Di berbagai sudut kota, dari pedagang kaki lima hingga restoran mewah, dari loket tiket hingga kendaraan umum, kini pembayaran digital melalui QR Code Indonesian Standard (QRIS) semakin mendominasi.Â
Digitalisasi ini seolah menjadi "wabah" yang tidak bisa dihindari, memaksa berbagai sektor untuk beradaptasi dengan cepat.Â
Namun, apakah QRIS benar-benar memberikan kemudahan bagi semua orang, atau justru menjadi bentuk paksaan bagi mereka yang belum siap?
Digitalisasi transaksi sejatinya menawarkan berbagai manfaat, terutama dalam hal kecepatan dan keamanan. Dengan QRIS, konsumen tidak perlu repot membawa uang tunai atau mencari kembalian.Â
Di sisi lain, bagi pelaku usaha, QRIS mengurangi risiko kehilangan uang dan mempermudah pencatatan keuangan. Pemerintah pun diuntungkan karena sistem ini mendukung transparansi transaksi dan meningkatkan potensi pajak dari sektor informal.
Namun, tidak semua kelompok masyarakat menikmati kemudahan ini. Banyak pedagang kaki lima yang masih terbiasa dengan transaksi tunai menghadapi tantangan dalam menggunakan QRIS.Â
Masalah utama yang sering mereka keluhkan adalah kurangnya pemahaman tentang sistem ini, keterbatasan akses ke perangkat yang mendukung, serta kendala jaringan internet yang belum merata. Bagi mereka, penggunaan uang tunai tetap lebih sederhana dan praktis.
Di sektor kuliner, restoran dan kafe semakin banyak yang mewajibkan pembayaran digital, bahkan beberapa tempat tidak lagi menerima uang tunai.Â
Hal ini memang mempercepat transaksi dan mengurangi risiko kesalahan dalam penghitungan kas. Namun, bagi pelanggan yang tidak memiliki aplikasi pembayaran digital, kebijakan ini terasa seperti diskriminasi.Â
Tidak semua orang nyaman dengan sistem cashless, terutama generasi tua yang terbiasa dengan pembayaran konvensional.
Sementara itu, di dunia transportasi, QRIS telah diterapkan di berbagai layanan, mulai dari angkutan online hingga commuter line. Penggunaan QRIS dalam pembelian tiket KRL, misalnya, mengurangi antrean dan mempercepat proses masuk ke peron.Â
Namun, dalam kondisi tertentu, seperti saat jaringan terganggu atau sistem mengalami error, sistem digital justru memperlambat mobilitas dan menimbulkan frustrasi bagi penumpang.
Yang lebih mengkhawatirkan, ada indikasi bahwa QRIS bukan sekadar alternatif, tetapi mulai menjadi satu-satunya pilihan pembayaran di beberapa tempat.Â
Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah masyarakat benar-benar diberi kebebasan dalam memilih metode pembayaran, atau justru dipaksa untuk mengikuti tren digital?Â
Jika tren ini terus berlanjut tanpa solusi bagi mereka yang belum siap, maka inklusi keuangan yang diharapkan justru bisa berubah menjadi eksklusi bagi kelompok tertentu.
Pemerintah dan penyedia layanan pembayaran digital perlu lebih memperhatikan aspek edukasi dan kesiapan infrastruktur sebelum sepenuhnya mengandalkan QRIS.Â
Sosialisasi mengenai cara penggunaan QRIS, terutama bagi masyarakat yang kurang melek teknologi, harus diperkuat agar mereka tidak tertinggal dalam arus digitalisasi. Selain itu, perlu ada kebijakan yang memastikan bahwa pembayaran tunai tetap diterima di tempat-tempat tertentu.
Di sisi lain, para pelaku usaha juga harus memahami bahwa tidak semua pelanggan merasa nyaman dengan metode pembayaran digital.Â
Alih-alih mewajibkan QRIS, sebaiknya mereka menyediakan berbagai opsi pembayaran agar semua lapisan masyarakat bisa tetap bertransaksi dengan mudah. Fleksibilitas dalam metode pembayaran seharusnya menjadi kunci, bukan pemaksaan untuk mengikuti satu sistem tertentu.
Meskipun QRIS menawarkan banyak kemudahan, penerapannya harus tetap memperhatikan aspek inklusivitas dan kesiapan masyarakat.Â
Tidak semua orang memiliki akses ke smartphone atau rekening bank, sehingga penggunaan QRIS secara eksklusif bisa menciptakan kesenjangan baru dalam masyarakat.Â
Digitalisasi memang tak terhindarkan, tetapi seharusnya dilakukan secara bertahap dan tidak menyingkirkan mereka yang belum siap.
Percepatan transformasi digital di Indonesia harus diimbangi dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Jika QRIS dipaksakan tanpa solusi bagi mereka yang masih bergantung pada uang tunai, maka teknologi ini justru bisa menciptakan kesulitan baru.Â
Inklusi keuangan harus berarti memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat, bukan malah membatasi pilihan mereka.
Pada akhirnya, QRIS adalah alat, bukan tujuan. Digitalisasi seharusnya mempermudah hidup, bukan menambah beban bagi mereka yang kesulitan beradaptasi.
Jika QRIS benar-benar ingin diterima oleh semua lapisan masyarakat, maka pendekatan yang lebih fleksibel dan inklusif harus menjadi prioritas utama.
Sebagai konsumen, kita juga perlu kritis dalam menyikapi tren ini. Apakah digitalisasi transaksi benar-benar membawa manfaat bagi semua, atau hanya menguntungkan segelintir pihak?Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI