Mohon tunggu...
Sinensis Jyotio
Sinensis Jyotio Mohon Tunggu... mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secangkir Kopi Pahit Tanpa Tangan

24 Oktober 2018   22:22 Diperbarui: 24 Oktober 2018   23:02 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ya dulu sebelum saya begini, saya itu cuma tukang bangunan mas, maklum tamatan SMK. Saya merantau ke Jakarta untuk cari tambahan hidup, dihitung-hitung dari hasil mburuh dapet 10 juta dalam waktu 4 bulan, lumayan bisa nyekolahin adek mas. Tapi keadaan ini dulu secara nggak sengaja, karena ada yang salah masang tulangan besi, saya jatuh kena onggokan besi, tangan saya kena dua-duanya mas. Mau nggak mau saat itu dokter amputasi. Disitu saya syok berat, khawatir besok gimana. Akhirnya saya dibawa ke Graha Nusa, menjalani rehabilitasi disana. Disitu saya belum bisa bangkit" Utomo sesekali terhenti merenungi masa lalunya.

"...Sampai suatu saat, mbak Anisa dan kawan-kawan mengajak saya untuk gabung ke cafe, saat itu saya ragu mas, aku iso opo nek wes koyo ngene (aku bisa apa setelah seperti ini). Namun karena ada dorongan dari banyak orang, ngeliat oh ada yang sama sepertiku, saya malu dan terus coba iso ora koyo ngono. Awal-awal susah tapi akhirnya bisa, ya seperti itu mas perjalanan hidup saya" Utomo menatap Narendra dengan singkat dan terlihat tegar.

Narendra sebisa mungkin menghadapinya dengan biasa saja. Maklum dengan perpedaan seperti itu, selain rasa simpati perlu juga untuk bersikap normal dalam berdialog. Narendra terus menggali kisah hidup Utomo, sesekali mereka bercanda sambil menikmati kopi yang disediakan.

Narendra juga mewawancarai Anisa sang manager yang bercerita, mereka membuat cafe itu untuk mewadahi mereka yang kekurangan fisik untuk bangkit. Banyak capaian yang didapat dari orang-orang disana, Utomo salah satunya sering dipanggil untuk jadi inspirator dan bahkan pernah ke Perancis untuk menghadiri acara amal sebagai inspirator.

Banyak hal yang Narendra dapat selain foto yang terekam kamera, namun juga cerita inspratif dibalik banyaknya perbedaan didunia ini. Ia tersenyum, berharap karyanya bisa menyadarkan banyak orang untuk menerima dalam banyaknya perbedaan itu.

Sejak saat itu cafe itu menjadi langganan Narendra dalam setiap mencari inspirasi. Ia tidak memandangnya sebagai dunia lain lagi melainkan rumah baginya. Namun berbicara seperti keluarga itulah yang menghargai mereka.

(END)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun