Mohon tunggu...
Obed Antok
Obed Antok Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Berminat Dalam Bidang Sosial, Politik, Iptek, Pendidikan, dan Pastoral Konseling.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jalan Mundur Demokrasi: Menimbang Wacana Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD

16 Desember 2024   14:22 Diperbarui: 16 Desember 2024   16:11 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilkada (antikorupsi.org)

Wacana yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto mengenai pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD kembali menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. 

Argumen utama Presiden Prabowo adalah tingginya biaya politik pilkada langsung yang disebut mencapai puluhan triliun rupiah dalam waktu singkat. Ia juga menyoroti beban yang ditanggung negara dan para kandidat, termasuk maraknya politik uang yang mencederai demokrasi.

Namun, langkah ini menuai kritik keras. Pemilihan langsung merupakan salah satu capaian penting reformasi, sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. 

Sistem ini dianggap memberikan hak kedaulatan kepada rakyat untuk menentukan pemimpinnya. Pemilu langsung tidak hanya simbol demokrasi, tetapi juga bentuk nyata partisipasi rakyat dalam politik. Sistem ini menjadi pendidikan politik yang penting bagi masyarakat dan membangun legitimasi lebih kuat bagi pemimpin terpilih.

Pilkada Langsung: Sebuah Pencapaian Reformasi

Pilkada langsung mulai diterapkan setelah reformasi 1998 sebagai salah satu bentuk demokrasi baru yang memberikan ruang partisipasi lebih besar bagi rakyat. 

Melalui UU No. 32 Tahun 2004, rakyat Indonesia untuk pertama kalinya diberi hak untuk memilih kepala daerah secara langsung. Sistem ini menjadi simbol perubahan yang memperkuat kedaulatan rakyat dan transparansi politik. 

Wacana mengembalikan pilkada ke DPRD dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap semangat reformasi. Hal ini juga berpotensi mengembalikan era politik transaksional, di mana pemilihan kepala daerah oleh DPRD kerap dituding minim transparansi dan rawan suap.

Efisiensi Versus Kedaulatan Rakyat

Argumen Prabowo tentang efisiensi politik melalui pilkada DPRD memiliki poin valid, terutama dalam hal potensi penghematan biaya dan konflik sosial. 

Sejarah mencatat bahwa sistem pemilihan melalui DPRD rentan terhadap suap dan manipulasi politik. Pemimpin yang dipilih melalui DPRD berisiko menjadi "sandera" elite politik yang mengutamakan kepentingan pribadi dibanding rakyat. Hal ini bertentangan dengan esensi demokrasi yang bertujuan melayani kepentingan publik.

Sementara itu, Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus, menyatakan bahwa biaya politik yang tinggi bukan sepenuhnya kesalahan rakyat. Menurutnya, elite politik turut berperan dalam praktik boros selama kampanye. Oleh karena itu, solusi seharusnya difokuskan pada reformasi sistem pilkada langsung, bukan menghapusnya.

Kelemahan dan Tantangan Pilkada Langsung

Tidak dapat dipungkiri bahwa pilkada langsung memiliki kelemahan yang nyata. Biaya kampanye yang sangat besar sering menjadi beban berat, baik bagi kandidat maupun negara. 

Selain itu, praktik politik uang dan pembelian suara marak terjadi dalam pilkada langsung, mencederai demokrasi yang seharusnya berlandaskan kejujuran dan keadilan. Konflik antarpendukung kandidat di tingkat lokal juga menjadi persoalan serius. 

Meski demikian, menghapus sistem pilkada langsung bukanlah solusi. Sebaliknya, pemerintah perlu memperbaiki sistem pengawasan dan regulasi untuk mengatasi masalah tersebut tanpa mengorbankan hak rakyat.

Salah satu tantangan besar yang dihadapi dalam pilkada langsung adalah keterlibatan aparat negara, termasuk birokrasi dan aparat keamanan, yang seharusnya netral. 

Dalam beberapa kasus, aparat diduga mendukung kandidat tertentu, baik secara terbuka maupun terselubung. Fenomena ini menciptakan ketimpangan kompetisi, di mana kandidat dengan dukungan aparat memiliki keunggulan yang tidak adil dibandingkan pesaingnya. 

Netralitas aparat seharusnya menjadi prinsip utama dalam demokrasi, karena setiap bentuk intervensi akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilu.

Dilema Bansos dan Politik Uang

Penggunaan bantuan sosial (bansos) sebagai alat politik juga menjadi tantangan serius dalam pilkada langsung. Dalam banyak kasus, bansos digunakan untuk mendulang dukungan politik, terutama oleh kandidat petahana. 

Penyaluran bansos sering kali dilakukan secara diskriminatif, hanya menguntungkan kelompok pendukung kandidat tertentu, bahkan menjelang pemilu. 

Praktik politik uang dalam pilkada langsung mencerminkan realitas bahwa suara rakyat sering kali tidak mencerminkan kehendak murni, melainkan hasil dari transaksi uang. 

Hal ini menunjukkan buruknya kualitas demokrasi di Indonesia, di mana proses pemilu lebih sering dipengaruhi oleh kekuatan finansial daripada visi dan kapabilitas kandidat.

Praktik ini tidak hanya menciptakan ketimpangan, tetapi juga merusak prinsip keadilan sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa masalah dalam pilkada langsung tidak hanya berasal dari rakyat, tetapi juga dari elite politik yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Ancaman Oligarki di Balik Pemilihan DPRD

Mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dianggap lebih murah dan efisien. Namun, sistem ini tidak lepas dari kritik. Banyak pihak menilai pemilihan melalui DPRD sangat rentan terhadap praktik korupsi dan politik transaksional. 

Kepala daerah yang terpilih melalui DPRD berisiko menjadi "sandera" elite politik, di mana kepentingan segelintir orang lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat luas. 

Sistem ini juga dianggap mengembalikan oligarki, di mana keputusan penting dalam politik dipegang oleh kelompok kecil yang memiliki kekuasaan ekonomi atau politik.

Pilkada langsung memang memiliki kelemahan, seperti biaya tinggi, konflik sosial, dan maraknya politik uang. Namun, solusi terhadap masalah ini tidak terletak pada penghapusan sistem, melainkan pada penguatan regulasi. 

Transparansi dana kampanye, pembatasan pengeluaran, serta pengawasan oleh lembaga independen adalah langkah-langkah yang dapat mengurangi biaya politik tanpa harus mencabut hak rakyat untuk memilih langsung.

Langkah Mundur Bagi Demokrasi

Mengembalikan pilkada ke DPRD akan menjadi langkah mundur bagi demokrasi Indonesia. Sistem ini tidak hanya memutus keterlibatan rakyat, tetapi juga membuka kembali pintu oligarki dan korupsi politik. Demokrasi yang masih muda di Indonesia memerlukan penguatan, bukan pengurangan.

Efisiensi adalah tujuan yang baik, tetapi tidak boleh dicapai dengan mengorbankan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Hak rakyat untuk memilih pemimpinnya adalah fondasi demokrasi yang harus dijaga. Wacana ini seharusnya menjadi momentum untuk mereformasi sistem pilkada langsung, bukan menghapusnya.

Keputusan tentang arah sistem pilkada di Indonesia harus mempertimbangkan dampaknya bagi demokrasi jangka panjang. Parlemen memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan tidak mengorbankan hak rakyat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun