Kemerosotan peradaban adalah bukti dari kurang berhasilnya tujuan pendidikan di negeri ini. Apakah itu pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah, ataupun pendidikan yang berada di berbagai lembaga pendidikan.Â
Pendidikan adalah usaha sadar dan sungguh-sungguh untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik sehingga dapat dirasakan oleh setiap orang. Perubahan tersebut dapat dirasakan dari segi kognitif maupun dari segi budi pekerti. Namun, terlihat dari hasil studi internasional menunjukkan bahwa Indonesia menempati hampir pada garis ambang batas bawah dalam human development index. Dengan demikian Indonesia saat ini butuh perhatian yang sungguh-sungguh dalam dunia pendidikan dan budaya.
Sejatinya, keluarga merupakan fondasi utama pendidikan setiap manusia di sepanjang peradaban. Keluarga juga dianggap sebagai miniatur negara. Apabila kepala negara beres maka rakyatpun ikut beres.
Maka orang tua merupakan prasyarat utama dalam upaya mencapai tujuan pendidikan. Perilaku, pola pikir, dan gaya hidup orang tua menjadi titik tolak dan titik pangkal dari berkembang dan bertumbuhnya anak didik dalam pembentukan kemampuan berpikir, bersikap, dan berkepribadian. Persoalannya adalah pada saat ini, banyak orang tua mengabaikan perannya sebagai pendidik utama bagi anak.Â
Orang tua saat ini melimpahkan tanggung-jawabnya seratus persen kepada pihak sekolah dengan harapan anak mereka menjadi seorang yang cerdas dan siap menghadapi tantangan.Â
Pendelegasian tanggung jawab kepada sekolah sering kali terjadi akibat orang tua tidak meluangkan waktu karena disibukkan dengan pekerjaannya. Berkurangnya waktu bersama anak akan menjadi cikal bakal kurangnya kasih sayang dan perhatian orang tua kepada anak. Minimnya kasih sayang akan menumbuhkan dan membangun tembok yang tinggi antara orang tua dan anak.Â
Selain itu akan terjadi jurang pemisah ikatan batin antara orang tua dan anak. Kondisi ini membuat orang tua tidak lagi memahami sejauh mana perkembangan anak dan apa saja kebutuhan yang diperlukan anak agar dia dapat berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Tanpa disadari orang tua menganggap dirinya telah bertanggung jawab dalam memenuhi seluruh kebutuhan si anak karena mereka telah menafkahi anak. Menafkahi bukan berarti papa mama telah sungguh-sungguh menjadi orang tua.Â
Bahkan bila aspek ini menjadi garda depan dalam mendidik, orang tua akan sering mengalami kekecewaan yang berkepanjangan ketika anak tidak lagi sesuai dengan yang diharapkan. Orang tua akan selalu mengedepankan kehendak dan menuntut anak untuk memberikan keuntungan dari modal yang sudah ditanamkan orang tua kepada anak. Inilah setitik celah yang sesungguhnya tidak bisa ditoleransi. Dengan mengabaikan setitik celah di atas berarti papa mama telah gagal menjadi orang tua.
Seperti yang kita ketahui, pendidikan dan budaya diturunkan kepada anak sejak dalam kandungan. Orang tua perlu mencermati setiap rangsangan yang diberikan kepada anak baik secara sadar maupun tidak sadar.Â
Sejak dini, anak perlu dihadirkan sosok orang tua yang mampu membangun komunikasi yang positif dan konstruktif, selayaknya sahabat yang bisa diajak berdiskusi dan bertukar pikiran sehingga ketika beranjak dewasa, anak terbiasa untuk mengkomunikasikan setiap cerita kehidupan yang dialaminya secara leluasa.Â
Sikap keterbukaan sang anak memudahkan orang tua untuk mendeteksi sejak dini adanya gangguan, hambatan pertumbuhan, perkembangan dari pergaulan yang dialami oleh sang anak. Penanggulangan sejak dini akan mampu mencegah bahkan mematahkan mata rantai pergaulan buruk sehingga setiap saat anak selalu terjaga.Â