak mas?" tanya pelayan dengan raut wajah tegang.

"Oh bukan mas, saya suka dengan racikan kopinya dan suasana cafe ini. Saya cuma mau minta ijin aja kok, boleh nggak saya motret disini." Narendra menjelaskan maksudnya dengan halus.

"Oh baik mas, sebentar ya..." pelayan itu lalu pergi kebelakang untuk memanggil sang manager cafe. Narendra terus mengamati suasana cafe dan pekerjanya. Sesekali ia mendekati sang barista yang meracik kopinya tadi. Mereka mengobrol banyak hal tanpa menyinggung kekurangan fisik sang barista yang bernama Utomo. Lalu sang manager datang bergabung dengan Narendra.

"Hai saya Kayla Anisa Fitri manager cafe disini." Seorang perempuan berjilbab dengan setelan dress warna cyan memberi salam ke Narendra.

"Saya Gregorius Narendra Amanda, fotografer dari garudabiru.com. Kebetulan saya tersentuh dengan suasana dan kopi disini, jika berkenan boleh saya potret dan saya wawancarai?" Narendra mulai menjelaskan maksudnya.

"Oh silahkan...saya membolehkan saja masnya mau memotret dan mengulas cafe ini" Anisa mempersilahkan Narendra untuk memotret dan mewawancarai di cafe itu.

Setelah berbasa-basi akhirnya Narendra memilih pulang sambil memikirkan konsep dan sudut pandang yang akan dipakainya meliput besok. Maklum, tema disabilitas adalah hal yang baru untuknya sebagai fotografer. Akhirnya Ia mendapatkan ide yang akan dieksekusi.

Oh ya nama cafe itu adalah SunRize Cafe. Berbeda dengan cafe lain, kebanyakan yang bekerja disana adalah penyandang disabilitas. Cafe itu dibentuk oleh suatu LSM Disabilitas, dibelakangnya mempunyai halaman yang rindang dengan banyaknya tanaman dan saung yang ditata rapi.

Disanalah Narendra dan Utomo yang menjadi barista tersebut berbagi cerita. "Gimana mas kabar sehat?" Utomo dengan ramah menyapa Narendra.

"Sehat mas, lah mas'e sehat?" tanya Narendra yang mencoba berbasa-basi.

"Alhamdulilah mas, gimana langsung mulai wawancaranya?" Utomo dengan tersenyum nyengir mulai membuka obrolan.

"Waduh...masnya ternyata antusias ini hahaha..." mereka berdua terkekeh dalam obrolan mereka.

"Mas maaf kalau menyinggung, tapi boleh ndak cerita pengalaman hidup mas seperti sekarang?" Narendra membuka dengan sebuah pertanyaan.

"Ya dulu sebelum saya begini, saya itu cuma tukang bangunan mas, maklum tamatan SMK. Saya merantau ke Jakarta untuk cari tambahan hidup, dihitung-hitung dari hasil mburuh dapet 10 juta dalam waktu 4 bulan, lumayan bisa nyekolahin adek mas. Tapi keadaan ini dulu secara nggak sengaja, karena ada yang salah masang tulangan besi, saya jatuh kena onggokan besi, tangan saya kena dua-duanya mas. Mau nggak mau saat itu dokter amputasi. Disitu saya syok berat, khawatir besok gimana. Akhirnya saya dibawa ke Graha Nusa, menjalani rehabilitasi disana. Disitu saya belum bisa bangkit" Utomo sesekali terhenti merenungi masa lalunya.

"...Sampai suatu saat, mbak Anisa dan kawan-kawan mengajak saya untuk gabung ke cafe, saat itu saya ragu mas, aku iso opo nek wes koyo ngene (aku bisa apa setelah seperti ini). Namun karena ada dorongan dari banyak orang, ngeliat oh ada yang sama sepertiku, saya malu dan terus coba iso ora koyo ngono. Awal-awal susah tapi akhirnya bisa, ya seperti itu mas perjalanan hidup saya" Utomo menatap Narendra dengan singkat dan terlihat tegar.

Narendra sebisa mungkin menghadapinya dengan biasa saja. Maklum dengan perpedaan seperti itu, selain rasa simpati perlu juga untuk bersikap normal dalam berdialog. Narendra terus menggali kisah hidup Utomo, sesekali mereka bercanda sambil menikmati kopi yang disediakan.

Narendra juga mewawancarai Anisa sang manager yang bercerita, mereka membuat cafe itu untuk mewadahi mereka yang kekurangan fisik untuk bangkit. Banyak capaian yang didapat dari orang-orang disana, Utomo salah satunya sering dipanggil untuk jadi inspirator dan bahkan pernah ke Perancis untuk menghadiri acara amal sebagai inspirator.

Banyak hal yang Narendra dapat selain foto yang terekam kamera, namun juga cerita inspratif dibalik banyaknya perbedaan didunia ini. Ia tersenyum, berharap karyanya bisa menyadarkan banyak orang untuk menerima dalam banyaknya perbedaan itu.

Sejak saat itu cafe itu menjadi langganan Narendra dalam setiap mencari inspirasi. Ia tidak memandangnya sebagai dunia lain lagi melainkan rumah baginya. Namun berbicara seperti keluarga itulah yang menghargai mereka.

(END)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun