Namun, dalam kondisi tertentu, seperti saat jaringan terganggu atau sistem mengalami error, sistem digital justru memperlambat mobilitas dan menimbulkan frustrasi bagi penumpang.
Yang lebih mengkhawatirkan, ada indikasi bahwa QRIS bukan sekadar alternatif, tetapi mulai menjadi satu-satunya pilihan pembayaran di beberapa tempat.Â
Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah masyarakat benar-benar diberi kebebasan dalam memilih metode pembayaran, atau justru dipaksa untuk mengikuti tren digital?Â
Jika tren ini terus berlanjut tanpa solusi bagi mereka yang belum siap, maka inklusi keuangan yang diharapkan justru bisa berubah menjadi eksklusi bagi kelompok tertentu.
Pemerintah dan penyedia layanan pembayaran digital perlu lebih memperhatikan aspek edukasi dan kesiapan infrastruktur sebelum sepenuhnya mengandalkan QRIS.Â
Sosialisasi mengenai cara penggunaan QRIS, terutama bagi masyarakat yang kurang melek teknologi, harus diperkuat agar mereka tidak tertinggal dalam arus digitalisasi. Selain itu, perlu ada kebijakan yang memastikan bahwa pembayaran tunai tetap diterima di tempat-tempat tertentu.
Di sisi lain, para pelaku usaha juga harus memahami bahwa tidak semua pelanggan merasa nyaman dengan metode pembayaran digital.Â
Alih-alih mewajibkan QRIS, sebaiknya mereka menyediakan berbagai opsi pembayaran agar semua lapisan masyarakat bisa tetap bertransaksi dengan mudah. Fleksibilitas dalam metode pembayaran seharusnya menjadi kunci, bukan pemaksaan untuk mengikuti satu sistem tertentu.
Meskipun QRIS menawarkan banyak kemudahan, penerapannya harus tetap memperhatikan aspek inklusivitas dan kesiapan masyarakat.Â
Tidak semua orang memiliki akses ke smartphone atau rekening bank, sehingga penggunaan QRIS secara eksklusif bisa menciptakan kesenjangan baru dalam masyarakat.Â
Digitalisasi memang tak terhindarkan, tetapi seharusnya dilakukan secara bertahap dan tidak menyingkirkan mereka yang belum siap.