Perkembangan dunia global ditandai dengan menguatnya teknologi yang canggih. Sesungguhnya, hal ini memberi dampak yang positif bagi kemajuan manusia. Dampak positif tersebut adalah kemudahan dalam mengakses informasi, komunikasi, bahkan membuka jendela yang seluas-luasnya bagi semua orang untuk memperkaya pengetahuan.Â
Secara kasat mata, hal ini tentu menguntungkan dan bermanfaat. Akan tetapi, tanpa disadari, perlahan-lahan tapi pasti globalisasi dapat menenggelamkan jati diri dan identitas manusia itu sendiri. Informasi demi informasi yang terekam dalam pikiran tanpa disadari telah mengubah pola pikir yang sebelumnya sudah dipupuk dengan baik dan pada akhirnya menjadi terdistorsi.Â
Sebagai bangsa, jiwa nasionalisme pun terancam. Pancasila menjadi urutan terakhir sebagai dasar bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bukti nyata terkikisnya jiwa nasionalis terlihat ketika lebih banyak rakyat Indonesia yang bangga berbicara dengan menggunakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa ibu pertiwi. Gaya hidup kebarat-baratan kerap menjadi sorotan bagi anak bahkan orang tua sekalipun.Â
Dengan demikian, kebanyakan orang tua maupun anak disadari atau tidak telah dipimpin oleh budaya global yang tanpa batas. Lajunya begitu cepat sehingga batasan etika dan moral sengaja ditinggalkan dalam bermasyarakat karena tidak lagi popular.Â
Kini kehadirannya tidak dibutuhkan lagi dalam mengatur kehidupan manusia. Maka tak heran jika dewasa ini, bangsa dikhawatirkan dengan kegaduhan yang sulit dibendung. Entah darimana dan bagaimana akar masalah harus dicabut. Sepertinya semua pihak kewalahan dalam menyikapinya secara bijaksana.
Sebagai contoh, berita tentang maraknya kasus kenakalan remaja di negeri ini. Kasus terjadi pada bulan Februari 2018 berupa tewasnya seorang guru honorer di Kabupaten Sampang oleh siswanya sendiri pada saat jam pelajaran berlangsung.Â
Selain kasus-kasus tersebut, masih banyak pula kasus tawuran pelajar yang dihimpun dari berbagai sumber media online, seperti adanya bentrok antar pelajar yang terjadi pada 9 September 2017 hingga terjadi penganiayaan dan penusukan terhadap dua siswa SMA Negeri di Lombok Timur.Â
Permasalahan tidak berhenti pada remaja saja, media sosial juga sering mempertontonkan kegaduhan antar petinggi negara yang ada di negeri ini. Kegaduhan yang terjadipun acapkali mirip dengan sebuah tawuran yang para remaja lakukan.Â
Mereka saling menghujat demi meraup keuntungan pribadi dan golongan. Mereka saling menebarkan berita hoax demi memenangkan pertandingan tanpa memperhatikan karakter bangsa yang bermartabat. Hal ini bukan lagi hal yang tabu bagi seluruh rakyat Indonesia melainkan menjadi rahasia umum bagi setiap warga negara terkhusus bagi kaum milenial sebagai kaum generasi bangsa.Â
Dimana-mana dan hampir setiap hari sosial media maupun media televisi secara langsung atau tidak langsung sering menayangkan kegaduhan-kegaduhan tersebut. Pelakunya pun bermacam-macam, ada antar individu ataupun antar kelompok, mulai dari lembaga kecil hingga lembaga tinggi, baik yang berpendidikan rendah maupun berpendidikan tinggi.Â
Melihat keadaan ini, saya sebagai bagian dari warga negara memaknai peristiwa ini sebagai cerminan bahwa peradaban manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia telah mengalami kemerosotan.
Kemerosotan peradaban adalah bukti dari kurang berhasilnya tujuan pendidikan di negeri ini. Apakah itu pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah, ataupun pendidikan yang berada di berbagai lembaga pendidikan.Â
Pendidikan adalah usaha sadar dan sungguh-sungguh untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik sehingga dapat dirasakan oleh setiap orang. Perubahan tersebut dapat dirasakan dari segi kognitif maupun dari segi budi pekerti. Namun, terlihat dari hasil studi internasional menunjukkan bahwa Indonesia menempati hampir pada garis ambang batas bawah dalam human development index. Dengan demikian Indonesia saat ini butuh perhatian yang sungguh-sungguh dalam dunia pendidikan dan budaya.
Sejatinya, keluarga merupakan fondasi utama pendidikan setiap manusia di sepanjang peradaban. Keluarga juga dianggap sebagai miniatur negara. Apabila kepala negara beres maka rakyatpun ikut beres.
Maka orang tua merupakan prasyarat utama dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Perilaku, pola pikir, dan gaya hidup orang tua menjadi titik tolak dan titik pangkal dari berkembang dan bertumbuhnya anak didik dalam pembentukan kemampuan berpikir, bersikap, dan berkepribadian. Persoalannya adalah pada saat ini, banyak orang tua mengabaikan perannya sebagai pendidik utama bagi anak.Â
Orang tua saat ini melimpahkan tanggung-jawabnya seratus persen kepada pihak sekolah dengan harapan anak mereka menjadi seorang yang cerdas dan siap menghadapi tantangan.Â
Pendelegasian tanggung jawab kepada sekolah sering kali terjadi akibat orang tua tidak meluangkan waktu karena disibukkan dengan pekerjaannya. Berkurangnya waktu bersama anak akan menjadi cikal bakal kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua kepada anak. Minimnya kasih sayang akan menumbuhkan dan membangun tembok yang tinggi antara orang tua dan anak.Â
Selain itu akan terjadi jurang pemisah ikatan batin antara orang tua dan anak. Kondisi ini membuat orang tua tidak lagi memahami sejauh mana perkembangan anak dan apa saja kebutuhan yang diperlukan anak agar dia dapat berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Tanpa disadari orang tua menganggap dirinya telah bertanggung jawab dalam memenuhi seluruh kebutuhan si anak karena mereka telah menafkahi anak. Menafkahi bukan berarti papa mama telah sungguh-sungguh menjadi orang tua.Â
Bahkan bila aspek ini menjadi garda depan dalam mendidik, orang tua akan sering mengalami kekecewaan yang berkepanjangan ketika anak tidak lagi sesuai dengan yang diharapkan. Orang tua akan selalu mengedepankan kehendak dan menuntut anak untuk memberikan keuntungan dari modal yang sudah ditanamkan orang tua kepada anak. Inilah setitik celah yang sesungguhnya tidak bisa ditoleransi. Dengan mengabaikan setitik celah di atas berarti papa mama telah gagal menjadi orang tua.
Seperti yang kita ketahui, pendidikan dan budaya diturunkan kepada anak sejak dalam kandungan. Orang tua perlu mencermati setiap rangsangan yang diberikan kepada anak baik secara sadar maupun tidak sadar.Â
Sejak dini, anak perlu dihadirkan sosok orang tua yang mampu membangun komunikasi yang positif dan konstruktif, selayaknya sahabat yang bisa diajak berdiskusi dan bertukar pikiran sehingga ketika beranjak dewasa, anak terbiasa untuk mengkomunikasikan setiap cerita kehidupan yang dialaminya secara leluasa.Â
Sikap keterbukaan sang anak memudahkan orang tua untuk mendeteksi sejak dini adanya gangguan, hambatan pertumbuhan, perkembangan dari pergaulan yang dialami oleh sang anak. Penanggulangan sejak dini akan mampu mencegah bahkan mematahkan mata rantai pergaulan buruk sehingga setiap saat anak selalu terjaga.Â
Seperti yang kita ketahui, pergaulan yang buruk mampu merusak kebiasaan yang baik. Oleh karena itu orang tua seyogianya selalu hadir dan akan tetap hadir selamanya sebagai penolong bagi anaknya.
Menjadi penolong bukan sekedar mengangkat beban dipundak anak, namun menjadi penolong juga harus penuh persiapan yang lengkap dalam memerangi pengaruh buruk di dalam setiap kehidupan sang anak.Â
Persiapan yang dimaksud adalah persiapan batin, dimana dari dalam batin tersebut ada suatu dorongan untuk melakukan yang terbaik. Dorongan dari dalam batin tersebut disebut sebagai sebuah panggilan.
Dengan panggilan, menjadi orang tua adalah sesuatu yang prioritas dan bukan menjadi pilihan terakhir sebagai implikasi lahirnya anak ke dunia ini. Dengan demikian, menjadi orang tua merupakan amanah yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin dan menyadari bahwa dia adalah wakil dari Sang Pencipta bagi anaknya di muka bumi ini.Â
Jika Sang Pencipta memercayakan anak-anak untuk dididik, ini merupakan kepercayaan yang luar biasa. Tidak ada sesuatu yang lain yang lebih penting daripada anak kita.Â
Karena anak adalah harta orang tua secara pribadi yang juga harus dipertanggung-jawabkan kepada Sang Pencipta dan ini merupakan kewajiban yang bersifat kekal. Karena menjadi wakil Sang Pencipta, maka orang tua harus berhati-hati dalam mendidik anak. Itu sebabnya mendidik anak merupakan suatu hal yang serius. Sebuah keseriusan akan terpancar dari hati yang penuh kasih, mau berkorban, dan selalu memberikan yang terbaik dalam mendidik anaknya.
Dengan adanya kekuatan dorongan dari dalam batin, maka orang tua akan terus berjuang, dan bersemangat mendidik anak. Kegagalan bukanlah menjadi faktor kendala dalam mendidik melainkan menjadi kesempatan kepada orang tua untuk mengenal kekuatan dan kelemahan diri sendiri dan anak.Â
Disamping itu, kegagalan juga sebagai kesempatan orang tua untuk menelusuri lebih dalam tentang keunikan dari setiap pribadi sang anak. Penelusuran ini menjadi wadah bagi orang tua untuk berefleksi mencari jalan dan mencari apa, mengapa, dan bagaimana seharusnya yang akan dilakukan dalam mendidik. Dengan berefleksi terus menerus, orang tua akan menjadi pembelajar sepanjang hayat.Â
Dengan adanya dorongan dari dalam diri, maka orang tua selalu siap dan terus dimampukan untuk mengarahkan anak mencari strategi yang lebih tepat dalam mengatasi pengaruh buruk dari globalisasi bahkan anak tetap berada pada jati dirinya yang semula sekalipun globalisasi terus berkembang . Dengan adanya panggilan, orang tua akan terus dalam kelimpahan ketika menjalankan panggilannya sebagai pendidik demi menghidupi kehidupan sang anak.
Dorongan dari dalam batin akan menempah orang tua untuk bisa mencintai anaknya seperti dirinya sendiri. Cinta kepada anak menjadi dasar kepada orang tua untuk tidak pernah menelantarkan anak bahkan membiarkan anak sendiri dalam keterpurukan, karena bagi orang tua kegagalan terbesar adalah pada saat anaknya gagal.
Menjadi orang tua seharusnya menyadari bahwa dirinya merupakan bagian integrasi antara diri sendiri, anak, dan Sang Pencipta yang tidak bisa dipisahkan sehingga menjadi orang tua bukan hanya fokus kepada apa yang harus dilakukan untuk anak, namun bagaimana orang tua dapat merasakan keterkaitan tiga unsur ini melebur menjadi satu di dalam pribadi orang tua tersebut.
Papa mama yang baik dalam mendidik bukan hanya dikerjakan melalui perkataan dan materi saja, tetapi juga harus menerjunkan seluruh pengajaran hidup yang menggerakkan hati mereka masing-masing.Â
Menjadi papa mama bukan lagi sekedar sebutan yang sering diucapkan anak ketika memanggil orang tua ataupun ketika sang anak meminta uang saku. Menjadi papa mama bukan lagi sekedar memikirkan tentang bagaimana melakukan kehendak diri sendiri dengan harapan dapat membereskan kesumpekan yang ada.Â
Namun, menjadi papa mama berarti menjadi wakil yang dipercayakan oleh Sang Pencipta untuk sungguh-sungguh mendidik anak. Dorongan hati yang sungguh-sungguh dalam mendidik membuat orang tua akan selalu antusias dan selalu mengutamakan anak dalam setiap aspek. Baginya, anak adalah aset keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Orang tua akan mencurahkan seluruh hidupnya tanpa memperhitungkan untung dan ruginya di masa depan. Niscaya dengan kesungguhan hati orang tua akan berhati-hati dalam mendidik anak. Mereka akan menanamkan nilai-nilai yang suci dan benar dalam diri anak.
Mengemban panggilan sebagai orang tua berarti mendidik anak tanpa lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Dengan demikian, orang tua terus menerus mengajarkan nilai-nilai dasar kehidupan bagi anak tanpa lelah.Â
Setiap saat orang tua akan menanamkan dan membiasakan nilai-nilai itu terjadi dalam keluarga. Misalnya, ketika dalam berinteraksi terjadi suatu konflik maka orang tua mengajarkan bagaimana untuk tetap saling mengasihi dan mengampuni setiap orang yang bersalah. Segumpal nilai-nilai yang terus dibiasakan maka akan melahirkan suatu karakter dan menjadi budaya di dalam keluarga yang tidak pernah rapuh akibat pengaruh pihak maupun oknum manapun. Nilai-nilai ini juga menjadi modal dasar anak kelak dewasa dalam berbangsa dan bernegara.Â
Nilai-nilai ini juga yang akan menjadi bekal bagi anak dalam menangkal globalisasi sehingga sekalipun dunia berubah namun anak tidak berubah, dia tetap berpijak di kaki bumi ibu pertiwi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI